Hujan lebat yang diperkirakan masih akan terjadi hingga pertengahan Februari mengkhawatirkan warga. Tidak hanya di Sulsel, tetapi juga di banyak kota lain.
MAKASSAR, KOMPAS — Pemerintah memperpanjang satu pekan masa tanggap darurat bencana di Sulawesi Selatan menyusul banjir dan longsor di 10 kabupaten/kota, pekan lalu. Perpanjangan mempertimbangkan proses evakuasi dan distribusi bantuan yang belum tuntas.
Tanggap darurat sedianya berakhir Selasa (29/1/2019). ”Masih ada daerah-daerah terisolasi. Evakuasi harus tuntas. Jangan sampai evakuasi dihentikan lantas masih ada warga belum terevakuasi,” kata Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah, kemarin.
Hingga kini, belasan lokasi longsor masih sulit ditembus untuk menyalurkan bantuan dan mengevakuasi korban. Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sulsel, 72 orang meninggal, 4 hilang, 48 luka-luka, serta 9.429 orang mengungsi akibat banjir dan longsor, pekan lalu. Selain itu, bencana juga mengakibatkan 22.156 rumah terendam banjir dan 559 rumah di antaranya rusak berat.
Dengan status tanggap darurat diperpanjang, akses pemda ke anggaran belanja tak terduga yang sudah teralokasikan di APBD untuk kepentingan pemulihan pascabencana menjadi terbuka. Status itu membuka akses Badan Nasional Penanggulangan Bencana dalam mengerahkan personel dan logistik.
”Intinya status tanggap darurat diperpanjang agar penanganan dampak bencana dilakukan lebih cepat, tepat, dan akurat,” kata Nurdin.
Bersamaan dengan pemulihan pascabencana, Pemprov Sulsel juga akan mengundang para ahli untuk bersama-sama mengkaji penyebab bencana dan solusi agar tidak terulang lagi.
Pemprov bersama Balai Besar Wilayah Sungai Pompengan Jeneberang berkomitmen menormalisasi daerah aliran sungai pengisi Bendungan Bili-Bili. Sungai tersebut adalah Sungai Pompengan dan Jeneberang. Normalisasi untuk mengatasi tingginya sedimentasi di Bili-Bili.
Sebelumnya, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebencanaan Universitas Hasanuddin, Adi Maulana mengatakan, selain penambangan pasir, sedimentasi di Jeneberang terbilang tinggi pascalongsor kaldera Gunung Bawakaraeng pada 2004.
Sedimen yang dibawa Sungai Jeneberang terbawa hingga ke Bili-Bili dan membuat daya tampung bendungan berkurang. Saat banjir, Selasa (22/1), pintu air Bili-Bili harus dibuka karena limpahan air bisa melebihi kapasitas.
Banjir Gowa
Di Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa, setelah banjir surut, sejumlah permukiman kekurangan air bersih akibat pompa PDAM rusak. Distribusi air bersih tidak mengaliri beberapa rumah di blok F dan blok G Perumahan Citra Garden, Kelurahan Sunguminasa.
Matinya aliran air PDAM juga terjadi di Perumahan Bukit Tamarunang. Lurah Tamarunang, Mukhtar Ninra, mengatakan, pompa rusak dihantam luapan air Sungai Jenebarang.
Hujan deras pada Selasa juga membuat bahaya longsor mengintai rute sepanjang Jalan Poros Bungaya, Gowa. Hujan lebih dari tiga jam menimbulkan kepanikan warga karena sepekan sebelumnya longsor di jalur itu menewaskan puluhan orang.
BPBD Kabupaten Gowa memasang spanduk imbauan untuk mengingatkan warga yang tinggal di sepanjang Jalan Poros Bungaya. Selasa (22/1), longsor di lebih dari 20 titik di Jalan Poros Bungaya menimbun 21 orang di Dusun Pattiro, Desa Pattalikkang
Di dusun itu, puluhan rumah ditinggal pemiliknya. Pintu dan jendela ditutup rapat. ”Hujan hari ini membuat kami sangat takut,” kata Rumiaty, warga Pattiro.
Curah hujan tinggi juga membuat khawatir warga Serang, Banten, dan sejumlah daerah di pantura Jawa Tengah, seperti Kota Pekalongan, Kabupaten Batang, Kudus, dan Pati.
Meski banjir mulai surut, risiko bencana serupa masih harus diwaspadai. Apalagi, curah hujan tinggi diperkirakan berlangsung hingga pertengahan Februari.(DIM/FRN/BAY/DIT/WHO)