JAKARTA, KOMPAS – Perbedaan pandangan politik antarindividu atau kelompok seharusnya menjadi hal yang lumrah dalam berdemokrasi. Namun, acap kali kesadaran itu belum terbangun penuh. Penguatan identitas tertentu masih menjadi penghambat terbesar bagi terciptanya sikap toleran dalam berpolitik.
Purnomo Yusgiantoro, Menteri Pertahanan RI (2009-2014), Selasa (29/1/2019) di Jakarta, mengatakan, sikap intoleran di masyarakat kerap dipicu dua hal, yakni politik identitas dan media sosial. Perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan, kerap dibawa dalam pusaran arus politik.
Arus tersebut pun semakin besar akibat masifnya penggunaan media sosial yang tak mengenali peredaran berita bohong. "Fenomena kebenaran semu menjadi pernyataan yang terus diulang," kata Purnomo dalam bedah buku otobiografi Monsiyur Anicetus Bongsu Sinaga bertajuk "Dari Imamat Parmalim ke Imamat Katolik", di Jakarta, Selasa.
Monsinyur Anicetus adalah Uskup Gereja Katolik Roma di Keuskupan Agung Medan sejak 12 Februari 2009 hingga pensiun (emeritus) pada 8 Desember 2018. Otobiografinya berisi pemikiran keagamaan, kebudayaan, dan kebangsaan.
Menurut Purnomo, produksi hoaks pun semakin berlimpah di media sosial. Akibatnya, intoleransi semakin kuat di tengah minimnya pemahaman kita pada nilai Bhinneka Tunggal Ika dalam Pancasila.
Dampak eksklusivitas
Purnomo mengatakan, perbedaan pandangan dan SARA tak mungkin dihindari di tengah masyarakat Indonesia yang sangat majemuk. Semua bisa teratasi apabila tak ada ekslusivitas di setiap orang atau kelompok.
"Selama ini, kan, rasa eklusivitas masih tinggi dan itu yang menghancurkan kita, entah lewat agama atau budaya. Jadi, toleransi tak terbangun," tutur Purnomo.
Sosiolog Universitas Indonesia Kastorius Sinaga pun menambahkan, di tengah kontestasi pemilu, masyarakat perlu mewaspadai penguatan identitas tertentu untuk kepentingan politik.
"Saat ini masyarakat kita sangat rentan menuduh orang lain tidak sejalan dengan kita. Itu yang membuat perpecahan semakin nyata," kata Kastorius.
Berilah solusi, bukan pertikaian
Monsinyur Anicetus mengatakan, nilai toleransi pada dasarnya memang harus dimulai dan dipupuk dari lingkup terkecil, yakni diri sendiri dan keluarga. Dengan memunculkan semangat toleransi, semangat itu akan semakin mudah disebarkan kepada masyarakat sekitar.
"Jadi bawalah dirimu bagaimana memberi solusi bagi sesama, bukan membawa masalah atau pertikaian ke luar. Memaknai demokrasi adalah mencintai beragamnya pilihan," tutur Monsinyur Anicetus.
Hal senada diungkapkan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik Kementerian Agama Eusabius Binsasi. Ia menilai, masyarakat kerap kali menyuarakan kerukunan antarumat beragama, tetapi mengabaikan kerukunan internal mereka. Padahal, itu penting untuk modal awal.
"Seringkali kita berpikir yang besar, rukun besar, lupa rukun internal. Kita sering tak melihat itu, lalu kita lebih banyak mengurusi hal yang sifatnya sangat global, tetapi melupakan akarnya," ujar Eusabius.
Sementara itu, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, Cosmas Batubara, mengatakan, di tengah tantangan itu, semua akan kembali pada pribadi masing-masing, terutama soal pemahaman terhadap Bhinneka Tunggal Ika.
"Kalau pegangan kita kuat, maka kita tak pernah akan bisa hanyut. Jadi ikut mengalir ke sungai tetapi tak terhanyut," katanya.