Waspadai Banjir Produk Impor Melalui E-dagang
JAKARTA, KOMPAS — Kontribusi barang impor dari kanal e-dagang perlu diperhatikan sebagai fokus menata ekosistem perdagangan secara daring. Saat ini, jumlah produk impor di kanal e-dagang lebih dominan dibanding produk buatan dalam negeri. Jika dibiarkan tanpa penataan, produk-produk impor akan semakin membanjiri Indonesia, sehingga berpotensi melesukan ekonomi kerakyatan.
McKinsey memperkirakan, pertumbuhan e-dagang di Indonesia meningkat delapan kali lipat, dari total pembelanjaan daring pada 2017 yang sebesar 8 miliar dollar AS menjadi 55 miliar dollar AS-65 miliar dollar AS pada 2020.
McKinsey juga memprediksi penetrasi belanja daring masyarakat Indonesia pada 2020 akan meningkat menjadi 83 persen dari total pengguna internet. Persentase itu meningkat sekitar 9 persen dibanding penetrasi belanja daring pada 2017.
Ekonom Centre of Reform on Economics (CORE) Indonesia Muhammad Faisal di Jakarta, Senin (29/1/2019), mengatakan adanya kecenderungan pertumbuhan itu pada industri e-dagang. Apalagi mengingat adanya perubahan pola konsumsi dan gaya hidup masyarakat dari belanja konvensional ke belanja daring.
"Angka pertumbuhan itu perlu menjadi perhatian, karena trennya akan terus naik pada beberapa tahun mendatang," kata dia.
Pada akhir Juli 2018, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mencatat, nilai impor barang konsumsi per kapita naik dari 10 dollar AS per kapita pada triwulan I-2015, lalu 12,2 dollar AS per kapita pada triwulan I-2016, kemudian 12,4 dollar AS per kapita triwulan I-2017, dan 14,9 dollar AS per kapita pada triwulan I-2018.
Hasil penelusuran Bappenas di beberapa laman pemasaran (marketplace), barang impor mendominasi lapak pedagang, sebagian besar berupa tas, sepatu, pakaian, mainan, dan elektronik. Komposisi barang impor sedikitnya tiga kali lipat lebih banyak ketimbang produk lokal.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang PS Brodjonegoro di Jakarta, menyatakan, pola konsumsi berubah tiga tahun terakhir. Ada kecenderungan peningkatan jumlah penduduk kelas menengah ke atas membeli barang konsumsi impor.
Gejolak dalam pertumbuhan konsumsi, menurut Bambang, bukan karena penurunan daya beli, melainkan pengalihan konsumsi. Masyarakat kini membeli barang konsumsi impor seiring perkembangan e-dagang. (Kompas, 30 Juli 2018).
Baca juga: Tren Belanja Daring Dorong Impor
Gejolak dalam pertumbuhan konsumsi bukan karena penurunan daya beli, melainkan pengalihan konsumsi. Masyarakat kini membeli barang konsumsi impor seiring perkembangan e-dagang.
Secara umum, Badan Pusat Statistik mencatat, impor barang konsumsi selama Januari-Desember 2018 meningkat 22,03 persen, atau sebesar 17,1 miliar dollar AS dibandingkan periode yang sama tahun 2017.
Impor barang konsumsi itu turut berkontribusi terhadap lonjakan impor nonmigas Indonesia selama 2018. Impor nonmigas meningkat cukup signifikan, yaitu 19,71 persen, dari 132,66 miliar dollar AS tahun 2017 menjadi 158,81 miliar dollar AS tahun 2018.
Adapun ekspor hanya tumbuh 6,25 persen, dari 153,08 miliar dollar AS tahun 2017 menjadi 162,65 miliar dollar AS tahun 2018. Surplus neraca perdagangan nonmigas menjadi semakin kecil. Pada 2018, surplus neraca perdagangan nonmigas 3,837 miliar dollar AS. Angka itu jauh lebih kecil dibandingkan dengan surplus neraca perdagangan nonmigas tahun 2017 yang mencapai 20,414 miliar dollar AS.
"Konsumen kelas menengah yang terus tumbuh di e-dagang ini punya geliat tinggi terhadap barang-barang dari luar negeri. Kalau ini tidak diimbangi keterlibatan pelaku usaha dalam negeri dan antisipasi pemerintah, kontribusi barang impor di e-dagang terhadap impor barang konsumsi semakin besar," kata Faisal.
Konsumen kelas menengah yang terus tumbuh di e-dagang ini punya geliat tinggi terhadap barang-barang dari luar negeri.
Permintaan tinggi
Sebagian pelaku usaha di sektor e-dagang masih memanfaatkan bisnis dari mendatangkan barang yang tidak tersedia di Indonesia. Elisa (27) misalnya, penjual barang dekorasi rumah di kanal Tokopedia dan Shopee, memulai bisnis ini karena permintaan konsumen yang tinggi.
Dari 5-10 transaksi dalam sehari, ia mendapat omzet Rp 10 juta hingga Rp 15 juta per bulan. Adapun barang yang ia jual didapat dari Australia, Jepang, dan Amerika.
Tidak hanya Elisa, Emdicky Yunarko (26), memanfaatkan celah bisnis itu untuk menjual kelengkapan kamera yang tidak tersedia di Indonesia. Dengan rentang harga produknya dari Rp 5 juta hingga Rp 500 juta, ia dapat menghasilkan rentang omzet dari Rp 600 juta hingga Rp 1 miliar per bulan.
Regulasi masih ditunggu
Saat ini, berbagai kalangan tengah menanti regulasi yang mengatur perdagangan secara daring. Pemerintah berencana mengaturnya dalam rancangan peraturan pemerintah tentang transaksi perdagangan melalui sistem elektronik (RPP E-dagang).
RPP e-dagang itu merupakan bagian dari peta jalan Sistem Nasional Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik (SPNBE) 2017-2019. SPNBE itu telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2017.
Peta jalan SPNBE 2017-2019 mencakup program pendanaan, perpajakan, perlindungan konsumen, pendidikan dan sumber daya manusia, infrastruktur komunikasi, logistik, keamanan siber, dan pembentukan manajemen pelaksana.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan, Kementerian masih mengumpulkan data usaha terkait e-dagang dan berkoordinasi dengan kementerian terkait. Pemerintah juga terus mengevaluasi agar langkah-langkah yang diambil sesuai rencana. Saat ini prosenya masih dalam tahap pengumpulan data dan jenis usaha yang akan diintegrasikan dalam SPNBE. (Kompas.id, 9/1/2019).
Baca juga: Peta Jalan E-dagang Dimatangkan
Kementerian Perdagangan bahkan menemukan, laman pemasaran e-dagang digunakan untuk menjual gula rafinasi yang tidak boleh beredar di pasar konsumsi. Penjualan gula rafinasi itu illegal karena melanggar Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 74/M-DAG/PER/9/2015 2015 tentang Perdagangan Antarpulau Gula Kristal Rafinasi (GKR). Dalam pasal 3 dikatakan, GKR hanya dapat diperdagangkan kepada industri pengguna sebagai bahan baku dan dilarang diperjualbelikan di pasar eceran.
Baca juga: Gula Rafinasi Dijual di E-Dagang, Polisi Siap Bertindak
Faisal menilai, aturan itu harus benar-benar matang dalam menata peta jalan transaksi e-dagang. Tidak hanya rasio antara barang impor dan barang buatan dalam negeri yang diperhatikan, tetapi juga insentif secara menyeluruh yang berfokus pada peningkatan produksi nasional.
"Tidak hanya mengatur berapa persen barang impor dan buatan lokal, aturan itu semestinya lebih komprehensif dengan menimbang peningkatan daya saing produk lokal," kata Faisal.
Aturan itu harus benar-benar matang dalam menata peta jalan transaksi e-dagang.Tidak hanya mengatur berapa persen barang impor dan buatan lokal, aturan itu semestinya lebih komprehensif dengan menimbang peningkatan daya saing produk lokal.
Ia mencontohkan, pertimbangan daya saing itu bisa dilakukan dengan pendampingan terkait pengemasan dan pemasaran barang di kanal e-dagang. Selain itu, adanya produk impor di kanal e-dagang perlu diseleksi dari ketersediaan produk itu di Indonesia.
Baca juga: Garap Potensi Pajak, Pelapak E-dagang Dikenai Tarif
"Sepanjang barang itu tidak diproduksi di dalam negeri, sebaiknya jangan dilarang. Dari prioritas untuk meningkatkan daya saing produk lokal dan pelaku usahanya, perlu pembauran kebijakan dan transisi yang halus agar tidak bergesekan dengan berbagai kepentingan," pungkasnya. (ADITYA DIVERANTA)