JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memberikan berbagai macam insentif untuk mengembangkan kendaraan listrik di Indonesia. Insentif tersebut antara lain berupa pengurangan pajak hingga investor yang mulai mengembangkan material baterai masuk ke industri.
”Sekarang dalam proses pembangunan dan kami harapkan 16 bulan ke depan mereka sudah siap beroperasi,” kata Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian Harjanto di Jakarta, Selasa (29/1/2019).
Hal ini dilakukan agar baterai sudah dapat diproduksi di dalam negeri ketika Indonesia masuk ke era kendaraan listrik.
Terkait skema pajak, pemerintah memprogramkan low carbon emission vehicle (LCEV) untuk mendorong pemanfaatan teknologi otomotif ramah lingkungan.
”Intinya, Pajak Penjualan Barang Mewah/PPnBM akan dinikmati kendaraan yang bisa menghasilkan emisi paling rendah,” kata Harjanto.
Indonesia juga membutuhkan jumlah atau populasi kendaraan yang mampu menurunkan konsumsi bahan bakar minyak (BBM). Dampak penurunan konsumsi BBM tidak akan berarti ketika harga kendaraan listrik mahal, jumlah penggunanya hanya sedikit.
”Artinya, secara volume, kita memerlukan jumlah yang bisa memberikan efek langsung pengurangan konsumsi BBM,” ujar Harjanto.
Selain insentif PPnBM, lanjut Harjanto, pemerintah juga memikirkan pengurangan bea masuk kendaraan utuh (completely built-up unit/CBU) dalam jangka waktu tertentu. Dengan demikian, kendaraan tersebut bisa diperkenalkan sehingga penggunaannya meluas di Indonesia.
”Kalau, misalnya, yang menggunakan kendaraan tersebut ratusan ribu orang, artinya akan terjadi penghematan BBM di ratusan ribu kendaraan. Jumlah itu penting sehingga pola insentif diperlukan,” kata Harjanto.
Terjangkau
Ketua Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Jongkie D Soegiarto mengatakan, insentif perpajakan dapat menjadikan harga jual mobil listrik menjadi terjangkau sehingga jumlah penggunanya semakin besar.
”Kalau dari sisi perpajakan cocok, harga akan terjangkau. Sebab, bagaimanapun mobil hybrid, plug in, dan mobil listrik selalu lebih mahal dibandingkan mobil biasa,” kata Jongkie.
Selain bea masuk, lanjut Jongkie, komposisi unsur pajak pada harga mobil saat ini mencapai 30 persen lebih. ”Gampang kok menghitungnya. Ada PPN 10 persen, kemudian PPnBM dengan kisaran 0-125 persen, tapi kita ambil rata-rata 15 persen saja deh. Itu masuk ke kas pemerintah pusat,” katanya.
Selain itu, ada bea balik nama 10 persen dan pajak kendaraan bermotor 2,5 persen yang masuk ke pendapatan asli daerah. ”Jadi, misalnya, harga satu unit mobil Rp 100 juta, maka 37,5 persen di antaranya itu masuk ke kas pemerintah pusat dan daerah,” ujar Jongkie.
Menurut Jongkie, jika pemerintah bersedia menurunkan pajak-pajak tersebut, harga mobil otomatis juga akan turun. Orang yang sanggup membeli juga akan lebih banyak ketika harga mobil turun.
Saat ditanya apakah saat ini sudah ada anggota Gaikindo yang berkomitmen memasukkan mobil listrik impor, Jongkie mengatakan, saat ini semua masih menunggu keputusan terkait PPnBM dan bea masuk. ”Begitu nanti diumumkan, kami pasti akan menghitung, mana mobil yang akan diimpor untuk, misalnya, dipasarkan dan lainnya,” katanya.
Menurut Jongkie, tidak masalah jika untuk sementara yang masuk adalah CBU impor sebagai bagian uji produk dan uji pasar.
”Tapi, setelah nanti laku dan mengetahui produk yang berhasil, mereka lalu akan memutuskan tipe yang akan dirakit dan memakai komponen dalam negeri. Kan begitu, itu semua berkelanjutan,” kata Jongkie.
Sementara itu, Deputy Director General Manufacturing Industries Bureau Ministry of Economy, Trade, and Industry (METI) Yoji Ueda mengatakan, membangun kebijakan promosi kendaraan listrik yang mempertimbangkan kebijakan energi di setiap negara merupakan langkah penting.
”Penting bagi otoritas administratif untuk memilih dari sudut pandang seimbang antara keamanan energi, pengurangan emisi gas rumah kaca, dan kebutuhan pengguna,” kata Yoji Ueda.
Yoji Udea mengatakan hal tersebut pada acara Indonesia-Japan Automotive Seminar bertajuk ”Electrified Vehicle: Concept of xEV and Well to Wheel”. Seminar terselenggara atas kerja sama Kemenperin, METI, dan Jetro. (CAS)