Diadaptasi dari naskah cerita Kwee Tek Hoay, Kelompok Teater Pojok mementaskan lakon lawas yang ditulis tahun 1930 berjudul Zonder Lentera. Pementasan teater itu berlangsung 26-27 Januari 2019 di Gedung Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat.
Cerita Zonder Lentera dengan sutradara Tamimi Rutjita dan Yasya Arifa itu sangat kontekstual pada situasi saat ini menjelang Pemilihan Umum 2019. ”Menjelang Pemilu 2019 keadaan sekarang dipenuhi dengan komedi dan satire karena hoaks yang diciptakan dari tokoh-tokoh yang seharusnya menjadi panutan masyarakat,” ujar Tamimi, Sabtu (26/1/2019).
Zonder Lentera yang berarti tanpa lampu mengisahkan persoalan kecil pada tahun 1930-an yang kemudian menjadi masalah yang pelik. Berawal dari tertangkapnya dua murid sekolah menengah bernama Willem Tan dan Johan Liem karena pulang kemalaman, ditambah mereka yang berboncengan menggunakan sepeda tidak membawa penerangan. Kala itu menjadi peraturan wajib bahwa bersepeda pada malam hari harus membawa lampu penerangan.
Sepanjang perjalanan pulang, Willem Tan dan Johan Liem dicegat dua kali oleh seorang agen polisi pribumi. Dua kali itu pula Willem dan Johan berbohong kepada polisi nama dan alamat tinggal yang sebenarnya.
Dari kebohongan kecil itu, kemudian menjadi persoalan yang besar. Singkat cerita, keisengan tersebut merembet menjadi malapetaka bagi Tan Tjo Lat. Ia seorang kepala kampung Tionghoa yang suka memeras penduduk dan menjilat atasan. ”Banyak persoalan yang kemudian menjadi alur cerita, seperti soal ketimpangan sosial, politik, penindasan, dan kebohongan yang dikaitkan dengan kondisi Indonesia saat ini,” ujar Tamimi.
Semakin menarik ketika teater tersebut didukung properti panggung yang artistik. Karakter bangunan yang menjadi set panggung dibuat mirip layaknya jalanan pecinan di Batavia pada 1930-an. ”Kami melakukan riset selama hampir empat tahun mengenai sejarah peranakan di Indonesia dan cross culture yang terjadi,” ujar Yasya.
Memperkenalkan bahasa Melayu pasar
Pementasan yang digelar dalam rangka Hari Raya Imlek 2019 itu juga ingin memperkenalkan bahasa sastra Melayu pasar. Sesuai dengan teks pada naskah, bahasa melayu Tionghoa adalah salah satu hal menarik yang ditunjukkan. ”Kami memang masih terus berupaya ingin memperkenalkan kepada khalayak luas tentang sastra Melayu peranakan,” kata sutradara Yasya.
Hal yang sama dijelaskan pimpinan produksi, Iqbal, bahwa bahasa tersebut sudah tidak banyak diketahui masyarakat saat ini. Dulu, bahasa Melayu ini pernah menjadi bahasa lingua franca, yaitu bahasa pengantar atau bahasa pergaulan agar setiap pihak yang berbeda bahasa sama-sama mengerti dengan apa yang disampaikan.
”Kami akan terus memainkan naskah, tetapi tidak tertutup kemungkinan juga memainkan naskah tokoh peranakan lainnya. Bagi kami yang penting adalah Bhinneka Tunggal Ika,” ucap Iqbal.