Pemerintah memperpanjang satu pekan masa tanggap darurat bencana di Sulawesi Selatan menyusul bencana banjir dan longsor yang terjadi di sepuluh kabupaten/kota, pekan lalu.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
MAKASSAR, KOMPAS - Pemerintah memperpanjang satu pekan masa tanggap darurat bencana di Sulawesi Selatan menyusul bencana banjir dan longsor yang terjadi di sepuluh kabupaten/kota, pekan lalu. Perpanjangan dengan pertimbangan proses evakuasi dan distribusi korban bencana di daerah-daerah bencana, belum tuntas.
Masa tanggap darurat sedianya berakhir hari ini (29/1/2019). Dengan perpanjangan satu pekan, berarti tanggap darurat berakhir, Selasa (5/2/2019).
Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel) Nurdin Abdullah saat ditemui di Kantor Gubernur Sulsel, di Makassar, Selasa (29/1/2019), mengatakan, masa tanggap darurat baru akan dinyatakan berakhir jika seluruh proses evakuasi dan distribusi bantuan kepada penyintas sudah tuntas dilakukan.
Realitanya, hingga kini, belasan titik longsor masih sulit ditembus untuk menyalurkan bantuan maupun mengevakuasi korban.
“Masih ada daerah-daerah kita (di Sulsel) yang terisolir. Evakuasi harus berlangsung hingga tuntas. Jangan sampai evakuasi dihentikan lantas masih ada warga yang belum terevakuasi,” tegasnya.
Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sulsel, tercatat 72 orang meninggal dunia, 4 orang hilang, 48 orang luka-luka, dan 9.429 orang mengungsi akibat banjir dan longsor yang terjadi pekan lalu. Selain itu, bencana mengakibatkan 22.156 rumah terendam banjir, dan 559 rumah diantaranya rusak berat.
Dengan status tanggap darurat diperpanjang, akses pemda ke anggaran belanja tak terduga yang sudah teralokasikan di anggaran pendapatan dan belanja daerah, untuk kepentingan pemulihan pascabencana, menjadi terbuka.
Selain itu, status tersebut membuka akses Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam mengerahkan personel dan logistik.
“Intinya status tanggap darurat diperpanjang agar penanganan dampak bencana dapat dilakukan lebih cepat, tepat, dan akurat,” tambah Nurdin.
Bersamaan dengan upaya pemulihan pascabencana, Pemprov Sulsel juga akan mengundang para ahli untuk bersama-sama mengkaji penyebab bencana, dan solusi untuk mencegah bencana tidak terulang lagi.
Normalisasi
Selain itu, pemda bersama Balai Besar Wilayah Sungai Pompengan-Jeneberang berkomitmen untuk menormalisasi daerah aliran sungai (DAS) pengisi Bendungan Bili-Bili. Sungai dimaksud, Sungai Pompengan dan Jeneberang. Normalisasi ini penting untuk mengatasi tingginya sedimentasi di Bili-Bili yang membuat daya tampung bendungan berkurang.
“Kita tidak bisa minta alam untuk hentikan banjir. Di negara maju sekalipun untuk memitigasi bencana membutuhkan kajian yang tepat, agar regulasi yang dihasilkan juga tepat sasaran,” kata Nurdin.
Sebelumnya, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebencanaan Universitas Hasanuddin, Makassar, Adi Maulana, mengatakan selain karena aktivitas pertambangan pasir, sedimentasi di Jeneberang terbilang tinggi pascalongsornya kaldera Gunung Bawakaraeng di 2004.
Sedimen yang dibawa Sungai Jeneberang itu terbawa hingga ke Bili-Bili, dan membuat daya tampung bendungan berkurang. Saat bencana banjir terjadi 22 Januari lalu, pintu air Bili-Bili terpaksa dibuka karena limpahan air dikhawatirkan melebihi kapasitas.
Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Pompengan-Jeneberang Iskandar mengatakan pihaknya menerapkan sistem buka tutup pintu air Bendungan Bili-Bili. Hal ini dilakukan sesuai dengan standar operasional pengoperasian Bendungan Bili-Bili untuk mengikuti tinggi muka air.