Punahnya Satu Dialek Bahasa Arab akibat Konflik di Irak
Selama berabad-abad, penduduk kota Mosul telah berbicara dalam dialek bahasa Arab yang unik dan kaya dengan sejarah panjang kota di persimpangan jalan peradaban itu. Kini, banyak kalangan khawatir, dialek khas warga Mosul akan lenyap akibat konflik dan kekerasan selama bertahun-tahun serta akibat migrasi warganya.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·6 menit baca
MOSUL, SELASA — Selama berabad-abad, penduduk kota Mosul telah berbicara dalam dialek bahasa Arab yang unik dan kaya dengan sejarah panjang kota di persimpangan jalan peradaban itu. Kini, banyak kalangan khawatir dialek khas warga Mosul akan lenyap akibat konflik dan kekerasan selama bertahun-tahun serta akibat migrasi warganya.
Sebagian besar Kota Tua Mosul, tempat para penutur dialek khas itu terkonsentrasi, benar-benar hancur dalam perang melawan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Ribuan penduduk terbunuh dalam pertempuran sengit selama berbulan-bulan. Puluhan ribu orang lainnya melarikan diri, membawa serta logat daerah dan kenangan masa lalu kota kosmopolitan itu.
Sekarang banyak penduduk, yang dikenal sebagai warga penutur Maslawi, takut bahwa dialek mereka, seperti halnya kota Mosul sendiri, dapat menghilang. ”Sekitar 90 persen dari mereka yang melarikan diri dari Kota Tua berbicara dengan dialek Mosul,” kata Shahad Walid (26) ketika ditemui di halaman sebuah rumah batu di dekat reruntuhan Masjid Al-Nuri, kawasan berusia 850 tahun yang dihancurkan para militan ketika mereka menjadikan area itu sebagai pertahanan terakhir pada musim panas tahun 2017.
”Generasi masa depan tidak akan mengenal Maslawi dan akan berbicara dalam dialek lain sebagai gantinya,” ujar Walid.
Walid adalah salah satu dari sejumlah kecil anak muda yang masih berbicara dengan dialek Maslawi yang khas tersebut secara konsisten. Perempuan ini dibesarkan di bagian timur Mosul. Kawasan itu lolos dari kehancuran terburuk. Dia ingat kala berbicara dengan kakek dan teman-temannya menggunakan dialek itu saat tinggal di Kota Tua.
Dialek Maslawi
Bahasa Arab tertulis berbentuk dan bersusunan sama di negara-negara yang membentang dari Maroko hingga Teluk Persia. Akan tetapi, dialek-dialek lokal sangat bervariasi dari satu negara ke negara lain, bahkan kadang-kadang dari satu kota ke kota lainnya.
Perbedaan antara dialek-dialek itu bisa sangat luas, tidak sekadar pelafalan, kosakata-kosakata dasar, dan bentuk-bentuk kata kerja. Beberapa dialek tersebut sangat berbeda sehingga para penutur aslinya terpaksa menggunakan bahasa Inggris atau Perancis untuk berkomunikasi satu sama lain.
Dialek Maslawi meminjam kata-kata dari bahasa Turki, Persia, dan Kurdi. Hal ini mencerminkan sejarah Mosul dan dataran Ninevah yang riuh-rendah dengan persentuhan berbagai kebudayaan dan peradaban. Dalam pengucapan huruf ”q” dalam bahasa Arab klasik, misalnya, huruf itu dilafalkan seperti huruf ”k” dalam bahasa Inggris, tetapi dikeluarkan dari dalam tenggorokan.
Dalam pengucapan huruf lainnya, alih-alih melafalkan bunyi ”r”, warga berdialek Maslawi mengucapkannya dengan bunyi ”gh”, mirip dengan pengucapan huruf itu dalam bahasa Ibrani atau Perancis. Dalam dialek Mosul, misalnya, sebutan untuk gerbang yang melengkung adalah qantagha, sedangkan sebutan untuk menara adalah mnagha, sebutan untuk sekutu sempit adalah awji, dan sebutan bola untuk sepak bola adalah tappi. Kata-kata tersebut akan terdengar aneh bagi warga Baghdad sekalipun.
Generasi masa depan tidak akan mengenal Maslawi dan akan berbicara dalam dialek lain sebagai gantinya.
Warga Irak dari daerah-daerah lain sudah lama mengejek dialek Maslawi itu sebagai dialek yang terdengar seperti suara orang banci. Walid mengatakan, para pemuda di Mosul sering berganti bicara dengan dialek lain ketika ada orang luar lewat agar mereka tidak diolok-olok.
Menurut Abdulkareem Yaseen Ahmed, cendekiawan Irak di Universitas Newcastle yang mempelajari dialek tersebut, dialek Maslawi mengalami penurunan dalam penggunaan sejak beberapa dekade, melalui berbagai konflik yang terjadi sebelum NIIS menguasai Mosul pada 2014.
Pada awal abad ke-20, Mosul dan daerah sekitarnya adalah rumah bagi orang Arab, Kurdi, Assyria, Turkmenistan, dan lainnya. Warga Muslim, Kristen, Yahudi, dan warga kelompok-kelompok minoritas lainnya hidup berdampingan dan berbicara dalam bahasa Arab Maslawi.
Pada 1940-an dan 1950-an, komunitas Yahudi meninggalkan wilayah itu saat berlangsung kekerasan dan permusuhan seiring pembentukan Israel. Komunitas Kristen di Irak utara telah berkurang selama beberapa dekade karena keluarga-keluarga mereka mengungsi akibat perang dan serangan ekstremis atau mereka mencari peluang yang lebih baik di luar negeri.
Mulai 1960-an, Pemerintah Irak secara terus-menerus melancarkan gerakan Arabisasi di wilayah utara, dengan cara memindahkan banyak warga loyalis Arab dari daerah lain untuk menciptakan keseimbangan demografis dalam menghadapi warga Kurdi. Warga Kurdi sendiri mengalami pengusiran selama pemberontakan yang berlangsung. Para pendatang baru warga Arab itu membawa dialek-dialek Arab Baduwi dan menyingkirkan bahasa Maslawi. Baru-baru ini, akibat kekeringan parah, gelombang lebih besar warga Irak dari daerah-daerah lain berdatangan ke wilayah Irak utara.
Warga Irak dari daerah-daerah lain sudah lama mengejek dialek Maslawi itu sebagai dialek yang terdengar seperti suara orang banci.
”Masalah kita adalah bahwa kita telah begitu banyak bercampur,” kata Saad Mohammed Jarjis (59) ketika dia mondar-mandir di atas reruntuhan gapura yang pecah dan ubin yang hancur, di atas puing-puing rumah keluarga yang berusia berabad-abad di sebuah bukit di samping Sungai Tigris.
”Pada zaman Saddam Hussein, orang-orang desa dan perdesaan menjadi perwira dan prajurit militer. Ketika mereka datang ke Mosul, mereka memengaruhi dialek, bahasa kami,” tutur Jarjis.
Bicara seperti ayam
Mahmoud Yasin (25) lahir di Kota Tua Mosul, tetapi leluhurnya berasal dari pedalaman-pedalaman luar Mosul. Ia tidak bisa berbicara dengan dialek Maslawi. ”Ketika teman Maslawi berbicara cepat dan kami tidak bisa memahaminya, kami biasa menyebut dia berbicara seperti seekor ayam,” kata Yasin.
”Mereka berbicara seperti ayam atau kicauan burung. Suaranya terdengar ringan dan lembut. Sebagian orang bilang, suara dialek itu seperti suara perempuan yang bercakap-cakap,” ujar Yasin.
Hingga tahun 2014, Kota Tua Mosul menjadi tempat tinggal lebih dari 60.000 warga. Di bawah kontrol NIIS selama tiga tahun, ribuan orang tewas, termasuk akibat eksekusi massal. Ketika pasukan Irak yang didukung koalisi pimpinan AS berupaya merebut Kota Tua Mosul pada 2017, milisi NIIS menjadikan warga sipil sebagai perisai hidup dan bertempur dari satu rumah ke rumah dalam perang kota paling berdarah sejak Perang Dunia II.
Serangan udara dan serangan-serangan bom bunuh diri menyebabkan banyak permukiman warga rata dengan tanah. Di antara puluhan ribu warga yang mengungsi, hanya sedikit warga yang kembali ke Mosul. Banyak warga sudah tidak memiliki apa-apa lagi. Sementara sebagian lainnya takut dengan pembalasan pasukan Irak.
Nawal Fathi (70) lahir dan tumbuh di Kota Tua Mosul. Ia ikut mengungsi dan kini tinggal di pinggiran barat kota Mosul. Fathi ingat, semasa ia kecil, sheikh-sheikh pemuka suku berkunjung ke Kota Tua, bahkan tinggal di rumah keluarganya. Dengan bangga, Fathi menyatakan, para sheikh pemuka suku itu tidak mempunyai pengaruh pada budaya lokal setempat.
”Kami tidak mengambil apa pun dari mereka,” ujar Fathi tersenyum.
Namun, kini bahasa dialek Maslawi kelihatannya akan punah, bersamaan dengan punahnya segala hal di Kota Tua Mosul. ”Pikiran orang telah berubah. Mereka mengubah segalanya: mengubah pakaian, mengubah pidato. Kami tidak membohongi diri sendiri. Kami tidak bisa mengajak mereka kembali (ke masa lalu),” kata fathi.
Di tengah suasana suram yang dialami dialek Maslawi, Ahmed, sang peneliti, melihat ada alasan untuk bisa berharap. Di Qantara Cultural Café, seberang Universitas Mosul, anak-anak mahasiswa berkumpul di sekitar bekas-bekas peninggalan masa lalu. Di dekat pintu gerbang, kaus-kaus olahraga bertuliskan ungkapan-ungkapan terkenal dialek Maslawi dijual.
Ahmed mengatakan, rakyat Mosul kini merasa butuh memperlihatkan identitas yang berbeda, jauh dari NIIS. ”Dan, bahasa adalah bagian dari identitas,” ujarnya. (AP)