Perguruan Tinggi Menjadi Penggerak Industri
JAKARTA, KOMPAS — Lembaga pengetahuan dan teknologi berpengaruh besar dalam kemajuan industri yang berbasis teknologi pada masa sekarang. Perguruan tinggi diharapkan mampu menghasilkan inovasi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Direktur Jenderal Penguatan Inovasi Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) Jumain Appe mengatakan, lembaga pengetahuan dan teknologi diharapkan mampu terbuka dan adaptif dengan perkembangan zaman.
“Pada masa industri 4.0, mereka memiliki pengaruh yang besar,” kata Jumain, dalam Lokakarya Tindak Lanjut Hasil Rapat Kerja Nasional Kemenristekdikti 2019, Bidang Penguatan Inovasi di Jakarta, Selasa (29/1/2019), di Jakarta.
Jumain berharap agar Kemenristekdikti dan perguruan tinggi dapat bekerja sama. Menurut Jumain, respon perguruan tinggi dalam berinovasi seiring dengan perkembangan industri 4.0 yang mengandalkan teknologi digital belum cepat.
Jumain juga berharap, perguruan tinggi dapat berkomunikasi dengan industri. Oleh karena itu, institusi yang mampu menjembatani keduanya sangat diperlukan. Di sisi lain, lembaga penelitian dan pengembangan dapat berinovasi sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Agar harapan tersebut dapat terlaksana, dibutuhkan sinergi antara akademisi, bisnis, dan pemerintah. Jumain mengatakan, rekomendasi ini akan dijadikan peraturan menteri dan saat ini sedang dalam pembahasan di Kementerian Hukum dan HAM.
Dalam meningkatkan inovasi, Direktorat Jenderal Penguatan Inovasi menggunakan standar yang sama sebagai alat ukur produk inovasi. Jumain mengatakan, produk inovasi harus memiliki nilai komersial.
Pemerintah juga memberikan penugasan khusus kepada perguruan tinggi untuk mengembangkan sumber daya yang ada di wilayahnya. Ada beberapa perguruan tinggi yang dipandang sudah mampu mengembangkan sumber daya yang ada di wilayahnya.
Jumain mengatakan, beberapa perguruan tinggi tersebut antara lain, Institut Pertanian Bogor yang mampu mengembangkan benih padi, Institut Teknologi Surabaya membuat motor listrik, dan Universitas Hasanuddin menciptakan bibit unggul pada sapi. Perguruan tinggi lainnya yang mampu berinovasi, yaitu Institut Teknologi Bandung, Universitas Airlangga, dan Universitas Gajah Mada.
Peran Pemda
Agar perguruan tinggi mampu berinovasi berbasis wilayah, maka dibutuhkan peran aktif dari pemerintah daerah masing-masing. “Persoalan dalam pengembangan inovasi sangat kompleks karena menyangkut sumber daya manusia dan sarana prasarana,” kata Jumain.
Menanggapi penyataan tersebut, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Sulawesi Selatan M Iqbal S Suhaeb mengatakan, pemerintah daerah telah menjembatani perguruan tinggi dengan pihak swasta, bahkan dari luar negeri untuk berinovasi, khususnya di sektor pertanian, kehutanan, dan perkebunan.
Komoditi unggulan yang ada di Sulawesi Selatan, yaitu kakao, udang, jeruk, rumput laut, garam, kopi, talas, gula aren, sapi, kambing, kuda, dan kerbau. Iqbal mengatakan, Sulawesi Selatan dikenal sebagai pemasok terbesar kakao di Indonesia.
Indonesia berada di urutan ketiga sebagai pengekspor kakao dunia. Untuk mengembangkan kakao di Sulawesi Selatan, pemerintah daerah bekerjasama dengan perguruan tinggi agar produksi kakao tidak berkurang.
Pemda Sulawesi Selatan juga mengembangkan peternakan sapi melalui kerja sama antara pemerintah Jepang dan Universitas Hasanuddin di Kecamatan Seko, Kabupaten Luwu Utara. Iqbal mengatakan, daerah ini mempunyai potensi yang tinggi, tetapi belum memiliki infrastruktur yang memadai.
Pemerintah Jepang, pada akhirnya membuat bandara udara di daerah ini. “Karena ini program pemerintah daerah, maka kami pun mulai memperbaiki infrastruktur seperti fasilitas jalan raya,” kata Iqbal.
Komersial
Seperti standar yang dikeluarkan oleh Kemenristekdikti, nilai komersial menjadi tolok ukur keberhasilan suatu inovasi. Institut Pertanian Bogor merespon standar tersebut dengan membuat inovasi yang dapat dipasarkan ke masyarakat.
Rektor Institut Pertanian Bogor Arif Satria mengatakan, IPB telah mengembangkan 458 inovasi sejak 2008 hingga 2018. Beberapa inovasi tersebut berdampak ke perekonomian masyarakat.
Sebagai contoh, perusahaan rintisan atau start up industri benih padi IPB 3S yang mereka kembangkan mampu digunakan di 26 provinsi. Hasil inovasi tersebut berkontribusi terhadap produksi padi di Indonesia, yaitu sebesar 0,48 persen pada 2017 yang bernilai Rp 1,76 triliun.
IPB juga berinovasi dengan mengembangkan sekolah perternakan rakyat (SPR). Mereka mampu membuat 29 SPR di 6 provinsi di Indonesia, yaitu Banten, Sumatera Selatan, Jawa Timur, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, dan Kalimantan Selatan.
Satu SPR terdiri atas minimal 1.000 ekor ternak betina produktif dan maksimal 100 ekor ternak pejantan. Mereka menerapkan 10 strategi utama untuk mencapai peternak yang berdaulat.
Adapun implementasi dari hasil agrobisnis yang mereka kembangkan, yaitu pepaya Calina atau yang akrab disebut dengan pepaya California. Pepaya ini telah tersebar di 88 kabupaten dan 38 kota di Indonesia. Bahkan, mereka mampu mengekspor produk ini hingga ke 11 negara.
Arif mengatakan, IPB telah memiliki 15 toko untuk memasarkan produk hasil inovasi. Mereka juga membimbing 217 penyewa atau tenant. “Kami berharap, perguruan tinggi lain yang memiliki inovasi dapat bergabung memasarkan produknya di toko kami,” ujarnya.