Selaraskan Aturan
Kepaduan aturan kunci realisasi rencana pemerintah mengintegrasikan pembangunan sistem transportasi dengan tata ruang wilayah. Selain itu, optimalkan fungsi badan pengelola yang telah ada.
JAKARTA, KOMPAS — Regulasi yang menjadi landasan integrasi pembangunan berkaitan dengan tata ruang dan sistem transportasi. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, rencana tata ruang wilayah tingkat nasional, provinsi, hingga kabupaten/kota harus saling memperhatikan.
Dari sisi transportasi, salah satu aturan yang menjadi acuan rencana integrasi ialah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek).
Artinya, aturan yang menyangkut rencana integrasi pembangunan sistem transportasi dengan tata ruang wilayah lebih dari satu dan berpotensi tumpang tindih. Menurut Ketua Komisi B DPRD DKI Abdurrahman Suhaimi, mesti ada satu rencana induk yang memadukan semua aturan di bidang transportasi dan tata ruang di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
”Tujuannya agar pembangunan tidak dengan mudahnya ‘bongkar-pasang’ (akibat tumpang tindih aturan). Kalau ‘bongkar-pasang’, anggaran yang digunakan akan boros,” ujar Suhaimi saat ditemui di Jakarta, Selasa (29/1/2019).
Selain itu, Suhaimi berpendapat, kepaduan rencana induk itu harus memperhatikan aspek-aspek yang berorientasi pada masyarakat. Aspek itu terdiri dari integrasi, keterjangkauan, kenyamanan, dan keamanan dalam membangun infrastruktur sistem trasportasi dan tata ruang wilayah.
Dalam satu bulan ke depan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus menyusun perincian rencana integrasi pembangunan transportasi terhadap rencana tata ruang untuk dipaparkan di tingkat pusat.
”Peran kami ialah membahas tata regulasi transportasi yang berlaku di DKI, baik UU, perpres, peraturan menteri perhubungan, maupun peraturan gubernur dan peraturan daerah,” kata Sigit Wijatmoko, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta.
Sigit menambahkan, pihaknya segera merampungkan Rencana Induk Transportasi Jakarta. Dokumen ini menjadi acuan integrasi pembangunan transportasi dan tata ruang.
Secara umum, kata Sigit, integrasi dengan tata ruang merupakan kunci keberhasilan pembangunan transportasi untuk meningkatkan pengguna angkutan massal. Dia memaparkan, saat ini tingkat pengguna transportasi umum 19 persen dibandingkan seluruh penduduk Jakarta. Targetnya mencapai 60 persen pada 2030.
Pihaknya akan menambah armada bus hingga 42.300 unit untuk menjangkau Jabodetabek. Saat ini, jumlah bus di Jakarta saja baru 8.329 unit.
Selain itu, Sigit juga akan mengkaji rekayasa trayek angkutan umum massal dan membahas rute-rute baru.
BPTJ dan BKSP
Terkait pembentukan otoritas pengelola lalu lintas Jabodetabek, Sigit menyatakan, hal itu salah satu ide yang masih di ranah pembahasan. ”Kami memperhitungkan Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) dan Badan Kerja Sama Pembangunan Jabodetabek (BKSP),” katanya.
Senada dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Kepala BPTJ Bambang Prihartono mengatakan, otoritas pengelola lalu lintas Jabodetabek masih berupa wacana.
Sebelumnya, Country Director Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Yoga Adiwinarto berpendapat, pusat sebaiknya melimpahkan wewenang pengelolaan transportasi Jabodetabek kepada pemerintah provinsi dan daerah terkait.
Secara umum, integrasi pembangunan transportasi dan tata ruang membutuhkan anggaran Rp 605 triliun. Pembangunannya akan berlangsung selama 10 tahun secara masif dan bersamaan di Jabodetabek.
Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi menyambut baik rencana pusat membentuk otoritas pengelola transportasi di lingkup Jabodetabek. Hal ini karena kawasan Jabodetabek sudah tidak dapat dipisah-pisahkan. Sambutan serupa diungkapkan Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Bekasi Yana Suyatna. Ia berharap, pembentukan otoritas pengelola transportasi Jabodetabek dapat mewujudkan integrasi antarwilayah dengan integrasi antarmoda transportasi massal.
Namun, Ketua Dewan Transportasi Kota Bekasi (DTKB) Harun Al-Rasyid menegaskan tidak perlu membuat lembaga baru. Peran BPTJ yang sudah bekerja selama ini perlu dioptimalkan. Selama ini, kewenangan BPTJ terbatas karena berada di bawah Kementerian Perhubungan.
Operator tunggal
Operator tunggal dinilai pilihan paling ideal untuk pengelolaan transportasi publik DKI Jakarta. Dengan konsep operator tunggal ini, seluruh moda transportasi dikelola satu operator saja, dari bus rapid transport (BRT) Transjakarta, MRT, LRT, bus umum, dan kereta rel listrik (KRL).
Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Industri, Perdagangan dan Transportasi Soetanto Soehodho mengatakan, operator tunggal penting untuk menciptakan fasilitas publik yang semakin memudahkan pengguna karena perpindahan yang lebih mudah (seamless). Dari sisi subsidi dan pengoperasian efektif dan efisien.
Menurut Soetanto, penggabungan ini juga lebih efektif dari sisi pembiayaan operasional serta efektif dalam perhitungan subsidi sebab meminimalkan kemungkinan adanya subsidi yang tumpang tindih.
Namun, kata Soetanto, operator tunggal ini idealnya juga diikuti KRL yang kini dioperasikan PT Kereta Commuter Indonesia (KCI), atau setidaknya mengintegrasikan pengoperasian KRL dengan moda lain di Jakarta.