JAKARTA, KOMPAS — Perusahaan BUMN di bidang pertambangan harus mendapat prioritas pengelolaan izin usaha pertambangan. Hal itu sejalan dengan amanat konstitusi bahwa sumber daya alam dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Jakarta, Ahmad Redi, mengatakan, selama ini prioritas BUMN hanya untuk divestasi saham perusahaan tambang milik asing dan pemberian izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Sebaiknya, peran BUMN diperkuat dengan memberikan prioritas pada pengelolaan izin usaha pertambangan (IUP).
"Sebaiknya pengusahaan izin usaha pertambangan, baik mineral maupun batubara, hak prioritas izin diberikan kepada BUMN. Jadi, tidak melulu soal pemberian IUPK atau divestasi saham perusahaan asing. Itu sudah sesuai amanat konstitusi," kata Redi, Selasa (29/1/2019), di Jakarta.
Selain prioritas pemberian izin kepada BUMN, lanjut Redi, revisi UU No 4/2009 harus memberi kepastian hukum terhadap kontrak karya (KK) dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) yang bakal habis masa kontraknya untuk ditetapkan statusnya menjadi IUPK. Namun, lantaran sumber daya batubara maupun mineral yang dikelola pemegang KK dan PKP2B adalah sumber daya strategis, penetapan menjadi IUPK harus melewati persetujuan DPR.
Perpanjangan izin operasi pemegang KK dan PKP2B dikritik sejumlah kalangan. Sebab, perpanjangan izin langsung diberikan tanpa mekanisme lelang atau lewat persetujuan DPR. Hal itu termuat dalam rancangan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sebagai aturan turunan dari UU No 4/2009.
"Sesuai UU, operasi KK dan PKP2B yang sudah habis masa berlakunya, wilayah operasinya harus segera dikembalikan ke negara untuk kemudian dilelang melalui mekanisme di DPR. Tidak semerta-merta diperpanjang. Selain itu, ada prioritas bagi BUMN untuk mengelola sumber daya tersebut," ujar Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies Marwan Batubara.
Peneliti pada Alpha Research Database, Ferdy Hasiman, menambahkan, usaha pemerintah yang mengubah status operasi PT Freeport Indonesia dari KK menjadi IUPK patut diapresiasi. Dengan demikian, posisi negara selaku pemilik sumber daya alam lebih tinggi dibanding korporasi. Ia menyebut keberhasilan itu sebagai bukti negara yang berdaulat atas kekayaan alamnya.
"Apalagi, dengan masuknya BUMN (Inalum) dalam hak kelola Freeport dengan sumber daya mineralnya yang luar baisa, patut diapresiasi karena selama ini negara belum banyak memberi kesempatan bagi BUMN untuk mengelola tambang-tambang raksasa," ujar Ferdy dalam peluncuran buku berjudul "Freeport: Bisnis Orang Kuat vs Kedaulatan Negara", Senin (28/1/2019), di Jakarta.
Selama ini, pemerintah berhasil membuat kesepakatan dengan perusahaan pemegang KK dan PKP2B untuk mengamandemen isi kontraknya. Amandemen itu meliputi enam hal, yaitu luas wilayah pertambangan, penerimaan negara, kewajiban divestasi, kelanjutan operasi, pemanfaatan barang dan jasa di dalam negeri, serta pembangunan smelter. Seharusnya, amandemen kontrak selambatnya rampung setahun setelah UU No 4/2009 terbit.
Sampai dengan akhir tahun lalu, sebanyak 68 PKP2B dan 29 KK sudah menandatangani amandemen kontrak. Ada satu pemegang PKP2B yang tidak mengamandemen kontraknya karena sudah mengajukan permohonan penutupan operasi tambang kepada pemerintah. Selain itu, masih ada dua KK yang belum menandatangani amandemen kontrak. (APO)