Rowosari di Temanggung, Dusun yang Bersih dari Spanduk Politik
Riuh rendah dan panasnya suhu politik jelang pemilu dan pemilihan presiden (pilpres) boleh menggoncang dunia, tetapi hal itu tidak mengubah apa pun dalam keseharian warga di Dusun Rowosari, Desa Manggong, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Sejak sebelum kampanye hingga sekarang, kampung ini tetap senyap, jauh dari segala ingar bingar urusan parpol ataupun figur politik.
Komitmen untuk menghindari urusan politik ini bahkan ditegaskan warga dengan memasang spanduk bertuliskan larangan bagi siapa saja untuk memasang atribut parpol dalam bentuk apa pun.
Ketua Karang Taruna Rowosari Purnomo mengatakan, warga sengaja memutuskan bersikap tegas karena di dusun tetangga terdapat empat calon anggota legislatif dari berbagai parpol. Keberadaan mereka membuat Rowosari rawan disusupi kepentingan politik yang akhirnya berpotensi menimbulkan perpecahan.
”Daripada nantinya terjadi kebingungan dan konflik karena ada kubu yang memilih partai ini dan itu, lebih baik kami putuskan netral saja,” ujarnya. Rowosari terdiri atas empat rukun tetangga (RT) dan berpenduduk sekitar 300 jiwa.
Pemasangan atribut politik, seperti spanduk, kadang menimbulkan kontroversi, seperti yang terjadi pada spanduk yang bertuliskan ”Sultan Gubernurku, Jokowi Presidenku” di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pemasangan spanduk bertuliskan ”Sultan Gubernurku, Jokowi Presidenku” di sejumlah tempat di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menimbulkan kontroversi.
Baca juga: Spanduk "Sultan Gubernurku, Jokowi Presidenku" di DIY Timbulkan Kontroversi
Jika pemasangan spanduk baru dilakukan sebulan lalu, sikap konsisten warga untuk tidak memasukkan unsur politik dalam keseharian sudah berlangsung sejak lama. Tidak sekadar menolak memasang atribut, mereka juga lama berkomitmen untuk memperbincangkan politik dalam aktivitas dan kegiatan apa pun.
”Bagi kami, tabu bicara politik di Rowosari,” ujarnya.
Komitmen tersebut muncul dari pengalaman buruk di masa kampanye Pemilu 1999. Ketika itu, urusan dalam memilih parpol atau figur tertentu memicu terjadinya perselisihan yang akhirnya mengganggu relasi antarwarga. Mengacu pada pengalaman tersebut, mulai tahun 2014, warga bersepakat menolak pemasangan atribut parpol di kampung. Kesepakatan itu berjalan baik. Namun, seminggu sebelum hari pemilihan, ketenangan warga pun terusik karena tiba-tiba ada 10 stiker yang ditempel di lingkungan kampung. Hal itu pun akhirnya kembali memancing perselisihan dan masalah lama yang sebelumnya pernah muncul.
Menyikapi kondisi tersebut, Karang Taruna Rowosari pun berinisiatif mempertegas komitmen warga dengan langsung memasang spanduk bertuliskan larangan memasang atribut parpol.
Sekalipun enggan berurusan dengan politik, sebagian besar warga tetap memastikan diri memilih dan tidak akan golput. Pilihan yang akan dicoblos saat ini juga sudah dimiliki tiap warga, tetapi hal itu tidak pernah diungkapkan secara terbuka.
Purnomo mengatakan, seluruh warga memahami bahwa pilihan dalam pemilu dan pilpres adalah hal yang sangat pribadi.
”Kami menjaga urusan pribadi masing-masing. Pilihan dalam pemilu dan pilpres cukup diri sendiri dan Tuhan yang tahu. Tidak perlu digembar-gemborkan, tidak perlu dipamerkan,” ujarnya.
Politik, menurut dia, memang dihindari betul oleh warga. Saat pembentukan kelompok karang taruna formasi baru sekitar enam bulan lalu, para pengurus RT pun sudah mengingatkan kalangan pemuda agar berhati-hati dan jangan sampai memasukkan kader parpol sebagai anggota.
“Kata para pengurus RT dan sesepuh kampung, politik dikhawatirkan akan menimbulkan perpecahan di kalangan pemuda,” ujarnya.
Wardi (40), warga lainnya, mengatakan, keputusan warga dan pemasangan spanduk tersebut dirasanya sangat melegakan hati. Kesepakatan warga tersebut membuatnya merasa lebih senang dan tenang karena dirinya pun yakin perselisihan antarwarga yang dulu terjadi tersebut tidak akan muncul lagi.
”Hidup tanpa urusan politik itu menenangkan,” ujarnya.
Rifantoro (18), salah seorang warga yang juga menjadi pemilih pemula dalam ajang pemilu kali ini, mengatakan, dirinya sudah memiliki pilihan calon tertentu. Pilihan ditetapkan setelah melihat sikap dan perilaku calon tersebut dari tayangan video di Youtube. Setelah menetapkan pilihan, dia pun merasa cukup dan tidak perlu melihat atau mendengar kampanye dari calon lainnya.
”Bagi saya, membicarakan politik juga tidak menjadi hal penting karena saya sudah memiliki pilihan yang akan saya pilih nanti,” ujarnya. Dia juga tidak merasa perlu membicarakan calon pilihannya dengan orang lain.
Terkait dengan pemilu, Rifantoro mengatakan, dirinya juga sering membaca berita-berita tersebut di media sosial. Namun, dia mengaku tidak terlalu tertarik mengomentari hal itu, dan juga tidak tertarik membicarakan berita tersebut dengan rekan-rekannya.
”Masih banyak hal penting lainnya untuk dibicarakan,” ujarnya sembari tertawa.
Sekretaris Desa Manggong Solikhin mengatakan, yang dilakukan warga Rowosari adalah upaya baik untuk mencegah terjadinya perpecahan antarwarga.
”Mungkin, dengan upaya ini, mereka berkeinginan bisa betul-betul mencegah munculnya api permusuhan atau perselisihan, bahkan menekan bibit ketidaksukaan yang masih tersimpan dalam hati sekalipun,” ujarnya.
Menurut Solikhin, situasi memang perlu dikendalikan karena saat ini, para caleg mulai intens melakukan kampanye, dengan cara melakukan pendekatan hingga ke rumah-rumah warga. Situasi pun makin panas karena lingkungan kampung dan dusun kini juga diramaikan pemasangan aneka atribut parpol, caleg, dan capres beserta cawapres.
Menyikapi kondisi ini, dia pun hanya sebatas bisa mengimbau dan mengingatkan.
”Jangan sampai posisi yang akan diduduki selama lima tahun ini justru menimbulkan masalah berlarut-larut dan berkepanjangan hingga bertahun-tahun mendatang,” ujarnya.
Wardi (40), warga lainnya, mengatakan, keputusan warga dan pemasangan spanduk tersebut dirasanya sangat melegakan hati. Kesepakatan warga tersebut membuatnya merasa lebih senang dan tenang karena dirinya pun yakin perselisihan antarwarga yang dulu terjadi tersebut tidak akan muncul lagi.