Caleg Manfaatkan Data Digital
Tampilan konten kampanye calon legislatif di media sosial, Selasa (29/1/2019).
JAKARTA, KOMPAS – JAKARTA, KOMPAS Sejumlah partai politik dan calon anggota legislatif menggunakan data raksasa (big data) yang antara lain bersumber dari media sosial untuk menyusun kampanye digital. Meski efektivitasnya belum teruji secara pasti di Indonesia, kampanye digital ditengarai lebih murah dibandingkan dengan kampanye konvensional, seperti dengan memakai alat peraga kampanye.
Partai Golkar menjadi salah satu partai yang serius memanfaatkan data raksasa. Data raksasa itu diolah dan dianalisis, lalu dipakai untuk menyusun strategi serta konten kampanye yang spesifik untuk setiap pemilih.
Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar mulai melakukan hal itu sejak Mei 2018 untuk menyosialisasikan citra partai. Pada Oktober 2018, metode ini diperkenalkan kepada caleg Golkar dan diterapkan secara masif.
Wakil Koordinator Bidang Penggalangan Khusus Partai Golkar Rizal Mallarangeng saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (29/1/2019), mengatakan, DPP Partai Golkar menanggung semua biaya pembelian hingga pengolahan data digital serta pembuatan konten kampanye.
Di bawah koordinasi Rizal, ada tim digital yang terdiri atas ratusan orang. Saat ini, di setiap daerah pemilihan (dapil), baik tingkat DPR maupun DPRD provinsi dan kabupaten/kota, minimal ada dua caleg yang kampanye digitalnya difasilitasi tim dari DPP.
Perubahan sikap
Golkar memperoleh data digitalnya dari media sosial (medsos) seperti Facebook. Aplikasi yang sering dipakai untuk menyebarkan pesan kampanye adalah Facebook dan Instagram. ”Perubahan sikap (pemilih) bisa terjadi lewat Facebook dan Instagram. Kalau Twitter, pengaruhnya tidak besar,” ujar Rizal.
Meski belum ada jaminan terkait efektivitas, menurut Rizal, kampanye digital berbasis data raksasa punya potensi cukup baik. Ia mencontohkan, jumlah pemilih milenial Golkar terus meningkat sejak kampanye ini digencarkan tahun 2018. Pemilih milenial rata-rata menggunakan medsos secara intens dan jumlahnya hampir 50 persen dari total pemilih Pemilu 2019 yang mencapai 192,8 juta orang.
”Ini cara baru, belum tentu (berhasil). Namun, kalau bisa memanfaatkan teknologi secara efektif, kami yakin hasilnya akan sangat kuat,” ujarnya.
Ketua DPR Bambang Soesatyo, yang kembali maju di Pileg 2019 dari Dapil Jawa Tengah X, juga meyakini hal tersebut. Di dapilnya, yang terdiri dari Kebumen, Purbalingga, dan Banjarnegara, ada sekitar 1,8 juta pemilih yang memakai medsos. Bambang pun membeli data mentah pengguna Facebook dan Instagram di dapilnya dengan kisaran harga Rp 20 juta, dari penyedia jasa konsultan pengolahan data.
Lewat data yang ada di dua medsos tersebut, Bambang memetakan potensi perolehan suara di dapilnya secara spesifik. Mulai dari berdasarkan preferensi politik, sejarah kontribusi pemilih dalam politik, hingga urusan kecil, seperti konsumsi media, hobi, aktivitas pemilih di media sosial, sampai status kepemilikan rumah atau kendaraan pemilih.
Dari pemetaan itu, ia menjahit strategi pendekatan yang spesifik. Pemilih dikirimi pesan kampanye yang berbeda, baik melalui pesan singkat (SMS), Whatsapp, maupun iklan kampanye di Facebook atau Instagram. ”Waktu dan biaya yang saya keluarkan lebih sedikit dibanding melakukan kampanye dengan sistem door to door atau mobilisasi massa,” ujarnya.
Agar lebih efektif, Bambang menggabungkan strategi kampanye digitalnya dengan kampanye darat. Ia memakai hasil pemetaan atau profiling data raksasa untuk mengefektifkan penyampaian pesan saat kampanye tatap muka dengan calon pemilih di dapilnya.
”Potensi big data di negara kita belum dimanfaatkan secara maksimal, padahal siapa yang mampu memanfaatkannya bisa unggul dalam bidang apa pun. Data yang ada bisa diolah menjadi senjata utama untuk memenangi berbagai pertarungan, termasuk pertarungan politik,” ujarnya.
Lewat data yang ada di dua medsos tersebut, Bambang memetakan potensi perolehan suara di dapilnya secara spesifik. Mulai dari berdasarkan preferensi politik, sejarah kontribusi pemilih dalam politik, hingga urusan kecil, seperti konsumsi media, hobi, aktivitas pemilih di media sosial, sampai status kepemilikan rumah atau kendaraan pemilih.
Lebih murah
Caleg DPR Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dari Dapil DKI Jakarta II, Hidayat Nur Wahid, mengatakan, kampanye digital dapat menekan biaya politik. Ini karena biaya untuk membeli serta mengolah data dari medsos lebih kecil dibandingkan untuk membuat dan memasang alat peraga kampanye dalam jumlah banyak.
Hidayat mengeluarkan biaya tidak lebih dari Rp 200 juta untuk kampanye digital berbasis data raksasa. Uang itu sudah termasuk untuk membeli, mengolah, dan menganalisis data raksasa, serta membayar anggota tim yang menjalankan kampanye.
Hidayat mengatakan, tidak semua sumber data mentahnya didapat dengan dibeli. Ada data mentah digital yang ia dapat cuma-cuma karena hubungan kedekatan dengan sejumlah lembaga survei atau karena jaringan pertemanan dengan pakar riset dari beberapa perguruan tinggi.
”PKS juga punya tim riset sendiri dan kami kadang melakukan riset serta menyusun dan mengolah sendiri data pemilih kami di dapil,” katanya.
Caleg DPR dari Dapil Jawa Barat I, Ledia Hanifa, yang juga kader PKS, mengungkapkan, sejak setengah tahun terakhir ia membeli iklan di Facebook untuk membangun komunikasi dengan masyarakat.
Untuk setiap iklannya, Ledia mengeluarkan sekitar Rp 10.000 per hari. Selama enam bulan terakhir, Ledia membeli 6-7 iklan dengan durasi tayang masing-masing sekitar 10 hari.
Selain biayanya lebih murah, menurut Ledia, iklan yang dipasangnya juga dapat diarahkan menuju segmen yang spesifik, baik secara umur, lokasi, maupun jender. Guna lebih mengefektifkan iklannya, ia menciptakan beragam konten yang sesuai dengan segmen pemilih yang akan ia sasar.
Meski menggunakan kampanye berbasis data digital, Hidayat tetap mengedepankan kampanye konvensional berupa pertemuan tatap muka dari rumah ke rumah warga. Ia meyakini, cara itu masih lebih efektif untuk menarik perhatian pemilih Indonesia.
”Yang paling penting bertemu langsung dengan masyarakat. Jadi, meskipun ada big data, kami pakai itu hanya sebagai bagian konfirmasi atau penajaman kampanye,” ujarnya.
Popularitas
Direktur Eksekutif Komunikonten Hariqo Wibawa menuturkan, popularitas diri cenderung menjadi tujuan utama sebagian caleg yang menggunakan medsos untuk berkampanye. Belum banyak caleg yang memakai media sosial untuk melakukan interaksi dan menggali persoalan serta memberi tawaran solusi bagi warga. ”(Pertanyaan para caleg) Bagaimana saya bisa populer di medsos. Bagaimana cara mengelola medsos,” ujar Riqo.
Kondisi ini membuat banyak caleg memperlakukan laman di medsos serupa dengan lokasi-lokasi tertentu di dunia nyata untuk menyebarkan konten atau alat peraga kampanye.
Hal itu bisa dilihat dari laman Facebook dan Instagram sejumlah caleg peserta Pemilu 2019. Berbagai konten kampanye yang diunggah didominasi foto caleg, informasi mengenai nomor urut, daerah pemilihan, partai pengusung, atau foto aktivitas caleg tersebut.
Namun, hanya segelintir caleg yang mengunggah konten dengan narasi tertentu sembari membuka peluang bagi publik untuk berinteraksi.
Peneliti Bandung Fe Institute Hokky Situngkir mengatakan, hal penting yang cenderung dilupakan dari penyebaran konten politik di medsos adalah mempertanyakan pengaruh popularitas dalam realitas virtual dengan pilihan politik.
”Sebenarnya seberapa besar trending topic itu memengaruhi pilihan politik?” katanya. Ia menuturkan, sampai saat ini belum ada kajian yang pasti mengenai hal itu.