Pemerintah melakukan sejumlah terobosan untuk mengatasi masalah gizi. Upaya harus dilakukan konsisten agar terjadi perbaikan gizi signifikan.
JAKARTA, KOMPAS Untuk mengatasi masalah gangguan gizi, ada lima langkah terobosan yang disarankan Global Nutrition Report. Langkah itu antara lain lintas sektor berbagi informasi dan mengembangkan program komprehensif serta berinvestasi untuk mendapatkan data yang dibutuhkan dan kapasitas untuk menggunakannya. Selain itu, meningkatkan pembiayaan dari berbagai sumber untuk perbaikan gizi, fokus pada pola makan sehat untuk kecukupan gizi, serta meningkatkan target dan komitmen untuk mendorong sektor-sektor terkait.
Sebagai langkah maju, Kementerian Kesehatan kini memiliki data anak balita gizi buruk, lengkap dengan nama dan alamatnya. Hal ini dikemukakan Direktur Gizi Masyarakat Kemenkes Doddy Izwardi yang ditemui beberapa waktu lalu.
”Untuk sementara, data mencakup 6,2 juta (anak balita) dari proyeksi jumlah anak balita di Indonesia 23,7 juta orang menurut Badan Pusat Statistik. Data ini menjadi pegangan dalam melaksanakan program perbaikan gizi sehingga intervensi tepat sasaran dan penurunan angka gizi buruk optimal,” kata Doddy.
Ke depan, Kemenkes berharap ada tenaga gizi di tingkat desa sebagai ujung tombak perbaikan gizi masyarakat. Mereka bertugas melakukan edukasi gizi kepada masyarakat dan kader kesehatan sekaligus melaksanakan surveilans status gizi.
Sementara itu, Papua melaksanakan program Bangun Generasi dan Keluarga Sejahtera (Bangga) Papua bagi anak hingga usia empat tahun dan menggiatkan program 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) bagi ibu hamil dan anak sampai usia dua tahun.
Program Bangga Papua yang dicanangkan Pemerintah Provinsi Papua bersumber dari dana otonomi khusus. Setiap anak mendapat Rp 200.000 per bulan. Total 11.083 anak di Kabupaten Asmat mendapatkan dana Bangga Rp 26 miliar tahun 2018. Sebanyak 11 kabupaten melaksanakan program ini sebelum diterapkan ke 28 kabupaten dan 1 kota di Papua.
Dana tersebut untuk membeli kebutuhan makanan bergizi bagi anak. Dana itu juga untuk membeli kebutuhan nonmakanan, seperti pakaian anak dan peralatan bayi.
Langkah perubahan
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Asmat Richard Mirino mengatakan, pascakejadian luar biasa gizi buruk, pihaknya mengupayakan sejumlah langkah perubahan, yakni peningkatan kegiatan puskesmas keliling dari satu kali menjadi dua kali sebulan ke kampung-kampung dan pemberian makan tambahan bagi siswa PAUD hingga SD. Selain itu, ada program 1.000 HPK lima hari dalam sepekan dan Bangga Papua.
”Kami mulai menggunakan pendekatan layanan kesehatan dari rumah ke rumah hingga ke hutan. Tujuannya untuk menemukan secara langsung masalah kesehatan yang dialami anak-anak,” kata Richard.
Cakupan imunisasi untuk meningkatkan kekebalan tubuh anak juga meningkat drastis tahun 2018. ”Tahun 2017, cakupan imunisasi kurang dari 50 persen. Tahun 2018, cakupan imunisasi, khususnya campak, rubela, dan polio, mencapai 96 persen,” ujarnya.
Richard menyatakan, diperlukan sinergi antara dinas kesehatan dan instansi lain, seperti dinas pertanian dan perkebunan, untuk mengubah pola hidup masyarakat Asmat agar serius memperhatikan kondisi ekonominya. ”Jika kondisi ekonomi membaik, pemberian makanan bergizi bagi anak dapat terlaksana,” ujarnya.
Uskup Agats-Asmat Mgr Aloysius Murwito menyatakan, pihak gereja siap membantu menyosialisasikan program pemerintah, khususnya terkait perbaikan gizi anak-anak Asmat di setiap wilayah kerjanya.
Kelor
Di Nusa Tenggara Timur (NTT), terobosan untuk mengatasi masalah gizi dilakukan, antara lain, lewat penanaman kelor (Moringa oleifera). Selain bernilai gizi tinggi, kelor juga menjanjikan dalam meningkatkan perekonomian masyarakat, yakni sebagai bahan industri.
Kepala Dinas Pertanian NTT Anis Tay Ruba menuturkan, Pemerintah Provinsi NTT menargetkan penanaman massal kelor secara bertahap dalam lima tahun ke depan (sampai 2023) mencapai 50 juta pohon.
Penanaman tahap awal diprioritaskan di 10 kabupaten, yakni Kabupaten Kupang, Belu, Malaka, Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan, Sumba Timur, Sumba Barat Daya, Flores Timur, Lembata, dan Alor.
Pemprov NTT tahun 2018 mengalokasikan Rp 1 miliar untuk pengembangan bibit. Sebanyak 80.000 bibit sudah dibagikan secara gratis kepada masyarakat untuk ditanam.
Adapun terobosan yang dilakukan Bupati Timor Tengah Utara (TTU) Raymundus Sau Fernandes adalah padat karya pangan. Warga yang mendapat bantuan raskin diwajibkan memperluas lahan garapan 25 are per keluarga per tahun. Sebanyak 194 desa di TTU mendapat bantuan dana bergulir dari APBD Rp 300 juta per desa.
”Ini menjadi modal bagi masyarakat untuk mengembangkan usaha tani ataupun ternak sehingga mereka tidak perlu meminjam ke bank. Pola ini diharapkan dapat menunjang ketahanan pangan masyarakat,” ujar Raymundus.
Sejumlah upaya juga dilakukan oleh pemerintah kabupaten lain serta Pemprov NTT untuk mengatasi masalah gizi di wilayah itu. Untuk bisa berhasil, upaya tersebut harus dilakukan secara konsisten hingga masalah gizi teratasi secara tuntas.
Wakil Gubernur NTT Josef Adreanus Nae Soi pada acara Penandatanganan Komitmen Bersama Seluruh Kepala Daerah Se-NTT dalam Percepatan Pencegahan dan Penanganan Stunting di Kupang, 18 Desember 2018, mengatakan, peran bupati dan wali kota jadi kunci. Hal itu terutama untuk memfokuskan APBD masing-masing, termasuk dana desa, guna mendukung upaya penanggulangan masalah gizi serta melakukannya secara konsisten. (FLO/FRN/SEM/ADH/ATK)