Pesatnya Pertumbuhan E-Dagang Tak Diiringi Aturan yang Jelas
Oleh
M Fajar Marta
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pertumbuhan perdagangan elektronik yang kian cepat membuat pasar Indonesia semakin menarik bagi para investor lokal dan luar negeri. Sayangnya, belum ada aturan jelas terkait perdagangan elektronik, khususnya yang terjadi lintas negara.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 305,6 juta pada 2035. Sebesar 50 persen dari total jumlah penduduk berada di usia produktif antara 15 tahun dan 64 tahun. Dari data Bank Dunia, populasi kelas menengah Indonesia juga meningkat dari 7 persen pada 2002 menjadi 20 persen pada 2017.
”Besarnya pasar Indonesia tentu menjadi menarik bagi para investor. Maka, perlu adanya aturan yang jelas terkait perdagangan elektronik (e-dagang) agar tidak merugikan negara,” ujar Direktur Transformasi Teknologi Komunikasi dan Informasi Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Iwan Djuniardi, di Jakarta, Selasa (29/1/2019).
Hal ini disampaikan dalam Future Commerce Indonesia 2019 dengan tema ”Shaping the Future of Commerce”. Menurut Iwan, semua penyedia laman dagang yang menjual barang ataupun jasa jelas harus membayar pajak, begitu pun penggunanya. Kalau dahulu, pasar itu terlihat secara fisik, tetapi sekarang, kan, sudah elektronik. Meski demikian, harusnya aturan perpajakan itu tetap sama.
Iwan mengatakan, bagi perusahaan asing yang telah memiliki kantor perwakilan di Indonesia, itu sudah terdaftar dalam bentuk usaha tetap, sudah ada aturannya. Lain halnya dengan e-dagang yang tidak memiliki kantor perwakilan di Indonesia, tetapi bertransaksi di sini.
Mengutip siaran pers European Commission pada 25 Januari 2019, dalam pertemuan tahunan Forum Ekonomi Dunia atau World Economic Forum (WEF), sebanyak 76 anggota Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO), termasuk China dan Amerika Serikat, menyepakati dimulainya negosiasi kerangka aturan baru mengenai e-dagang.
Negosiasi ini menurut rencana akan dimulai pada Maret 2019 dan membuka kesempatan bagi negara lain yang ingin terlibat. Aturan mengenai e-dagang ini menjadi penting, melihat potensi pertumbuhan ekonomi dunia yang diciptakan oleh para pelaku e-dagang setidaknya dalam dua dekade terakhir.
Namun, pesatnya pertumbuhan e-dagang belum memiliki aturan yang jelas, termasuk di WTO. Selama ini, aturan yang digunakan hanyalah berdasarkan kesepakatan antarnegara, baik bilateral maupun multilateral.
Lembaga konsultan internasional McKinsey memperkirakan, pertumbuhan e-dagang di Indonesia meningkat delapan kali lipat, dari total pembelanjaan daring pada 2017 yang sebesar 8 miliar dollar AS menjadi 55 miliar dollar AS-65 miliar dollar AS pada 2020.
McKinsey juga memprediksi penetrasi belanja daring masyarakat Indonesia pada 2020 akan meningkat menjadi 83 persen dari total pengguna internet. Persentase itu meningkat sekitar 9 persen dibandingkan dengan penetrasi belanja daring pada 2017 (Kompas.id, 28 Januari 2019).
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Asosiasi Big Data dan AI Indonesia (ABDI) Rudi Rusdiah juga menyampaikan hal senada. Menurut dia, pemerintah harus tegas dalam membuat aturan terkait e-dagang. Para pelaku e-dagang dari luar negeri yang bertransaksi di Indonesia harus membayar pajak agar tidak merugikan negara dan membuat daya saing produk lokal merosot.
”Selain itu, penting bagi pemerintah untuk bisa membuat aturan yang sama bagi semua transaksi e-dagang. Jangan sampai aplikasi e-dagang harus membayar pajak, tetapi kalau dagang lewat sosial media enggak perlu bayar pajak,” ujar Rudi.
Pertumbuhan e-dagang di Indonesia diprediksi meningkat delapan kali lipat dari 8 miliar dollar AS pada 2017 menjadi 55-65 miliar dollar AS pada 2020.
Untuk dapat membuat aturan yang jelas mengenai e-dagang, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha TIK Nasional (Aptiknas) Soegiharto Santoso menyampaikan, perlu dibangun juga infrastruktur terkait data. Ia mengatakan, saat ini kementerian dan lembaga terkait sedang berproses dalam mengumpulkan data untuk diintegrasikan dalam Badan Pusat Statistik.
”Melihat perkembangan e-dagang, jelas bukan hanya infrastruktur jalan yang harus dibangun, melainkan juga data. Sebab, data yang kuat akan mendukung aturan yang jelas, hingga akhirnya para pelaku usaha tidak ragu untuk bertransaksi dan menanamkan sahamnya di Indonesia,” tutur Soegiharto.
Selain itu, ke depannya, untuk memudahkan aktivitas bisnis logistik, termasuk pergudangan, perkapalan, pelabuhan, dan transportasi, Soegiharto mengatakan harus menggunakan internet of thing (IoT) untuk mengurangi biaya logistik.
Soegiharto menjelaskan, cara kerja dari IoT adalah dengan melacak keberadaan dan perpindahan barang ataupun alat transportasi yang membawa barang tersebut. Melalui IoT, setiap pelaku usaha dapat mengevaluasi apabila biaya perjalanan logistik dinilai terlalu tinggi atau ada barang yang rusak ataupun hilang.
”Perdagangan logistik merupakan salah satu sektor yang sedang dan akan terus berkembang dalam era revolusi industri ini. Maka dari itu, inovasi harus terus dikembangkan, melalui otomatisasi, menggunakan kecerdasan buatan, dan IoT,” kata Soegiharto. (SHARON PATRICIA)