Biaya Kampanye Caleg Melonjak
JAKARTA, KOMPAS — Pemilu 2019 yang digelar serentak membuat calon anggota legislatif harus lebih intensif menyosialisasikan diri untuk menarik perhatian masyarakat di tengah hiruk-pikuk pemilihan presiden. Kondisi itu, ditambah masa kampanye yang lebih dari enam bulan, membuat biaya kampanye para caleg umumnya melonjak drastis dibandingkan dengan pemilu sebelumnya.
Caleg Fraksi PDI-P dari Daerah Pemilihan (dapil) DKI Jakarta II, Masinton Pasaribu, Senin (28/1/2019) di Jakarta, mengatakan, rancangan biaya kampanyenya pada Pemilu 2019 naik hingga sepuluh kali lipat dibandingkan dengan Pemilu 2014. Jika saat Pemilu 2014 ia mengeluarkan Rp 500 juta, kali ini biaya yang perlu ia siapkan sekitar Rp 5 miliar. Itu belum termasuk untuk biaya saksi partai, yang harus ditanggung secara gotong royong.
Sejumlah biaya pembuatan alat peraga kampanye (APK) sebenarnya masih relatif sama dibandingkan lima tahun lalu. Biaya membuat spanduk masih Rp 13.000 per meter. Harga kaus untuk kampanye juga masih Rp 30.000 per buah.
Mau tidak mau kami harus lebih kuat sosialisasi diri karena perhatian masyarakat lebih banyak tersita oleh kampanye pilpres.
”Biaya membuat APK tidak jauh berbeda. Jadi, mahal karena jumlah APK-nya harus diperbanyak. Mau tidak mau kami harus lebih kuat sosialisasi diri karena perhatian masyarakat lebih banyak tersita oleh kampanye pilpres,” kata Masinton.
Ketentuan bahwa sejumlah APK ditanggung negara lewat Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak banyak berpengaruh. Ini karena terbatasnya jumlah APK yang disediakan KPU. ”Padahal, APK harus disebar di banyak titik,” ujarnya.
Strategi kampanye di pemilu kali ini yang lebih gencar dan personal dalam bentuk kampanye microtargeting dari rumah ke rumah warga juga membuat biaya yang dibutuhkan semakin besar.
Data yang dihimpun Sindikasi Pemilu Demokrasi dengan mengacu pada data pengawasan kampanye Bawaslu periode September-Desember 2018 menunjukkan, jenis kampanye tatap muka lebih banyak dilakukan para caleg di 34 provinsi dibandingkan kampanye terbatas atau kampanye bentuk lain.
Caleg bisa menyediakan anggaran Rp 700 juta sampai Rp 1 miliar untuk biaya operasional sukarelawan dan pertemuan dengan warga.
Kampanye yang sifatnya lebih personal tersebut membutuhkan simpul sukarelawan kuat sehingga perlu biaya operasional relawan. Masinton menyebut, caleg bisa menyediakan anggaran Rp 700 juta sampai Rp 1 miliar untuk membiayai operasional sukarelawan dan pertemuan dengan warga.
Caleg dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Nasir Djamil, mengatakan, estimasi biaya kampanyenya untuk pemilu kali ini naik tiga kali lipat dibandingkan dengan Pemilu 2014. Apalagi, ia pindah dapil dari Aceh I ke dapil Aceh II. Guna kampanye di dapil baru, Nasir memperkirakan butuh biaya sekitar Rp 5 miliar.
”Tapi saya tidak punya modal sebanyak itu. Jadi saya lebih mengandalkan modal sosial, setidaknya (ditekan) sampai di bawah Rp 5 miliar,” kata Nasir.
Nasir merasa diuntungkan karena ia caleg petahana. Akibatnya, modal finansialnya sedikit terbantu dari dana reses DPR dan sosialisasi empat pilar MPR.
Membantu
Selain membiayai sendiri kampanyenya, caleg DPR juga harus membiayai caleg DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota yang berada di dapil yang sama. Nasir mengatakan bisa menanggung biaya kampanye caleg DPRD di daerahnya hingga 75 persen.
Sebagai balasan, ujar caleg petahana dari Fraksi Partai Gerindra, Ahmad Riza Patria, caleg DPR dibantu dalam bentuk sumber tenaga sukarelawan atau kader partai tingkat daerah yang bisa membantu kampanye di lapangan. ”Banyak caleg (tingkat daerah) bermodal idealisme dan semangat. Tentu kami diharapkan membantu mereka, apalagi untuk urusan mencetak atribut kampanye,” ujarnya.
Sistem pemilu serentak, lanjut Riza, memang membuat biaya kampanye melonjak. Namun, sistem itu sebenarnya juga bisa dimanfaatkan untuk menekan biaya kampanye. Sebagai contoh, caleg bisa memanfaatkan sukarelawan capres-cawapres di daerah.
”Jadi, itu bisa dilihat sebagai keuntungan pileg dan pilpres bersamaan. Caleg bisa terbantu dengan menjamurnya sukarelawan di daerah. Sekarang kami bisa nebeng di acara-acara sukarelawan capres-cawapres,” katanya.
Biaya kampanye caleg menjadi materi disertasi politisi PDI-P, Pramono Anung, yang kini menjabat Sekretaris Kabinet, saat meraih gelar doktor pada 2013. Menurut dia, biaya kampanye caleg bervariasi, tergantung popularitas, latar belakang profesi, serta kemampuan caleg meyakinkan masyarakat.
Caleg lain, seperti pengusaha, bisa mengeluarkan uang sampai Rp 20 miliar untuk biaya kampanye.
Caleg yang sudah populer, seperti selebritas atau tokoh masyarakat, bisa mengeluarkan ratusan juta rupiah. Demikian pula caleg berlatar belakang aktivis. Namun, caleg lain, seperti pengusaha, bisa mengeluarkan uang sampai Rp 20 miliar untuk biaya kampanye.
Biaya politik yang tinggi serta ketergantungan pada para pemodal membuat politisi dengan latar belakang pengusaha kini banyak hadir di DPR.
Mahalnya biaya politik ini jadi salah satu faktor yang membuat caleg petahana banyak mendapat prioritas dari partainya. Sebanyak 94 persen, atau 529 orang dari 560 anggota DPR periode 2014-2019, kembali maju pada Pemilu 2019.
Anggota Tim Seleksi Caleg Partai Golkar, Hajriyanto Thohari, mengatakan, partainya mendorong anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar untuk beramai-ramai kembali maju pada pemilu tahun ini karena modal finansialnya lebih terjamin. Mereka umumnya juga sudah punya jaringan di dapil.
Caleg petahana punya lebih banyak modal untuk memenangi pemilu.
”Caleg petahana punya lebih banyak modal untuk memenangi pemilu. Ada dana reses, dana sosialisasi empat pilar, ada juga bantuan tenaga dari staf serta tenaga ahli yang bisa ditempatkan di dapil,” kata Hajriyanto.