Ari Kuncoro -- Guru Besar dan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
·4 menit baca
Kompas
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Ari Kuncoro.
Pada pertengahan Januari, kita mendengar penutupan 26 gerai PT Hero Supermarket Tbk untuk mengurangi biaya operasi sehingga dapat bertahan di tengah persaingan. Bisnis ritel sempat mengalami masa jaya di zaman bonanza komoditas pada periode 2004-2011.
Pada triwulan III-2011, pertumbuhan sektor perdagangan besar dan eceran mencapai 11,9 persen secara tahunan, yaitu yang tertinggi dalam kurun 2011-2017. Setelah itu pertumbuhannya semakin kecil, bahkan pada triwulan III-2018 sebesar 5,3 persen per tahun.
Apakah penurunan pertumbuhan yang tajam dalam kurun waktu 7 tahun ini memberi isyarat bahwa konsumsi masyarakat yang selama ini menjadi andalan pendorong pertumbuhan ekonomi tidak dapat menjalankan peranannya lagi?
Manusia tidak hanya membeli barang-barang fisik, akan tetapi juga liburan, kuliner, kesehatan dan pendidikan serta lain-lain, yang secara bersamaan membentuk konsumsi masyarakat. Hal ini tercermin dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga, yang pada periode triwulan IV-2013 sampai dengan triwulan II-2018 nyaris selalu berkisar 5,1-5,3 persen per tahun. Dengan demikian, tidak perlu ditakutkan konsumsi akan berhenti menjadi sumber pertumbuhan ekonomi.
Yang terjadi adalah pergeseran dari satu kelompok pengeluaran ke kelompok pengeluaran yang lain. Untuk mengukurnya, cara yang sederhana adalah dengan menghitung angka elastisitas, yaitu membandingkan pertumbuhan atau perubahan relatif (dalam persentase) antara satu kelompok pengeluaran konsumsi dengan konsumsi rumah tangga secara keseluruhan.
Pada akhir periode bonanza komoditas (triwulan III-2011), elastisitas pengeluaran konsumsi pakaian, sepatu, dan perawatan terhadap konsumsi rumah tangga secara keseluruhan sangat tinggi, yakni sebesar 4,72. Besaran ini merupakan rasio antara pertumbuhan belanja untuk pakaian dan sepatu yang sebesar 5,2 persen secara tahunan, terhadap pertumbuhan konsumsi rumah tangga keseluruhan sebesar 4,1 persen secara tahunan.
Fenomena
Fenomena ini dapat disebut sebagai OKMB (bukan OKB atau orang kaya baru) atau orang kelas menengah baru (the rising middle class). Tingkah laku masyarakat seperti ini adalah usaha untuk menunjukan eksistensi dan aktualisasinya sebagai orang yang (baru) mempunyai daya beli yang cukup. Sementara itu, elastisitas untuk kelompok pengeluaran yang lain, seperti makanan dan minuman di luar restoran, perlengkapan rumah tangga, serta restoran dan hotel, semuanya di bawah 0,5.
Perilaku konsumsi ini hanya bertahan 2 tahun sampai dengan 2014. Cara masyarakat berekspresi sebagai OKMB pun berubah. Elastisitas pengeluaran untuk pakaian dan sepatu turun di bawah 1 sejak 2014 (0,80). Angka ini turun terus sehingga pada triwulan III-2018 sebesar 0,63. Artinya, setiap satu persen kenaikan konsumsi rumah tangga hanya 0,63 persen yang dibelanjakan untuk pakaian dan sepatu.
Pada saat yang sama, elastisitas dari pengeluaran restoran dan hotel meningkat tajam, dari 0,46 di triwulan III-2011 menjadi 1,32 di triwulan II-2014 dan tetap di atas 1 pada triwulan III-2018.
Kesehatan dan pendidikan juga sangat penting di mata masyarakat. Angka elastisitasnya hampir selalu berada di atas satu, yakni 1,48 di triwulan II-2011 dan 1,51 di triwulan III-2018. Pergeseran pola konsumsi ini turut menjelaskan mengapa bisnis ritel menjadi sepi karena masyarakat bergeser ke konsumsi kualitas hidup (pendidikan dan kesehatan) dan pengalaman hidup (jalan-jalan dan kuliner).
Pergeseran ini terjadi dalam waktu yang relatif singkat untuk suatu negara berpendapatan per kapita menengah seperti Indonesia. Hal ini dipicu semakin banyaknya informasi yang diperoleh dari telepon genggam (WhatsApps dan sejenisnya) dan media sosial di internet (Facebook, Twitter, dan lain-lain) yang memicu efek demonstratif pada pola konsumsi.
Dampak terbesar dari belanja dalam jaringan terhadap bisnis ritel tidak muncul secara langsung, tetapi melalui rumah tangga yang sekarang semakin disiplin dalam mengatur anggarannya. Untuk jalan-jalan, misalnya, dibutuhkan biaya yang tidak sedikit, sehingga perlu menabung. Siklus belanja berubah, penghematan dilakukan dengan mengurangi pembelian barang-barang tahan lama seperti pakaian, sepatu dan barang-barang elektronik. Pertumbuhan industri barang elektronik telah merosot tajam dari puncaknya pada triwulan I-2012 sebesar 14,9 persen per tahun menjadi minus 1,8 persen di triwulan III-2018.
Menghadapi hal ini, pengusaha ritel perlu mengubah strategi menjadikan pusat-pusat perbelanjaan ke arah campuran antara ritel dan tempat rekreasi. Bagi pemerintah, pergeseran tingkah laku menuju konsumsi pengalaman (leisure) ini merupakan potensi sumber pertumbuhan baru.
Belanja konsumsi pengalaman di dalam negeri mempunyai kandungan impor relatif rendah dan berpotensi ekspor (pariwisata) yang tinggi. Jika dikelola baik, pergeseran selera ini dapat digunakan untuk membantu mengurangi defisit neraca berjalan.
Ari Kuncoro
Guru Besar dan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
