Sejarawan asal Inggris, Peter Carey memberikan pesan kepada para pemimpin Indonesia untuk memiliki kemampuan membaca zaman seperti yang dimiliki oleh Pangeran Diponegoro. Dia juga berpesan agar sejarah bangsa dipelajari dan dipahami agar bangsa tidak kehilangan identitas.
Oleh
Fajar Ramadhan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Sejarawan asal Inggris, Peter Carey memberikan pesan kepada para pemimpin Indonesia untuk memiliki kemampuan membaca zaman seperti yang dimiliki oleh Pangeran Diponegoro. Dia juga berpesan agar sejarah bangsa dipelajari dan dipahami agar bangsa tidak kehilangan identitas.
Ini disampaikannya saat peluncuran buku persembahan kepada Peter Carey, berjudul “Urip Iku Urup: Untaian Persembahan 70 Tahun Profesor Peter Carey”, di Auditorium Perpustakaan Nasional Indonesia Jakarta, Rabu (30/1/2019).
Tampak turut hadir sebagai pembicara dalam acara peluncuran buku itu, Mantan Kepala Litbang Kompas, Daniel Dhakidae. Adapun Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas, Tri Agung Kristanto, didapuk menjadi moderator.
Buku berisi 568 halaman dan diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas itu, berisi perjalanan Peter Carey sebagai sejarawan, disertai sejumlah esai yang dituliskan diantaranya oleh sejarawan, wartawan, dan kurator, sebagai penghormatan kepadanya. Peter Carey diketahui telah melakukan kajian mendalam tentang sosok Pangeran Diponegoro sejak 1971. Maka tak heran, keturunan Diponegoro turut menuliskan esai sebagai penghormatan kepada Peter Carey.
Peter menjelaskan, kepemimpinan Diponegoro patut dicontoh para pemimpin di Indonesia saat ini karena dinilainya bisa membaca zaman dan alam.
“Itu sangat dibutuhkan sekarang, misalnya dalam membaca bagaimana karakter transportasi dunia 10 tahun ke depan,” katanya.
Dia mencontohkan saat Diponegoro bisa membaca ketika pemerintah kolonial Belanda mulai masuk ke nusantara, pada akhir abad ke-16. Saat itu, Diponegoro menganggap nusantara tidak akan bisa hidup tanpa dunia luar.
Oleh karena itu, Diponegoro memberikan sejumlah opsi kepada Belanda. Belanda tetap bisa memiliki hubungan dagang dengan nusantara tetapi Belanda disarankan untuk pergi dari nusantara. Opsi lain, Belanda bisa tinggal di nusantara tetapi harus ditempatkan di satu wilayah khusus, seperti di Semarang.
“Semuanya dengan syarat, tidak memonopoli perdagangan,” kata Peter.
Memahami sejarah
Memahami sejarah Diponegoro, dan bagian-bagian lain dari sejarah bangsa, sekaligus penting agar bangsa tidak kehilangan identitas. Oleh karena itu, Peter berharap para elit bangsa saat ini memahami betul sejarah bangsa. Sebab, tidak sedikit yang justru awam akan hal itu, bahkan tak menganggapnya penting.
“Mereka tidak betul-betul tahu siapa diri mereka,” ungkap Peter.
Implikasinya menurut Peter, jika Indonesia saat ini kembali dihadapkan pada upaya merebut kemerdekaan, upaya tersebut terancam kandas.
Dia pun membandingkan elit-elit negeri ini dengan para tokoh pemimpin bangsa di masa lalu. Sosok seperti Soekarno, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir, begitu memahami sejarah bangsa sekalipun mereka bukan sejarawan.
Peter ingin agar bangsa ini belajar dari Inggris yang seakan kehilangan identitas saat memutuskan keluar dari Uni Eropa di 2016 atau dikenal dengan Brexit.
Kebanyakan politisi di Inggris lebih memilih mengagungkan kedigdayaan negaranya tetapi lupa sejarah bangsa, bahwa Inggris sejatinya bagian dari Eropa.
“Jangan sampai ini terjadi di sini, Indonesia punya masa depan yang cerah,” kata Peter.
Keberagaman
Pemahaman akan sejarah bangsa juga penting untuk menjaga identitas bangsa yang majemuk, yang terdiri atas beragam agama, suku, dan ras.
Kemajemukan yang telah terbentuk sejak masa pra-kolonial ketika nusantara menjadi jalur perdagangan laut antara China dan India.
“Jadi, semua baur-membaur, dari orang Arab, China, Eropa, Armenia, dan sebagainya,” kata Peter.
Keberagaman itu terus mengiringi perjalanan bangsa. Dia pun kembali mencontohkan Diponegoro yang memiliki jiwa toleransi yang kuat.
Dia dikelilingi tokoh-tokoh dengan latar belakang yang berbeda-beda. Pamannya, Ngabehi Jayakusuma misalnya, keturunan Tionghoa. Kemudian dokter pribadinya berasal dari India. Adapun teman akrabnya berasal dari keluarga Al-Anshari dari Jeddah.
Ditinggalkan
Tak hanya Carey, Daniel Dhakidae melihat sejarah bangsa semakin dilupakan dan tidak dianggap penting. Sejarah misalnya, tidak diberikan ruang dalam pengambilan kebijakan-kebijakan pemerintahan.
“Mereka menganggap bahwa semua yang terjadi hari ini adalah jatuh dari langit,” kata Daniel.
Padahal jika para elit mau mempelajari dan memahami sejarah bangsanya, dan kemudian menjadikannya sebagai landasan dari setiap kebijakan yang diambil, Indonesia diyakininya akan lebih baik dari kondisinya sekarang.
“Jika mau belajar tentang ekonomi secara historis, ekonomi kita tidak akan pernah gagal,” ujarnya.
Dia mencontohkan para pendiri bangsa yang memiliki pandangan visioner dengan berbasiskan pada sejarah bangsa. Ideologi yang mereka kembangkan, dan menjadi landasan berdirinya negara ini, bisa merepresentasikan kepentingan seluruh suku, agama, dan ras yang ada di Tanah Air. Ini karena pemahaman mereka yang kuat akan sejarah keberagaman bangsa.
Menurut Tri Agung Kristanto, kesadaran masyarakat Indonesia terhadap sejarah memang menjadi tantangan besar yang mesti diwujudkan saat ini. Sejarah diharapkannya mampu disajikan lebih menarik dan dekat dengan masyarakat, sehingga bisa menarik orang untuk mempelajarinya.
Dalam penutup diskusi, Tri memberikan kesimpulan bahwa urip itu urub. Artinya, seluruh elemen bangsa harus bisa menerangi Indonesia untuk masa depan yang akan datang. “Seperti Peter, kita harus bisa menerangi Indonesia,” ujarnya. (FAJAR RAMADHAN)