Berbagai sektor industri, dengan bermacam skala usaha, ada di Indonesia. Ada yang masih harus berjibaku menggarap pasar dalam negeri. Namun, tak sedikit pula yang berjaya ketika menembus pasar ekspor.
Penetrasi produk impor tak terhindarkan di tengah keterbukaan pasar. Banyak negara saling terkoneksi dalam hubungan dagang. Akan tetapi, harus dicermati ketika produk industri dalam negeri sampai kalah bersaing dengan produk sejenis atau mirip-mirip spesifikasinya dari negara lain.
Salah satu hal yang kerap disuarakan kalangan dunia usaha berkaitan dengan kebijakan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN). Isu ini bahkan termasuk dalam salah satu substansi yang menjadi fokus dalam Outlook Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) 2019. Komitmen pemerintah menerapkan kebijakan terencana, konsisten, dan berkelanjutan untuk mengembangkan industri dalam negeri adalah hal yang diingatkan Apindo.
Apindo menengarai upaya ini dapat ditempuh melalui konsistensi penerapan kebijakan bagi seluruh industri, dari hulu hingga hilir. Keberpihakan pemerintah dinilai penting dalam mendukung konsistensi pemanfaatan secara maksimal program TKDN tersebut. Apalagi, industri dalam negeri, di tengah segenap tantangan, selama ini tak henti berkiprah memproduksi barang. Misalnya, industri yang memproduksi berbagai mesin dan peralatan pendukung ketenagalistrikan.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian (Kemenperin), industri dalam negeri mampu memproduksi peralatan, dari pembangkit hingga transmisi dan distribusi. Produk industri dalam negeri tersebut antara lain ketel uap, generator, transformator daya, pompa, menara transmisi, konduktor, trafo distribusi, dan panel listrik. Kemenperin menilai kemampuan industri seperti ini dapat mendorong optimalisasi TKDN. Lebih lanjut, substitusi impor dapat diraih. Ujungnya, mengarah pada perbaikan neraca perdagangan.
Ada Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 54 Tahun 2012 tentang Pedoman Penggunaan Produk Dalam Negeri untuk Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan. Peraturan ini diharapkan dapat mendorong penggunaan produk dalam negeri.
Namun, akankah ada regulasi untuk mendorong optimalisasi TKDN di berbagai sektor industri yang lain? Apalagi ada pasar besar aneka kebutuhan lain yang sebenarnya dapat diisi industri dalam negeri.
Pertanyaan berikutnya, seberapa besar komitmen seluruh pemangku kepentingan untuk mau menggunakan produk dalam negeri?
Kemampuan menggarap pasar domestik selanjutnya juga potensial menjadi modal bagi industri dalam negeri menggarap pasar ekspor. Tentu, kita tidak akan puas jika industri dalam negeri hanya menjadi jago kandang. Lebih mengecewakan lagi ketika di dalam negeri pun industri kita kalah. (C Anto Saptowalyono)