Bonus Demografi, Kualitas Tenaga Kerja Jadi Tantangan
Oleh
M Fajar Marta
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menciptakan lebih banyak tenaga kerja yang berkualitas dan mampu bersaing di pasar global masih menjadi pekerjaan rumah bagi bangsa Indonesia. Untuk itu, perlu adanya dialog antarsektor untuk menyusun strategi yang komprehensif dalam menghadapi tantangan ini.
Hal itu yang mendorong Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) kembali mengadakan Indonesia Development Forum (IDF) pada 2019 ini. Dalam IDF sebelumnya, salah satu isu yang dibahas adalah kesenjangan pembangunan antardaerah. Sementara pada IDF 2017 yang dibahas adalah persoalan terkait ketimpangan pendapatan.
Menurut Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro, IDF 2019 yang akan diselenggarakan di Jakarta pada 22-23 Juli mendatang tersebut bertujuan untuk menggalang gagasan dan wawasan dari para pemangku kepentingan yang akan dipakai untuk mempersiapkan para pekerja masa depan.
”Kegiatan ini diharapkan mampu menciptakan lapangan kerja baru yang layak, menggerakkan transformasi struktural, dan memastikan hasil-hasil pembangunan merata, inklusif, dan berkelanjutan,” kata Bambang dalam peluncuran IDF 2019 di Kementerian PPN/Bappenas, Selasa (29/1/2019).
Bambang menjelaskan, dalam beberapa tahun mendatang, Indonesia akan mendapatkan bonus demografi atau jumlah penduduk yang mayoritas berusia produktif. Hal ini berpotensi menjadi nilai tambah bagi pertumbuhan perekonomian bangsa. Namun, jika tidak disiapkan dengan baik, bonus demografi akan menjadi bumerang bagi Indonesia. Sebab, kualitas sumber daya manusia menjadi kunci pemanfaatan yang maksimal dari bonus demografi.
Saat ini Indonesia tengah menghadapi beberapa tantangan dalam menyiapkan tenaga kerja berkualitas. Untuk itu perlu beberapa strategi, seperti mempercepat transformasi struktural, reformasi sistem pendidikan vokasi, menciptakan peluang kerja inklusif, memperbaiki iklim investasi, mengembangkan usaha mikro, kecil, dan menengah, membina pelaku usaha sosial, mengembangkan talenta lokal, serta meningkatkan kualitas modal manusia.
Reformasi vokasi
Reformasi sistem pendidikan vokasi, menurut Bambang, adalah salah satu hal yang mendesak dilakukan. Hal ini karena data dari Badan Pusat Statistik menyebutkan, tingkat pengangguran terbuka (TPT) dari tingkat pendidikan sekolah menengah kejuruan (SMK) merupakan yang paling tinggi dibandingkan dengan jenjang pendidikan lain.
TPT dari lulusan SMK pada Februari 2018 sebesar 8,92 persen. TPT yang tertinggi berikutnya adalah diploma I/II/III sebesar 7,92 persen; sekolah menengah atas sebesar 7,19 persen; universitas sebesar 6,31 persen; sekolah menengah pertama sebesar 5,18 persen; dan sekolah dasar sebesar 2,67 persen. Hal ini menunjukkan, ada penawaran tenaga kerja yang tidak banyak terserap, terutama pada tingkat pendidikan SMK dan diploma I/II/III.
”Padahal, lulusan SMK itu disiapkan agar bisa langsung bekerja setelah lulus. Hal ini tentu harus segera dicari solusinya,” kata Bambang.
Ia mengharapkan Indonesia bisa meniru Australia dalam hal pendidikan dan pelatihan vokasi. Sebab, di Australia ada sebuah lembaga yang memfasilitasi warga negaranya untuk mengubah kemampuan atau reskilling dan meningkatkan keterampilan atau upskilling. Hal itu memungkinkan tenaga kerja bisa menyesuaikan diri dengan kebutuhan industri.
Wakil Duta Besar Australia untuk Indonesia Allester Cox mengatakan, peningkatan keterampilan melalui pendidikan vokasi memang menjadi salah satu kunci penting dalam menyiapkan tenaga kerja di Australia. Untuk itu, integrasi antara lembaga pendidikan vokasi dengan industri sangat diperlukan.
”Menurut saya, dalam beberapa tahun terakhir, akses masyarakat Indonesia terhadap pendidikan terus meningkat. Tetapi, relevansi antara kapasitas lulusan dan kebutuhan industri masih kurang,” kata Cox. Untuk itu, Pemerintah Australia melalui lembaga Knowledge Sector Initiative ingin mendukung Indonesia dalam upaya penggalangan gagasan untuk menyiapkan tenaga kerja di IDF 2019.
Menurut Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Rosan Roeslani, para pelaku industri sudah sering memberikan masukan pada dunia pendidikan untuk menyesuaikan lulusannya dengan kebutuhan industri. Bahkan, pihaknya telah bekerja sama dengan salah satu lembaga di Jerman untuk memberikan pelatihan vokasi bagi para pekerja.
”Kami juga sudah menyiapkan lembaga sertifikasi kompetensi yang standarnya disesuaikan dengan standar Indonesia ataupun standar Jerman sehingga lulusan dari lembaga pelatihan vokasi ini bisa berkesempatan bekerja di Jerman,” kata Rosan.
Saat ini Kadin telah menyiapkan sekitar 2.600 perusahaan yang berada di bawah Kadin untuk bisa digunakan sebagai tempat magang oleh para pekerja. (KRISTI DWI UTAMI)