Tantangan Mewujudkan Bus BRT Ideal (I)
Bukan perkara mudah untuk mewujudkan impian angkutan umum yang aman, nyaman, cepat, dan murah di kawasan perkotaan. Bus rapid transit (BRT) dihadirkan pemerintah di Jakarta dan 29 kota lain untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Tak semuanya berhasil mewujudkan misinya. Sejumlah hal, seperti subsidi pemerintah, rendahnya minat menggunakan angkutan umum, belum terpenuhinya standar sarana prasarana BRT, serta keberadaan angkutan daring, menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
Penggunaan bus sebagai angkutan massal membutuhkan perjuangan panjang, hingga para pakar transportasi dan masyarakat pengguna mengakuinya. Sebelum era itu, pelayanan bus identik dengan kondisi tidak nyaman, tidak aman, serta tidak dapat diandalkan karena sering tidak tepat waktu. Sejumlah pemerintah kota di dunia akhirnya lebih memilih kereta ketimbang bus sebagai jalan keluar moda angkutan massal.
Namun, setelah melihat pengalaman kota Kuritiba, Brasilia, yang sejak 1970 mengembangkan ide BRT pertama kali, angkutan massal bus kembali dilirik. Bahkan, sekarang BRT telah diadopsi beberapa kota dunia, seperti Bogota (Kolombia), Sao Paolo (Brasil), Quito (Ekuador), Hong Kong, Jepang, Taipei, Ottawa (Kanada), serta Brisbane dan Sydney (Australia). Tak terkecuali, Jakarta juga ikut mengimplementasikannya sejak 2004.
Apa sebenarnya BRT dan mengapa berbeda dengan angkutan bus?
Bus rapid transit berdasarkan definisi dari Modul Angkutan Bus Cepat (GTZ, 2005) adalah bus dengan kualitas tinggi yang berbasis sistem transit yang cepat, nyaman, dan berbiaya murah untuk mobilitas perkotaan. BRT juga diharuskan menyediakan jalan untuk pejalan kaki, infrastruktur, operasi pelayanan cepat dan sering, serta layanan berkualitas kepada pelanggan.
Sistem BRT menggabungkan banyak aspek kualitas tinggi dari sistem metro bawah tanah yang tidak mahal. Sistem BRT, sesuai namanya, harus memiliki jalur terpisah dari kendaraan lain. Apa saja aspek kualitas tinggi tersebut?
Naik dan turun kendaraan dilakukan dengan cepat tapi aman, tidak seperti bus kota yang cenderung ”ugal-ugalan”. Bus berhenti di halte dan terminal yang telah disediakan dengan kondisi bersih, aman, dan nyaman. Penarikan ongkos dilakukan sebelum berangkat di halte/terminal. Demikian juga harus tersedia informasi real time yang memberikan informasi kedatangan dan lokasi bus. Terakhir yang terpenting adalah integrasi antarmoda di halte dan terminal.
Mengapa pada akhirnya BRT kembali diminati? Jawabannya, pembangunan BRT lebih murah dan cepat ketimbang kereta. Contohnya, saat pembangunan angkutan massal bus di Quito, Ekuador. Halte bus hanya menelan biaya sekitar 35.000 dollar AS. Sementara sebuah stasiun kereta di Porto Alegre berbiaya 150 juta dollar AS. Jadi, untuk investasi yang sama, sebuah sistem BRT dapat melayani daerah dengan sistem berbasis kereta sebanyak 100 kali lipat.
Tidak hanya soal halte. Paparan dalam Modul Angkutan Bus Cepat (GTZ, 2005) juga menyebutkan, biaya sistem BRT di Amerika Latin berkisar 1 juta hingga 5,3 juta dollar AS per kilometer. Bandingkan dengan biaya 65 hingga 207 dollar AS per kilometer untuk sistem metro bawah tanah.
Pembangunan sistem BRT dimulai dengan pembelian beberapa armada bus, pembangunan jalur khusus yang biasanya menggunakan jalur jalan yang telah ada, dan halte. Adapun pembangunan sistem metro harus membuat jalur rel khusus yang biayanya semakin mahal jika jalurnya harus ada di bawah tanah.
Bus Transjakarta
Alasan murah dan cepat itulah yang akhirnya dipilih Gubernur Sutiyoso pada 2004 untuk membangun angkutan massal bus. Wujudnya adalah konsep Transjakarta, bus angkutan massal Ibu Kota yang dinilai paling memungkinkan dibangun sebagai jalan cepat pembangunan moda transportasi massal di tengah kebutuhan yang kian mendesak.
Pasalnya, saat itu Pemda DKI beberapa kali gagal membangun beberapa angkutan massal, seperti LRT, MRT, dan monorel, karena biaya pembangunan yang tinggi dan terhambat aturan larangan pinjaman ke luar negeri.
Pembangunan BRT jauh lebih murah dibandingkan MRT ataupun LRT. Catatan ITDP dalam paper ”ITDP Reformasi Angkutan Umum” menyebutkan, biaya konstruksinya Rp 10 miliar hingga Rp 50 miliar per kilometer. Bandingkan dengan biaya pembangunan MRT yang mencapai 98 juta dollar AS (Rp 1,3 triliun) per kilometer. Selain itu, biaya operasionalnya pun rendah. Hal tersebut membuat tarif BRT lebih terjangkau dan dapat disubsidi oleh APBD.
Pembangunan BRT jauh lebih murah dibandingkan MRT ataupun LRT.
Selain itu, proses pembangunannya pun lebih cepat. Fase desain, persiapan, dan pembangunannya memakan waktu kurang dari 2 tahun. Jalurnya hanya memanfaatkan sebagian ruas jalan yang diperkeras, ditinggikan, dan dibedakan warnanya. Pembangunan halte dan jembatan penyeberangan orang (JPO) juga cepat dan tidak serumit jika membangun stasiun.
Selain itu, pada promosi awalnya, bus Transjakarta digadang-gadang bisa menjadi salah satu alternatif mengatasi kemacetan lalu lintas Jakarta. Setiap bus yang dapat mengangkut 85 penumpang bisa ”meringkas” sekitar 80 kendaraan pribadi yang umumnya hanya berisi satu penumpang.
Namun, meski dengan berbagai kelebihan tersebut, moda ini tetap mendapat kritik dari sejumlah pihak. Alasannya, jalur bus yang menggunakan bagian dari ruas jalan akan semakin menambah kemacetan lalu lintas di Jakarta. Bus rute Koridor 1 (Blok M-Kota) akan bersaing dengan sejumlah angkutan umum yang melewati rute yang sama sehingga dikhawatirkan mematikan keberadaan angkutan umum tersebut.
Kritik terus mengalir dari pengguna jalan Jakarta. Hingga akhirnya sampai tahun 2019 ini moda bus Transjakarta mulai diminati publik dan dipandang sebagai salah satu moda umum yang murah, nyaman, aman. Terlebih lagi dengan kian banyaknya koridor yang dibangun akhirnya bisa menjangkau sejumlah wilayah Jabodetabek yang selama ini kesulitan mengakses moda transportasi umum.
Selama 15 tahun beroperasi hingga saat ini, bus Transjakarta telah mengalami lima kali evolusi layanan, dari layanan koridor-layanan jaringan pengumpan dengan menggunakan integrasi sistem pembayaran hingga integrasi layanan dengan bus kecil-MRT dan LRT.
Evolusi layanan tersebut membuat jumlah penumpang naik drastis tiga tahun terakhir. Tahun 2016, saat dimulai layanan langsung, jumlah penumpang mencapai 123,71 juta. Tahun 2017 jumlahnya meningkat 9 persen menjadi 144,86 juta penumpang dan tahun 2018 melonjak 22 persen menjadi 187,83 juta.
Lonjakan penumpang tersebut juga dipengaruhi kebijakan pembatasan kendaraan ganjil genap yang mulai diterapkan Agustus lalu jelang pelaksanaan Asian Games. Tercatat jumlah penumpang bus Transjakarta naik hampir dua kali lipat setelah pemberlakuan aturan ganjil genap.
BRT di kota besar
Pengoperasian bus Transjakarta di DKI Jakarta pada 2004 memberikan ide kepada Kementerian Perhubungan untuk mengadopsi sistem bus di Jakarta dan menerapkan di daerah lain. Tujuannya, supaya pemerintah daerah lebih mengoptimalkan transportasi publik, sekaligus mengurangi penggunaan kendaraan pribadi.
Mengutip Kompas, 9 Desember 2006, Senior Transport Advisor Environment and Infrastructure German Technical Corporation Manfred Breithaupt mengatakan, untuk kondisi kota yang sudah terlalu padat, proyek BRT lebih tepat dan efisien dibandingkan dengan moda transportasi lain.
Pada 2006, Departemen Perhubungan menawarkan proyek BRT kepada 15 pemda, yakni Bandung, Bogor, Tangerang, Depok, Bekasi, Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Malang, Palembang, Medan, Lampung, Batam, dan Makasar. Departemen Perhubungan juga akan memberikan insentif sebanyak 10 bus kepada pemda yang berminat.
Namun, sebelumnya, Kota Batam terlebih dahulu menerapkan BRT pada 2005. BRT Batam ini merupakan proyek percontohan pengembangan sistem transit melalui bantuan teknis Departemen Perhubungan yang awalnya dikelola Perum Damri. Koridor awal yang dioperasikan pada 18 Juli 2005 tersebut menempuh rute Sekupang-Batam Centre dengan 6 bus sedang.
Selanjutnya, tawaran Departemen Perhubungan tahun 2006 tersebut ditanggapi oleh Pemerintah Kota Bogor. Namun, pengoperasiannya menemui banyak hambatan hingga sempat berhenti pada awal 2017. Disusul oleh Yogyakarta yang membangun Trans-Yogyakarta pada 2008. Kemudian, tahun 2009 tercatat ada empat kota, yakni Semarang, Manado, Pekanbaru, dan Bandung. Hingga sekarang, BRT telah beroperasi di 29 kota meski dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Keunggulan
Selain biaya pembangunannya yang murah dan cepat, BRT menawarkan kapasitas yang besar. Bus kecil bisa memuat 42 orang, baik dengan posisi duduk maupun berdiri. Bus besar mengangkut 82 orang dan bus gandeng seperti yang ada di Jakarta menampung 140 orang. Bandingkan jika puluhan hingga ratusan orang tersebut naik kendaraan pribadi seperti sepeda motor dan mobil. Mobil dan sepeda motor akan semakin banyak memenuhi jalanan perkotaan.
Rute BRT jika sudah beroperasi semuanya akan bisa menjangkau seluruh bagian kota. Daya jangkaunya lebih luas dibandingkan kereta yang jalurnya bergantung pada rel. Bahkan, di beberapa kota di Indonesia, BRT juga menjadi angkutan antarkota yang posisinya berdekatan. Contohnya, Trans-Mebidang yang menghubungkan Kota Medan, Binjai, dan Deli Serdang serta Trans-Pontianak yang menghubungkan Kabupaten Mempawah, Kota Pontianak, dan Kubu Raya.
Rute BRT jika sudah beroperasi semuanya akan bisa menjangkau seluruh bagian kota. Daya jangkaunya lebih luas dibandingkan kereta yang jalurnya bergantung pada rel.
Sesuai dengan namanya, bus ini tetap transit di sejumlah halte khusus sehingga meminimalkan proses transit seperti yang terjadi pada angkutan umum lainnya. Hal ini akan berdampak pada semakin pendeknya waktu tempuh perjalanan. Sudah tidak ada lagi cerita bus yang ngetem di sembarang tempat menunggu kapasitas penuh. Juga bus tidak bisa lagi berhenti sembarangan untuk mengambil penumpang.
Semuanya diatur oleh institusi pengelola transportasi profesional yang biasanya dikelola pemerintah daerah. Pengelola mengatur rute, lokasi halte/terminal, jadwal perjalanan, waktu tunggu dan waktu tempuh, tarif, serta perilaku pengendara. Pengelola BRT harus mematuhi Indikator Kinerja Operasi dan Pelayanan Angkutan Umum yang telah ditetapkan oleh World Bank Study-Urban Transport. (LITBANG KOMPAS)