Mereka Berdamai dengan Zaman
Taksi konvensional pernah menjadi transportasi andalan warga Ibu Kota. Namun, kini taksi konvensional tertinggal semenjak layanan transportasi berbasis aplikasi kian merebak.
Kondisi itu membuat beberapa perusahaan taksi memilih beradaptasi dengan zaman. Adapun yang bertahan dengan cara lama semakin tertinggal.
Priyatna (34) duduk di emperan jalan di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (29/1/2019) dini hari. Sambil sesekali menyesap kopi, matanya terus mengarah ke layar ponsel, berharap ada pesanan yang masuk. Begitulah kehidupannya setiap malam.
Sudah dua tahun Priyatna bekerja sebagai sopir di salah satu perusahaan taksi konvensional. ”Sekarang, semua lokasi pemesan bisa terlihat di sini. Seluruh jadwal kerja juga dilihat lewat sini,” ujarnya sambil memperlihatkan layar ponselnya.
Sejak 2017, perusahaan tempat Priyatna bekerja berkolaborasi dengan perusahaan penyedia layanan pemesanan kendaraan. Menurut Priyatna, kolaborasi itu semakin memudahkan dirinya untuk mendapatkan penumpang.
Hal itu pun berbanding lurus dengan pendapatannya. Dalam sebulan, kata Priyatna, pendapatan yang ia peroleh bisa melebihi upah minimum DKI Jakarta 2019 yang ditetapkan Rp 3,94 juta per bulan. Pendapatan itu terhitung dari komisi yang didapatkan setiap hari ditambah bonus pada akhir bulan.
”Setiap hari saya dapat komisi 40 persen, sementara sisanya untuk perusahaan. Itu terhitung berapa pun pendapatan yang saya peroleh per hari,” kata Priyatna, yang juga mengatakan bahwa tidak ada sistem kejar setoran di perusahaan tempat ia bekerja.
Sementara di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, sopir taksi konvensional bernama Aden (55), sebut saja begitu, mengeluhkan tingginya setoran di perusahaan tempat dia bekerja. Adapun ia diwajibkan menyetor Rp 200.000 setiap hari.
Bagi Aden, memenuhi setoran semakin sulit terwujud semenjak transportasi berbasis aplikasi merebak di Jakarta. Akibatnya, Aden mesti menambah jam kerja yang tadinya 12 jam per hari menjadi 24 jam. Tak jarang ia tidur di dalam taksinya yang diparkir di pinggir jalan.
”Teman saya bahkan ada yang tidak pulang dua hari karena penghasilannya hari itu cuma bisa buat nutup setoran,” ujar pria asal Garut, Jawa Barat, tersebut. Selain itu, kata Aden, persaingan semakin berat karena perbedaan tarif antara taksi berargometer dan taksi daring cukup berbeda.
Sebelum angkutan daring merebak, Aden bisa membawa pulang Rp 100.000-200.000 per hari. Itu pun sudah terlepas dari biaya setoran. Alhasil, tak banyak yang bisa dilakukannya kecuali menambah jam kerja.
Waktu menunjukkan pukul 03.30 saat Aden memilih pergi ke Bandara Soekarno-Hatta, Kota Tangerang, Banten, dibandingkan beristirahat. ”Kalau tidak begini, keluarga di rumah mau makan apa?” ujarnya sambil berlalu.
Persaingan
Angkutan daring telah menarik perhatian publik sejak awal kemunculannya pada medio 2015. Saat itu, persaingan memperebutkan penumpang dinilai akan semakin ketat karena ada pemain baru yang memanfaatkan kemajuan teknologi.
Lambat laun, gelombang protes terhadap keberadaan angkutan daring bermunculan. Tak hanya di Jakarta, gelombang protes juga terjadi di wilayah-wilayah lain, seperti Solo, Medan, dan Bandung, pada 2017. Para pengunjuk rasa biasanya ialah sopir taksi dan bus yang menolak keberadaan angkutan daring di wilayahnya karena dianggap merugikan.
Analis Fitch Ratings, Rufina Tam, dalam laporannya yang dipublikasikan di Jakarta, menyebutkan bahwa popularitas transportasi berbasis aplikasi itu turut memengaruhi model bisnis perusahaan taksi dan perusahaan penyewaan mobil (Kompas, 26/1/2015).
Bahkan, di Jakarta ancaman itu sangat serius karena transportasi publik yang belum bagus membuat taksi menjadi pilihan. Permintaan pelanggan taksi menurun karena peralihan pelanggan yang semakin banyak menggunakan transportasi beraplikasi, seperti Uber, Go-Jek, dan Grab.
Bagi Yosi (47), sopir taksi konvensional, perkembangan digital merupakan keniscayaan. Cepat atau lambat, sendi-sendi kehidupan akan dikuasai dalam satu genggaman tangan.
”Coba lihat sekarang, orang kalau belanja tinggal klik di HP, pesan kendaraan juga tinggal klik. Masyarakat semakin dimanjakan,” ujarnya saat ditemui di kawasan Rawa Belong, Jakarta Barat.
Menurut dia, sudah saatnya taksi konvensional secara penuh beralih ke format digital. Selain agar tidak ketinggalan zaman, hal itu akan mempermudah sopir taksi dalam mendapatkan penumpang. ”Jika tidak, taksi konvensional akan semakin tertinggal,” ujarnya. (DIONISIO DAMARA TONCE)