Otoritas Baru Diharap Optimalkan Integrasi Transportasi
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·3 menit baca
BEKASI, KOMPAS – Rencana pemerintah pusat membentuk otoritas pengelola transportasi baru untuk Jabodetabek menuai pro dan kontra. Meski demikian, rencana itu diharapkan bisa mengoptimalkan integrasi jaringan transportasi.
Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi menyambut baik rencana pemerintah pusat untuk membentuk otoritas pengelola transportasi di lingkup Jabodetabek. Menurut dia, jaringan transportasi di beberapa wilayah tersebut sudah menyatu dan tidak bisa ditangani secara sektoral.
Ia menambahkan, pengelolaan jaringan transportasi perlu dikoordinasikan lembaga khusus. Namun, pimpinan lembaga tidak bisa setingkat kepala daerah, karena lingkup wilayah yang ditangani meliputi berbagai kota, kabupaten, dan provinsi. “Lembaga pengelola transportasi Jabodetabek harus dikoordinasikan oleh lembaga setingkat kementerian,” kata Rahmat di Bekasi, Selasa (29/1/2019).
Rahmat mengusulkan, Jabodetabek dibentuk sebagai kawasan transportasi yang terintegrasi. Dengan begitu, standar infrastruktur jalan di setiap wilayah harus sama. Begitu juga moda transportasi massal yang digunakan.
Kota Bekasi dilintasi berbagai jalur yang menghubungkan antarwilayah, misalnya Tol Becakayu dan Tol Jakarta-Cikampek. Beberapa stasiun dan jalur kereta ringan (LRT) pun berdiri di sana. Namun, moda transportasi massal yang mengintegrasikannya dengan wilayah lain masih terbatas, yaitu bus Transjakarta dan kereta rel listrik (KRL).
Respons serupa diungkapkan Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Bekasi Yana Suyatna. Ia berharap, pembentukan otoritas pengelola transportasi Jabodetabek dapat mewujudkan integrasi antarwilayah dengan integrasi antarmoda transportasi massal.
Menurut Yana, integrasi antarmoda transportasi massal di Kabupaten Bekasi masih minim. Contohnya, jumlah angkutan umum di sekitar stasiun yang masih terbatas. Terminal juga hanya diisi bus antarkota dan angkutan umum.
Selain itu, ia berharap ada perluasan jangkauan Transjakarta di Kabupaten Bekasi. Saat ini Transjakarta hanya ada di Tambun dan Cikarang. Untuk mendukung hal itu, pihaknya siap menyediakan kantong parkir (park and ride) di beberapa lokasi.
Tak perlu lembaga baru
Ketua Dewan Transportasi Kota Bekasi (DTKB) Harun Al Rasyid berpendapat lembaga baru yang disiapkan pemerintah tidak diperlukan. Lebih baik, kata Harun, pemerintah mengoptimalkan lembaga yang sudah ada seraya memberikan otoritas lebih untuk membuat kebijakan transportasi.
Peran Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) yang sudah bekerja selama ini dapat dioptimalkan. Kewenangan BPTJ terbatas karena berada di bawah Kementerian Perhubungan. Dengan keterbatasan itu, kebijakan transportasi BPTJ belum memenuhi kebutuhan jangka panjang. Salah satunya penerapan ganjil genap di Gerbang Tol Bekasi Barat, Bekasi Timur, dan Tambun. “Kebijakan itu belum menyelesaikan akar masalah kemacetan,” kata dia.
Ke depan lembaga pengelola transportasi Jabodetabek perlu memikirkan penambahan infrastruktur jalan dan menambah moda transportasi massal. “Selain itu, moda transportasi berbasis rel juga perlu dipikirkan untuk jangka panjang,” ujar Harun.
Mobilitas warga di Jabodetabek memang memerlukan integrasi transportasi massal karena jaringan jalan di masing-masing wilayah sudah terhubung. Kemacetan juga terus bertambah karena moda transportasi massal yang ada belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat.
Data DTKB pada 2017 menunjukkan, di Kota Bekasi terdapat 1,5 juta kendaraan per hari. Sebanyak 82 persen di antaranya adalah sepeda motor, 12 persen mobil, dan 6 persen angkutan umum. Jutaan kendaraan itu menjadi salah satu penyumbang kemacetan ke Ibu Kota.
Menurut dia, dibutuhkan lembaga khusus yang berwenang untuk mengelola transportasi. Keberadaan lembaga itu semakin penting karena seringkali rencana pemerintah pusat tidak sejalan dengan pemerintah daerah. Oleh karena itu, kebijakan yang dibuat lembaga pengelola transportasi juga harus bersifat memaksa (top down).