Bangku-bangku di Teater Seni Pertunjukan ACS Jakarta yang mampu menampung 332 orang telah dipenuhi penonton, Jumat (25/1/2019) pukul 18.30 WIB. Suara riuh rendah tiba-tiba meredam ketika penerangan dimatikan. Tirai panggung pun mulai terbuka dan cahaya pun menyusup secara perlahan.
Tepuk tangan penonton menandai dimulainya konser “Dance for Charity: Vanguardian Identity”. Konser amal yang digelar dua hari hingga Sabtu (26/1) itu memberikan dana amalnya ke dua Sekolah Dasar (SD) di Kupang, yaitu SD Katolik Don Bosco dan SD Negeri Kofi.
Sebanyak 167 penari, mulai dari para siswa SD hingga SMA ACS Jakarta,berpartisipasi dalam konser tersebut. Menariknya, mereka juga berkolaborasi dengan siswa SMA Negeri 113 Jakarta yang semakin menambah variasi dalam tarian yang dipersembahkan.
“Tahun ini tema-nya mix tradisi Indonesia dan hip hop, yaitu memasukkan keterkaitan pelajaran bahasa Indonesia yang saat ini sedang membahas mitos dan legenda yang berkembang di Indonesia seperti cerita Roro Jonggrang,” jelas guru ekstra kurikuler tari sekaligus Ketua Acara, Arum Handayani, Jumat (25/1)).
Ada beberapa unsur cerita yang dibawakan, seperti Timun Mas dan Roro Jonggrang (Bandung Bondowoso). Seluruh adegan dituangkan dalam bentuk tarian, bahkan dalam pertarungan diwujudkan dalam gerakan tari. Selain itu, didukung beberapa dialog berbahasa Inggris yang sudah disulih suara untuk memperjelas alur cerita.
Penari sekaligus yang menjadi tokoh Roro Jonggrang, Josephine Valyne (17), mengaku harus latihan dengan keras untuk bisa menari tradisional dengan baik.
“Dasarnya aku modern dance tapi kali ini belajar bawa Tari Gaba-Gaba dan Tari Giring-Giring. Ini pengalaman yang seru karena teman-teman dari SMA 113 ngajarin kami juga,” ucap siswi kelas 11 SMA ACS Jakarta.
Tarian Gaba-Gaba asal Maluku atau juga dikenal dengan tarian Bambu Gila dipentaskan. Bambu digerakkan membuka dan menutup menyesuaikan irama musik. Namun, kaki penari tidak boleh mengenai bambu sehingga mereka harus bergerak secara lincah.
Sementara, Tari Giring-Giring berasal dari Kalimantan Tengah dengan ciri khas penarinya memegang tongkat yang terbuat dari bambu. Tongkat diisi dengan biji-bijian sehingga menghasilkan suara yang unik. Tantangan bagi penarinya adalah harus memainkan tongkat yang padu dan seirama antara gerakan dengan suara dari tongkat yang dientak-entakkan.
Konser yang berlangsung selama lebih kurang dua jam tersebut mempertunjukkan percampuran tari modern, urban, tradisional, K-pop bahkan menyisipkan silat dalam beberapa adegan. Musik yang digunakan beberapa juga dipadukan dengan unsur electronic dance music (EDM).
Pergantian tarian satu dan yang lain berlangsung dengan cepat, sehingga ada saat penonton akan menyadari “Roro Jonggrang” yang sebelumnya menari Giring-Giring kemudian menari hip hop atau pun K-pop.
Menurut Shannon Sutandinata (17) salah satu penari, untuk mempelajari karakter tari tradisional dan modern tidak mudah. “Kalau Hip-Hop karakternya powerfull, sedangkan saat mempelajari kecak lebih detail karena gerakan tangan harus tajam,” ujar siswa ACS Jakarta.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Bintari Citra Kurniawan (15), salah satu penari dari SMAN 113 Jakarta bahwa semuanya bisa saling belajar. Banyak pengalaman dan ilmu yang didapat dari konser kolaborasi tersebut.
“Kami bisa bersenang-senang sekaligus beramal juga dapat teman baru. Kita bisa ngajarin tari tradisional mereka ngajarin hip hop” kata dia. (FRANSISCA NATALIA ANGGRAENI)