Konsensus ASEAN tentang perlindungan pekerja migran belum efektif diterapkan. Pekerja migran masih dipandang sebagai masalah, dan belum semua negara mempunyai perangkat untuk menerapkan konsesus itu.
Oleh
KRIS MADA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Konsensus ASEAN tentang perlindungan pekerja migran belum efektif diterapkan. Pekerja migran masih dipandang sebagai masalah, dan belum semua negara mempunyai perangkat untuk menerapkan konsesus itu.
Wakil Indonesia di Komisi HAM Antar-Pemerintah ASEAN (AICHR) Yuyun Wahyuningrum mengatakan, penerapan konsensus yang disepakati pada 2017 itu adalah ranah domestik. Penerapannya membutuhkan perangkat, mulai dari lembaga sampai peraturan. "Belum semua negara mempunyai itu," ujarnya pada acara peluncuran buku dan dialog kebijakan "The Future of Human Rights Cooperation on Migrant Workers in ASEAN and Beyond", Selasa (29/1/2019), di Jakarta.
Konsensus itu juga perlu diterjemahkan menjadi kerangka kerja yang mungkin dilakukan. Penerjemahan itu akan membantu penerapan konsensus tersebut di setiap negara.
Namun, penerjemahan itu pun berpeluang menjadi masalah. "Sebagian hukum dalam peraturan nasional (di negara ASEAN) tidak mematuhi standar HAM internasional," kata Manajer Program Advokasi HAM ASEAN Human Rights Working Group (HRWG) Daniel Awigra.
Perlindungan pekerja migran harus menjadi perhatian karena ada 20,6 juta warga ASEAN menjadi pekerja migran.
Konsensus yang tidak mengikat secara hukum itu menyulitkan perlakuan adil dan perlindungan bagi pekerja migran. Padahal, pekerja migran masih rawan menjadi korban pelecehan dan kekerasan.
Perlindungan pekerja migran harus menjadi perhatian karena ada 20,6 juta warga ASEAN menjadi pekerja migran. Hingga 6,9 juta di antaranya menjadi pekerja migran di dalam ASEAN. Mereka rentan menjadi korban perdagangan manusia dan pelanggaran HAM.
Kajian Organisasi Buruh Internasional (ILO) memperkirakan hingga 5,5 juta pekerja migran di dalam ASEAN bekerja di sektor berupah rendah. Mereka menjadi pekerja pertanian, perikanan, konstruksi, pelayanan kedai, hingga asisten rumah tangga.
Perlu prioritas
Daniel mengatakan, kritik lain pada konsensus itu adalah pekerja migran justru tidak dilibatkan dalam proses penyusunannya. Padahal, pekerja migran adalah pemangku kepentingan utama dalam konsensus itu. Konsensus itu juga tidak mempunyai mekanisme peninjauan.
HRWG mendorong ASEAN menyusun prioritas pelaksanaan konsensus itu. Salah satu isunya, memprioritaskan aspek HAM. Isu pekerja migran jangan lagi dipandang sebatas pada masalah pengiriman uang ke negara asal.
Menurut peneliti HRWG Avyanthi Azis, pekerja migran memang penting bagi pertumbuhan ekonomi ASEAN. Mereka menjadi salah satu faktor penggerak perekonomian di negara-negara ASEAN. Di negara tujuan, mereka menjadi sumber tenaga kerja sehingga perekonomian bisa bergerak. Di negara asal, mereka menjadi sumber devisa dan sumber ekonomi keluar di kampung halaman.
Dengan peran penting itu, wajar bila perlindungan pekerja migran diperkuat. Saat ini, perlindungan lebih kerap diberikan dalam bentuk kesepakatan bilateral. "Negosiasi bilateral tergantung siapa yang kuat di antara dua negara pembahas. Isinya juga tidak mudah diakses publik," ujar Avyanthi.
Kesepakatan bilateral juga lebih kerap hanya membahas masalah penempatan di negara tujuan. Sementara aspek perlindungan tidak optimal.