JAKARTA, KOMPAS — Langkah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengambil alih pengelolaan air dari swasta terganjal putusan Mahkamah Agung dalam peninjauan kembali yang diajukan Kementerian Keuangan. Putusan ini membatalkan putusan kasasi yang mengharuskan penghentian swastanisasi air dan mengembalikan pengelolaan air minum ke Provinsi DKI Jakarta.
Akibat keputusan dalam peninjauan kembali (PK) tersebut, terjadi ketidakpastian hukum atas pengelolaan air DKI Jakarta pada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Padahal, sejak terbitnya keputusan kasasi sebelumnya, DKI Jakarta sudah membentuk tim dan tengah menyusun langkah-langkah untuk mengambil alih pengelolaan air pada pada pemerintah daerah.
Juru Bicara Mahkamah Agung (MA) Andi Samsan Nganro mengatakan, perkara PK Nomor 841 PK/2018 diputus pada 30 November 2018. MA mengabulkan permohonan PK pemohon Menteri Keuangan dan menolak tuntutan provisi para penggugat dan mengabulkan eksepsi para tergugat sehingga menyatakan gugatan para penggugat tidak dapat diterima. ”Pertimbangannya adalah gugatan para penggugat cacat formal dan tidak memenuhi kriteria gugatan citizen lawsuit,” katanya di Jakarta, Senin (28/1/2019).
Sebelumnya, melalui proses persidangan hingga kasasi, Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta menggugat pengelolaan air minum Jakarta oleh dua perusahaan swasta, yakni Palyja dan Aetra. Putusan kasasi pada 2017 menyatakan, penyerahan kewenangan pengelolaan air Jakarta kepada pihak swasta melalui perjanjian kerja sama adalah perbuatan melawan hukum.
Tetap jalan
Sejak terbitnya keputusan kasasi tersebut, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pun membentuk tim evaluasi tata kelola air minum.
Anies mengatakan, putusan PK tidak mengganggu kerja tim. ”(Hasil dari tim) masih relevan dan pembicaraan juga sudah berjalan. Cuma seperti yang saya katakan tadi, sampai semuanya final baru saya umumkan. Sekarang belum final, ada keputusan itu,” katanya.
Anies mengharapkan rekomendasi dari tim masih bisa jalan terus. Pembicaraan dengan sektor swasta tetap berjalan karena tidak ada larangan untuk terus melakukan pembicaraan. Namun, untuk membuat langkah resmi harus dilihat salinan keputusan PK. ”Kami belum lihat salinan PK. Dari situ kami akan lihat. Tapi spirit kami adalah yang sekarang sudah jalan prosesnya, akan jalan terus.”
Menurut Anies, Pemprov DKI sudah menyiapkan penyertaan modal daerah (PMD) khusus untuk penyiapan infrastruktur distribusi air. Rencana ini akan terus dijalankan.
Anies mengatakan, pemenuhan air bersih sebagai hak dasar warga tetap menjadi prioritas. Selama dikelola swasta 20 tahun terakhir, tidak terlihat ada pertumbuhan signifikan dari pemenuhan air bersih tersebut. Pihaknya menargetkan peningkatan sampai 25 persen di dalam RPJMD.
Direktur Utama PD PAM Jaya Priyatno Bambang Hernowo mengatakan, belum menerima amar keputusan ataupun konsekuensi dari PK ini. Pihaknya tetap konsentrasi pada peningkatan akses air perpipaan ke DKI Jakarta. Selama pengambilan keputusan PK ini, PAM Jaya tak pernah memperoleh pemanggilan untuk terlibat.
Kepala Biro Bantuan Hukum Setjen Kementerian Keuangan Tio Serepina Siahaan enggan memberikan keterangan. ”Karena sudah menjadi putusan, melihatnya (permohonan PK) pun harus secara utuh dengan pertimbangan hakim, tidak sepotong-potong. Kami ingin mengusahakan iklim yang kondusif dan tidak membuat penafsiran masing-masing.”
Karena sudah menjadi putusan, melihatnya (permohonan PK) pun harus secara utuh dengan pertimbangan hakim, tidak sepotong-potong. Kami ingin mengusahakan iklim yang kondusif dan tidak membuat penafsiran masing-masing
Pemerintah dirugikan
Direktur Amrta Intitute Nila Ardhianie mengatakan, putusan itu hanya bicara formal perkara, yaitu tidak terpenuhinya syarat citizen law suit. Ia tak melihat putusan mempertimbangkan masuk ke materiil perkara.
”Kalau MA mengabulkan seperti yang kita lihat dalam ringkasan perkara yang sudah putus di website MA, ini menunjukkan MA hanya mengedapankan aspek formal bukan keadilan hukum,” katanya.
Keputusan PK ini ia nilai merugikan Kementerian Keuangan sendiri. Sebab, pada 2001 Kemenkeu membuat support letter yang merupakan surat jaminan dari pemerintah pusat untuk proyek privatisasi air Jakarta. Intinya apabila PAM Jaya tidak bisa membayar kewajiban akan diselesaikan oleh Pemprov DKI Jakarta dan apabila Pemprov tidak mampu juga akan ditanggung oleh Kemenkeu.
Sejak awal
Guru besar bidang hukum yang juga telah lama berkutat dalam bidang pengeolaan air minum Prof Frans Limahelu menilai terdapat kekeliruan dalam keputusan PK tersebut sebab hanya mempertimbangkan syarat penggugat untuk masuk kategori citizen law suit. ”Ini dalam proses sidang sejak awal tidak pernah dibantah. Kenapa sekarang menjadi dasar pertimbangan,” katanya.
Menurut Frans, terbitnya putusan PK dari MA ini menimbulkan ketidakpastian hukum dari pengelolaan air minum di DKI Jakarta. Sebab, keputusan PK MA tersebut justru tak sinkron dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013, Peraturan Pemerintah (PP) No 121, dan PP No 122/2015 bahwa pengelolaan air pada negara.
Menurut Frans, kendati demikian, DKI tetap berpeluang mengelola layanan air bersih berdasarkan aturan-aturan tersebut.