UU Pemilu, UU MD3, dan UU Ketenagakerjaan menjadi regulasi yang paling banyak diuji ke MK sepanjang 2018.
JAKARTA, KOMPAS Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menjadi regulasi yang paling sering diuji Mahkamah Konstitusi sepanjang 2018. Kualitas yang buruk dinilai sebagai salah satu penyebab UU tersebut paling sering dibawa ke MK.
Ketua MK Anwar Usman dalam acara Refleksi Tahun 2018 dan Proyeksi Tahun 2019 Kinerja MK di Jakarta, Senin (28/1/2019), menyampaikan, UU Pemilu dimintakan uji materi hingga 21 kali ke MK, disusul UU No 2/2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) di urutan kedua (10 kali). Di urutan ketiga, UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang 7 kali diuji di MK.
Sebagai catatan, MK menangani 223 perkara pada 2018 yang terdiri dari 151 perkara pengujian undang-undang dan 72 perkara perselisihan hasil pilkada. Adapun sejak berdiri, MK telah menangani 2.657 perkara.
Dalam acara tersebut, turut hadir jajaran hakim MK, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Bambang Soesatyo, Ketua Komisi Pemilihan Umum Arief Budiman, Ketua Badan Pengawas Pemilu Abhan, dan Hakim Agung Tata Usaha Negara Mahkamah Agung Supandi.
Ketua Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Veri Junaedi mengatakan, banyaknya permintaan uji materi UU Pemilu tak hanya terjadi pada tahun lalu. Dalam 15 tahun terakhir, undang-undang terkait pemilu dan politik paling banyak dimintakan uji materi ke MK.
Menurut Veri, hal ini terjadi karena penyusunan undang-undang itu selalu sarat dengan kepentingan politik. Produk legislasi yang dihasilkan sering kali tak berkualitas, misalnya mengabaikan konstitusi dan tidak mencerminkan kepentingan publik. Karena itu, undang-undang yang dihasilkan rentan diuji ke MK dan, ketika diuji, MK memang melihat aturan dalam undang-undang tidak selaras dengan amanah konstitusi.
Lebih cepat
Terkait kinerja MK pada 2018, Veri melihat adanya peningkatan kinerja. Ini terlihat dari tunggakan perkara pada 2018 yang turun dibandingkan dengan tahun sebelumnya dan waktu penanganan perkara lebih cepat.
Rata-rata waktu penyelesaian perkara yang dilakukan MK sepanjang tahun 2018 adalah 3,5 bulan atau setara 69 hari kerja. Sementara pada 2017, rata-rata waktu penyelesaian perkara 5,2 bulan atau 101 hari kerja. Penghitungan waktu penanganan perkara dimulai sejak perkara diregistrasi sampai perkara diputus.
Untuk 2019, Veri berharap capaian-capaian positif MK pada 2018 bisa dipertahankan. Apalagi, pada 2019, MK dihadapkan dengan pekerjaan yang tidak ringan. MK kemungkinan besar akan menghadapi banyaknya pengajuan sengketa hasil pemilu, baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden.
Bambang Soesatyo pun mengingatkan agar MK menyiapkan diri menghadapi sengketa pemilu. Para hakim MK dituntut untuk tegas, independen, dan netral saat memeriksa sengketa hasil pemilu.
Mengenai hal ini, Anwar menegaskan, MK telah siap. MK telah menyiapkan aturan dan personel untuk mendukung penanganan perkara sengketa hasil pemilu.