JAKARTA, KOMPAS - Komisi Pemilihan Umum memutuskan mengumumkan nama-nama mantan narapidana dalam kasus korupsi yang menjadi calon anggota legislatif dalam Pemilu 2019, Rabu (30/1/2019) ini. Langkah ini diapresiasi oleh kalangan pegiat pemilu karena dapat membantu publik mengetahui rekam jejak para calon.
”Besok (Rabu) menurut rencana akan dibicarakan dan diumumkan kepada publik,” kata anggota KPU, Wahyu Setiawan, Selasa di Jakarta.
Keputusan mengumumkan nama-nama caleg mantan napi korupsi dilakukan dengan mempertimbangkan Pasal 240 Huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal itu menyebutkan, syarat caleg ialah tak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana yang diancam hukuman 5 tahun penjara atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.
”Undang-undang juga menyebutkan mereka harus declare atau menyatakan secara terbuka. KPU menegaskan itu sebetulnya. Jadi, kami ingin menyampaikan secara terbuka,” kata Ketua KPU Arief Budiman.
Arief menyampaikan, dasar hukum untuk mencantumkan informasi terkait status para mantan napi korupsi itu ada dalam UU Pemilu. ”Undang-undang memerintahkan, kalau dia (caleg) itu eks napi koruptor dengan ketentuan yang memenuhi syarat seperti disebutkan, yakni diancam di atas 5 tahun penjara, maka itu harus clear. Nah, upaya mengumumkan nama-nama mereka itu adalah bagian dari peran KPU untuk memublikasikannya kepada publik,” katanya.
Namun, KPU belum bisa memastikan jumlah total caleg mantan napi yang diumumkan Rabu ini. Selain itu, ada pula pertimbangan untuk tidak hanya mengumumkan caleg mantan napi korupsi, tetapi semua caleg yang berlatar belakang mantan napi.
”Jumlahnya belum bisa kami sebutkan. Yang pasti, caleg napi koruptor akan diumumkan,” kata Wahyu.
Namun, berdasarkan data caleg di KPU, jumlah mantan napi korupsi sebanyak 46 orang yang tersebar di DPRD provinsi dan kota/kabupaten.
Direktur eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini mengatakan, langkah KPU untuk mengumumkan nama-nama mantan napi koruptor yang menjadi caleg itu sebuah langkah baik yang patut diapresiasi. Dengan pengumuman itu, pemilih akan terbantu dalam mengetahui rekam jejak para calon, terlebih lagi hal itu sejalan dnegan upaya mewujudkan pemilu yang jujur, adil, dan demokratis.
“KPU punya kesempatan untuk mengedukasi dan menyosialisasikan kepada pemilih tentang rekam jejak para caleg, terutama yang merupakan mantan napi korupsi. Semakin lama KPU menunda publikasi maka akan semakin terbatas pula akses pemilih untuk mengetahui para mantan napi korupsi, dan jangan sampai kemudian lahir pemutarbalikan informasi di masyarakat seolaholah mereka adalah korban, atau oran yang dizalimi secara politik, dan seterusnya,” kata Titi.
Pemilih Indonesia, menurut Titi, sangat besar dan jangkauannya sangat luas, sehingga lebih cepat nama-nama mereka diumumkan akan membuat sosialisasi mengenai rekam jejak caleg itu lebih mudah diterima pemilih.
Kendati demikian, tidak tertutup kemungkinan upaya KPU itu akan menuai perlawanan dari pihak-pihak yang merasa dirugikan.
“KPU harus memiliki konsistensi dan komitmen dalam mengambil putusan ini, karena pasti akan ada pihak-pihak yang merasa terganggu dengan adanya pengumuman ini,” ujarnya.