Biaya kampanye Pemilu anggota legislatif yang semakin tinggi membuat sejumlah calon anggota legislatif memutar otak untuk menekan pengeluaran. Berbagai cara ditempuh, seperti membonceng acara-acara warga di daerah pemilihan, mengubah gaya hidup, menyediakan jasa bimbingan belajar bagi pemilih milenial, serta berikhtiar mengunjungi nyaris semua rumah warga di daerah pemilihannya.
Zaky Mahendra, calon anggota legislatif (caleg) untuk DPR RI dari Partai Persatuan Pembangunan, punya trik kampanye untuk menarik perhatian pemilih milenial. Caleg dari daerah pemilihan (dapil) Jawa Barat VII itu menyediakan jasa bimbingan belajar dan kelas latihan ujian (try out) gratis secara daring bagi pemilih berusia 17-18 tahun yang akan segera menghadapi ujian nasional dan memilih untuk kali pertama, tahun ini.
Kebetulan, Zaky dulu mengenyam pendidikan sarjana di jurusan teknologi pendidikan. Ia merintis program belajar bimbelkita.id dan sudah menyosialisasikan serta menguji coba aplikasi itu di berbagai Sekolah Menengah Atas (SMA) di ibukota. Program itu kini ia pakai sebagai salah satu cara berkampanye di dapilnya.
Mau tidak mau perlu ada trik inovasi, tidak bisa lagi mengandalkan cara-cara lama
Tingginya biaya kampanye, lanjut Zaky, membuatnya harus mencari cara kampanye yang tidak konvensional dan bisa mengirit biaya. Ia tidak sanggup jika harus merogoh kantong untuk membuat alat peraga kampanye secara masif. “Mau tidak mau perlu ada trik inovasi, tidak bisa lagi mengandalkan cara-cara lama,” kata Zaky.
Dengan membuka kelas bimbingan belajar, Zaky menargetkan bisa mengamankan 20.000 sampai 30.000 suara pemilih milenial di dapilnya yang terdiri dari Bekasi, Karawang, dan Purwakarta. “Kalau saya habiskan uang untuk fokus membuat alat peraga kampanye (APK), mungkin bisa habis miliaran rupiah. Tetapi, kalau serius menggarap para milenial, habisnya kira-kira tidak sampai Rp 200 juta,” katanya.
Dari data-data diri para peserta kelas bimbingan belajar dan try out daring itu, Zaky dan timnya dengan gencar melakukan kampanye lewat udara. Misalnya, mengirim pesan-pesan singkat yang rutin via Whatsapp atau SMS untuk bersilaturahim, menyampaikan gagasan kampanye, serta mengenalkan figur Zaky kepada para pemilih milenial.
“Tentunya, kami meminta izin dulu dari mereka. Secara tidak langsung, ini bentuk kampanye door to door, seperti kampanye microtargeting di Amerika Serikat, hanya saja saya tidak menambang data masif (big data). Maunya seperti itu, tetapi saya tidak ada uang,” kata Zaky.
Kunjungan
Lain orang, lain strategi. Caleg petahana dari Fraksi Partai Nasdem, Taufiqulhadi, misalnya, memilih menggencarkan kunjungan tatap muka secara personal ke rumah-rumah warga. Ia meyakini, dengan cara itu, ia lebih mudah diingat warga. Taufiqulhadi berupaya sebisa mungkin agar ia turun sendiri ke lapangan, bukan diwakili oleh relawan.
Saya tidak pernah merasakan habis-habisan seperti sekarang ini.
Taufiqulhadi mengatakan, biaya kampanye di pemilu kali ini jauh lebih tinggi dibanding sebelumnya. “Saya tidak pernah merasakan habis-habisan seperti sekarang ini. Apalagi, dapil saya dipindah, dari Jawa Timur ke Jawa Barat, jadi saya sekarang harus bekerja ulang dari nol lagi,” tuturnya.
Hampir setiap hari, Taufiqulhadi berkunjung ke dapil. Saat akhir pekan, ia bisa berkunjung, setidaknya ke empat desa. Kadang, ia juga memakai hari kerja untuk berkampanye ke dapilnya di Bogor, terutama ketika agenda kedewanan di Kompleks Parlemen, sedang landai.
Taufiqulhadi juga menyempatkan diri untuk menghadiri berbagai acara di dapilnya, misalnya, pernikahan atau acara syukuran warga. Pendekatan seperti itu diyakininya bisa mengurangi pengeluaran.
Caleg yang uangnya keluar banyak, biasanya karena jarang turun ke dapil untuk bertemu langsung dengan warga
“Saya usahakan turun sendiri, biar membangun hubungan dengan masyarakat. Kalau sudah ada hubungan personal, biaya politik jadi relatif, uang tidak harus keluar banyak. Caleg yang uangnya keluar banyak, biasanya karena jarang turun ke dapil untuk bertemu langsung dengan warga,” katanya.
Muhammad Zainul Arifin, caleg untuk DPR RI dari dapil DKI Jakarta II , menekan pengeluarannya dengan cara aktif menghadiri acara-acara yang diadakan di dapilnya. Beberapa saat lalu, misalnya, ia hadir dalam acara peringatan Maulid Nabi di salah satu madrasah di Lebak Bulus, Jakarta Selatan. “Saya ke sana, istilahnya ‘nebeng’ untuk tebar pesona lah, kebetulan ada teman saya (bekerja) di situ,” kata Zainul.
Kader Partai Persatuan Pembangunan ini kerap memunculkan diri di berbagai acara warga di dapilnya, untuk membantu menekan biaya kampanye. Ia sendiri baru kali pertama ini maju mencalonkan diri di pileg. Untuk membuat alat peraga kampanye seperti spanduk, kaus, dan kalender, Zainul menghabiskan uang tabungannya sebanyak Rp 50 juta.
Itu belum termasuk biaya lain seperti sosialisasi tatap muka yang biasanya menghabiskan Rp 500.000 untuk satu kali acara. Uang itu untuk konsumsi dan biaya transportasi 10 orang konstituen. Untuk lebih menekan pengeluarannya, Zainul juga perlahan mengubah gaya hidupnya.
Di depan orang, saya terlihat mampu makan mewah, tetapi setiap pulang ke rumah dengan istri makannya cukup nasi, kerupuk, sambal.
“Sekarang, saya makan apa adanya. Di depan orang, saya terlihat mampu makan mewah, tetapi setiap pulang ke rumah dengan istri makannya cukup nasi, kerupuk, sambal. Jika ada uang lebih baik untuk kampanye,” tutur Zainul.