Galau Petani Menatap Langit
Di tengah teriknya sengatan matahari, Tahir Wero (52) menciduk liter demi liter air sisa banjir yang masih menggenangi separuh areal sawahnya. Dalam hati dia terus berdoa agar padi di sawah itu tetap hidup hingga panen tiba.
Selasa (22/1/2019) lalu, areal persawahan milik Tahir dan belasan petani lainnya seluas total 75 hektar di Kelurahan Baju Bodoa, Kecamatan Maros Baru, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, terendam luapan Sungai Marusu hingga ketinggian air mencapai 1,5 meter.
Pada Minggu (27/1), mayoritas genangan air sudah surut, tapi sebagian sawah Tahir masih tergenang dengan ketinggian air antara 40-60 sentimeter. Jika dalam dua hari ke depan air tidak kunjung surut, apalagi jika hujan lebat kembali turun, Tahir pesimistis 4.000 meter persegi padi berusia 20 hari miliknya itu bisa selamat.
Padahal, untuk modal tanam, dia telah mengeluarkan biaya Rp 9 juta, sebagian dari utang. Pengeluaran itu antara lain untuk biaya bajak, upah tanam, dan pembelian pupuk.
Bila padinya gagal selamat, dia hanya pasrah menunggu musim tanam palawija tiba untuk menanam ubi dan kacang panjang. “Sudah tidak ada lagi modal benih untuk tanam padi baru,” kata Tahir.
Berdasarkan perhitungannya, dia kehilangan potensi panen 1.500 kilogram (kg) gabah kering. Sisa utang modal tanam biasanya Tahir lunasi setelah panen. Harapan Tahir saat ini adalah pemerintah sudi menyalurkan bantuan benih bagi petani seperti dirinya jika gagal panen betul-betul terjadi.
“Cari modal tanam saya masih bisa utang. Tapi, cari benih di saat sekarang ini, susahnya bukan main,” kata Tahir.
Hamparan sawah di Kecamatan Bantimurung, Maros, juga sempat terendam karena jebolnya tanggul aliran Sungai Silimaru. Namun, dari pantauan pada Minggu, genangan air hanya tersisa pada sebagian kecil areal persawahan, termasuk sawah yang digarap Muslikh Mukhsin (49) di Dusun Bulusipong, Desa Alatengae.
Cuaca
Muslikh mengatakan, beberapa tahun terakhir, cuaca membuat petani was-was pada musim tanam pertama di setiap tahun. Menurut dia, bila panen normal, setiap hektar sawah dapat menghasilkan sekitar 8-10 ton gabah kering. Jika gabah kering panen dihargai Rp 3 juta per ton, pendapatan yang diperoleh petani minimal Rp 24 juta per hektar.
“Hujan terus bikin banjir. Kalau petani gagal panen bisa rugi besar. Tapi, kalau padi bisa selamat, balik modal tanam masih bisa,” ujar Muslikh.
Kegalauan yang sama juga dirasakan petani di Kabupaten Gowa. Dari teras rumahnya pada Minggu pagi, Daeng Nyengka (42) menatap cemas awan hitam yang bergelayut. Mendung tampak di wajah petani itu seakan meminta langit menahan hujan yang akan kembali mengguyur wilayah tersebut. Dia khawatir nasib sawahnya akan kian kelam jika hujan lebat lagi.
Areal sawahnya terletak di Dusun Parangma\'leng, Desa Panakkukang, Kecamatan Palangga, Gowa. Padi yang tumbuh sejak 45 hari lalu dengan tinggi sekitar 50 sentimeter itu kini terendam air setinggi lebih lebih kurang 35 sentimeter.
Pada Selasa lalu, Sungai Raja-raja, cabang dari aliran Sungai Jeneberang, sungai terbesar di Gowa, meluap dan menggenangi sawah dan perumahan penduduk di desa itu. Hujan ekstrem itu berlangsung tanpa henti sejak sehari sebelumnya.
Sungai yang biasanya menjadi sahabat petani untuk mengairi sawah pun hari itu berubah menjadi mimpi buruk. Ketinggian air yang menggenangi sawah seluas 10 are (1.000 meter persegi) milik Daeng Nyengka itu melampaui tinggi tanaman padi.
Genangan setinggi itu bertahan selama tiga hari sebelum perlahan turun. Jika hujan lebat kembali turun, genangan kembali naik, tanaman padi pun terancam rusak dan gagal panen.
Berdasarkan pengalaman, ia tampak pasrah bahwa musim tanam kali ini mungkin berakhir dengan gagal panen.
Daeng Nyengka sudah menyiapkan kemungkinan terburuk jika padinya gagal panen. “Saya lagi telepon teman untuk cari informasi, katanya ada kerja serabutan di bangunan. Lumayan, satu hari bisa dapat Rp 100.000 untuk tambah uang belanja dan jajan anak,” kata Daeng Nyengka.
Berdasarkan pengalaman, ia tampak pasrah bahwa musim tanam kali ini mungkin berakhir dengan gagal panen. Biaya yang dia keluarkan untuk menanam padi, mulai dari pengadaan benih Rp 150.000, sewa traktor Rp 150.000, pembelian pupuk Rp 100.000, pengadaan pestisida Rp 50.000, dan ongkos kerja Rp 100.000, bakal sia-sia.
Padahal, jika padi tumbuh dengan baik, sekitar 45 hari kemudian sudah bisa dipanen dengan hasil 500 kg gabah kering giling. Dengan harga jual gabah Rp 4.000 per kg, ia bisa meraup penghasilan Rp 2 juta. Setelah dikurangi biaya mulai dari sebelum tanam hingga setelah panen sekitar Rp 700.000, keuntungan yang didapat sebesar Rp 1,3 juta.
Bantu bibit
Pemerintah pun telah menyatakan komitmennya untuk meringankan beban petani yang terancam puso atau gagal panen. Mewakili Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, Sekretaris Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Nasrullah berjanji akan memasok bibit baru.
“Kementerian pertanian akan menyalurkan bantuan yang sifatnya bibit, bukan hanya bagi petani, tapi juga peternak yang terdampak musibah longsor dan banjir. Kami sedang bekerja sama dengan pemda untuk lakukan pendataan,” ujarnya saat berkunjung ke Sulsel, Minggu.
Meski begitu, keresahan yang menghinggapi Tahir, Muslikh, Daeng Nyengka, dan petani lain di Sulsel tentu tidak bisa dibiarkan sebagai rutinitas setiap musim hujan. Pemda perlu melakukan terobosan untuk menjamin puluhan ribu hektar sawah di Sulsel tidak terendam setiap tahunnya.
Dinas Ketahanan Pangan, Tanaman Pangan dan Hortikultura Sulawesi Selatan mendapat laporan, pada saat genangan banjir sedang tinggi-tingginya pada Selasa lalu, sebanyak 8.332 hektar sawah di Maros terendam. Hal serupa juga melanda 5.460 hektar sawah di Kabupaten Gowa.
Kedua kabupaten itu merupakan lumbung beras di Sulsel. Secara nasional, Sulsel merupakan penghasil beras terbesar keempat setelah Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah dengan produksi berdasarkan data Badan Pusat Statistik mencapai 3,28 juta ton beras pada tahun 2018.
Wakil Gubernur Sulsel, Andi Sudirman Sulaiman, menyatakan pemda akan mengejar penyelesaian kajian banjir yang mereka susun bersama Balai Besar Wilayah Sungai Pompengan-Jeneberang dan akademisi. Saat kajian rampung, dia berjanji akan melakukan semua upaya agar banjir tidak menjadi rutinitas tiap tahun di Sulsel.