Maksimalkan Potensi Pangan Lokal
Pangan lokal bisa menjadi kunci untuk mengatasi masalah gizi. Mengembangkan keanekaragaman tanaman lokal dan menjadikan sebagai bagian pola makan bisa membantu mempercepat perbaikan status gizi masyarakat.
Nusa Tenggara Timur yang didominasi lahan kering mempunyai potensi tinggi untuk pangan lokal yang dapat menunjang ketahanan pangan. Hal itu bisa menjadi modal untuk mengatasi masalah gizi yang bertahun-tahun diderita warga di provinsi tersebut.
Sabtu (22/12/2018) siang, Hengki Asea Nubatonis (28) menjaga kebunnya yang ditanami jagung di Kampung Oeayo, Desa Tumu, Kecamatan Amanuban Tengah, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).
Ladang yang ia tak tahu persis luasnya itu harus dijaga agar tanamannya tak dijarah ayam, babi, atau sapi yang dibiarkan berkeliaran oleh pemiliknya. Untuk mengisi waktu, Hengki membersihkan kebun dari rumput dan semak.
”Kalau tidak dijaga, begitu ada ternak masuk, bisa habis tanaman jagung yang baru berumur satu bulan ini,” kata Hengki yang buta aksara karena tidak sekolah.
Sementara itu, istri Hengki, Jublina Misa (19), menjaga anak mereka, Melsa Nubatonis (1,5), di Rumah Sakit Ibu dan Anak Ume Manekan, Kabupaten TTS, karena mengalami gizi buruk dan diare berat.
Warga TTS umumnya menanam jagung di lahan mereka pada musim hujan. Hasilnya tidak dijual, tetapi untuk persediaan pangan keluarga. Jika hasil panen tidak mencukupi kebutuhan rumah tangga untuk satu musim, warga sesuai dengan kekuatan keuangannya membeli beras. Mereka bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan kebutuhan sehari-hari lainnya.
Setelah panen jagung, Hengki biasanya bekerja sebagai kuli angkut dengan upah Rp 50.000 per rit.
Kadang-kadang mengojek dengan setoran Rp 25.000 per hari untuk pemilik sepeda motor. Pendapatan bersih mengojek dari pagi hingga pukul 17.00, setelah dipotong setoran, rata-rata Rp 25.000.
Hengki sebenarnya bisa mendapatkan jenis pangan beragam dan panen lebih banyak jika menerapkan sistem tumpang sari di lahannya.
Masalahnya, seperti dikatakan Project Officer Young Female Farmers Perkumpulan Pikul, Zadrak Mengge, banyak penduduk, terutama di perdesaan, minim pengetahuan tentang gizi dan pertanian. Belum terlintas dalam pikiran mereka untuk menanam berbagai tanaman pangan agar memperoleh jenis pangan lebih beragam untuk memenuhi kebutuhan gizi.
Sebagian masyarakat beranggapan, yang penting bisa makan dan kenyang. Mereka belum paham pentingnya kandungan gizi yang lengkap.
Kalaupun ada petani yang menghasilkan pangan beragam, hasilnya tidak sampai ke meja makan. ”Ada yang panen jagungnya sebagian untuk pakan ternak dan sebagian lain dijual untuk membeli beras. Beras menjadi makanan pokok, sedangkan pangan lokal terpinggirkan,” kata Zadrak.
Zadrak mencontohkan, di Desa Oh’aem II, Kecamatan Amfoang Selatan, Kabupaten Kupang, ada anak perempuan berusia tiga tahun yang suka makan keladi. Namun, makanan itu hanya ia dapatkan ketika ibunya merebus keladi untuk diberikan kepada babi.
”Padahal, keladi merupakan sumber karbohidrat setara dengan jagung, ubi, sorgum, atau singkong yang dulu menjadi makanan pokok masyarakat NTT,” ujarnya.
Menurut Zadrak, makin terpinggirkannya pangan lokal, antara lain, akibat program pemerintah yang mengutamakan komoditas unggulan, seperti padi, jagung, dan kedelai, serta pembagian beras untuk rakyat miskin (raskin).
Potensi pangan lokal
Dari pemetaan pangan lokal yang dilakukan Perkumpulan Pikul tahun 2013 di sebagian wilayah NTT, yaitu Pulau Timor bagian barat, yakni Kabupaten Kupang dan Timor Tengah Selatan, kemudian Pulau Rote Ndao, Pulau Sabu, dan Pulau Lembata, ditemukan 36 jenis sumber pangan, baik berupa serealia (jagung, padi, sorgum, jali, jewawut), umbi-umbian (keladi, talas, singkong, ganyong, ubi jalar, dan sejumlah umbi hutan) maupun beragam kacang-kacangan.
Untuk mendorong masyarakat lebih giat menanam dan mengonsumsi ragam pangan lokal, kata Zadrak, selain perlu sosialisasi lebih gencar, pemerintah daerah di NTT juga perlu memfasilitasi teknologi dan infrastruktur pascapanen.
Teknologi pascapanen yang dimaksud adalah peralatan yang memudahkan proses pengolahan pangan lokal, juga pengembangan industri rumah tangga berbasis potensi lokal.
Pemda juga perlu memfasilitasi pasar agar masyarakat desa lebih bergairah untuk menanam dan pangan lokal tidak punah. Misalnya, adanya peraturan gubernur agar penyediaan konsumsi pada acara rapat, seminar, dan acara lain dari tingkat desa sampai tingkat kabupaten/kota dan provinsi memanfaatkan jenis pangan lokal.
”Pendekatan ini pernah dilakukan pada masa Gubernur NTT Herman Musakabe tahun 1997 yang mewajibkan penggunaan tenun ikat di kalangan pegawai negeri sipil dua hari dalam satu minggu. Kebijakan ini menciptakan permintaan akan tenun ikat di kalangan perajin,” kata Zadrak.
Kepala Desa Oh’aem I, Mesak Abednego Tanaos (40), di Kabupaten Kupang, menuturkan, sejak menjabat kepala desa tahun 2010, ia merintis agar warga desa memanfaatkan seluruh lahan, baik pada musim hujan maupun kemarau, dengan menanam pangan lokal.
”Awalnya warga menolak atau kurang merespons. Tapi, kini sudah banyak yang menanam pangan lokal, termasuk sayuran dan buah-buahan di kebunnya. Kasus gizi buruk di desa kami berkurang,” ujarnya.
Dosen Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana, Kupang, I Wayan Mudita, mengatakan, pangan lokal di NTT sangat beragam.
”Ragam pangan lokal dapat menunjang ketahanan pangan suatu daerah. Walau dari sisi produksi tidak sebesar komoditas unggulan, varietas pangan lokal memiliki adaptasi lebih kuat. Di tempat yang kurang air atau pupuk, tetap dapat bertahan,” ucap Mudita.
Upaya untuk mengembangkan pangan lokal, kata Mudita, antara lain memperbanyak penangkar bibit lokal serta memberikan pelatihan perbaikan cara tanam dan penyimpanan pascapanen kepada petani.
Kembangkan kelor
Untuk mencapai target bebas anak pendek (stunting) pada 2023, Pemerintah Provinsi NTT mengembangkan tanaman kelor (Moringa oleifera) guna memperkuat ketahanan pangan masyarakat.
”Potensi kelor sangat besar. Kami memulai dari yang ada. Tidak usah mencari yang macam-macam, termasuk yang dari luar. Tuhan sudah mengaruniakan di alam kita NTT ini,” kata Wakil Gubernur NTT Josef Adreanus Nae Soi, Selasa (18/12), di Kupang.
Nae Soi menuturkan, sesuai kajian Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kelor disebut sebagai tanaman ajaib karena mengandung nutrisi sangat tinggi yang dapat memberikan asupan gizi bagi anak balita agar tidak menderita gizi buruk serta ibu hamil agar tidak kekurangan energi kronik.
”Kelor akan dikembangkan secara komersial untuk industri karena pasarnya bagus. Kualitas kelor dari NTT merupakan salah satu yang terbaik di dunia. Hal ini dapat menunjang peningkatan pendapatan masyarakat,” katanya.
Tanaman kelor banyak tumbuh di NTT. Masyarakat mengenal tanaman ini untuk tanaman pagar rumah dan dikonsumsi sebagai sayuran.
Secara terpisah, Manajer Program Church World Service (CWS) Indonesia Vinsensius Surma berpendapat, selain mengembangkan kelor, Pemprov NTT juga perlu mengembangkan tanaman pangan lain. Kelor tidak dapat mencukupi kebutuhan seluruh zat gizi.
”Kandungan kelor hanya mampu memenuhi asupan sebagian zat gizi. Untuk upaya penanganan stunting tentu perlu peta jalan yang lebih paripurna,” kata Surma.
CWS Indonesia merupakan lembaga swadaya masyarakat yang turut menangani pemulihan gizi buruk di sejumlah wilayah NTT.
Untuk mencegah gizi buruk dan stunting, ketersediaan pangan dalam rumah tangga menjadi salah satu faktor penting.
Di wilayah NTT, pangan lokal menjadi salah satu solusi untuk dikembangkan. Hal ini perlu mendapat perhatian besar, komitmen, dan keberpihakan dari pemerintah daerah serta pihak-pihak lain yang terkait. (SAMUEL OKTORA)