Tersebutlah tiga perempuan di Tangerang Selatan, Banten, yang hendak memulai hidup baru dengan mengakhiri masa menjanda mereka. Masing-masing telah menjadi ibu bagi seorang anak perempuan dari pernikahan sebelumnya. D (44) adalah ibu dari PDA (6), NQ (31) adalah ibu dari HEA (12), sementara seorang perempuan lain adalah ibu bagi RMS (14). Mereka menemukan ayah baru bagi buah hati mereka. Pernikahan pun dilangsungkan.
Setelah menikah, D dan PDA tinggal bersama AW (39) di Kampung Sengkol, Setu. NQ dan HEA menerima Er alias Ya (31) dalam rumahnya di Kampung Dadap, Serpong. Adapun RMS dan ibunya kini bermukim di Pondok Aren bersama HT (44). Tiga keluarga baru itu tak saling mengenal, tetapi diintai bahaya yang sama.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Tangerang Selatan (Polres Tangsel) Ajun Komisaris Alexander Yurikho, Selasa (30/1/2019), mengatakan, ketiga janda itu tak menaruh curiga sama sekali pada calon suami. Mereka awalnya mengira suami yang bekerja sebagai buruh harian lepas hanya tertarik pada perempuan dewasa.
Setahun sejak pernikahan berlalu, tiga ibu itu mulai menyadari perubahan sikap anak mereka masing-masing. PDA, HEA, dan RMS menjadi pendiam. Mereka juga gelisah dan takut saat berada di dekat ayah tiri mereka. Ketiga ibu yang juga khawatir itu terus mencoba membujuk dan meyakinkan anak-anak mereka untuk bercerita, hingga terungkaplah fakta.
Usut punya usut, PDA telah diperkosa AW beberapa kali selama lebih dari sebulan, begitu pula HEA yang menjadi korban Er, dan RMS yang dicabuli HT. Bagaimana tidak takut dan cemas? Trio ayah tiri mesum tersebut mengancam akan membunuh anak-anak angkat itu jika melapor kepada ibu atau ayah kandung mereka.
”Dari hasil pemeriksaan, tidak tergambar perasaan sesal setiap kali usai mencabuli anak tirinya,” kata Alexander.
Segera D dan NQ mengadukan kekerasan dan ancaman yang merundung anak-anak mereka selama berbulan-bulan. Bahkan, P (37) selaku ayah kandung RMS turut melapor. Tiga ayah tiri itu pun diringkus dan digelandang ke Polres Tangsel.
AW, Er, dan HT terbukti melanggar Pasal 81 dan atau Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Ketiga pria cabul itu pun terancam hukuman 15 tahun kurungan. Berstatus ayah tiri yang seharusnya menjadi pengganti sosok ayah bagi PDA, HEA, dan RMS, mereka malah menjadi sumber bahaya terbesar. Tambahan masa kurungan sebanyak sepertiga dari dakwaan telah menanti mereka bertiga.
Pemeriksaan masih berlangsung. Psikolog telah dilibatkan untuk menentukan apakah AW, Er, dan HT menderita kelainan seksual paedofilia. ”Sebelum psikolog mengambil kesimpulan, kasus ini adalah pencabulan terhadap anak,” katanya.
Namun, menurut Kapolres Tangsel Ajun Komisaris Besar Ferdy Irawan, pemerkosaan oleh trio ayah tiri itu didorong ketertarikan seksual (Kompas, 28/1/2019). Perbuatan mereka menambah deretan tersangka pencabulan terhadap anak di Tangsel yang sudah berjumlah 28 orang pada 2018. Jumlah kasus lebih banyak, dari tersangka, yaitu 33.
Dapat dikendalikan
Dorongan seksual manusia, baik terhadap orang dewasa ataupun anak, semestinya dapat dikelola dan dikendalikan. Pengajar Psikologi Klinis Universitas Indonesia, Kristi Poerwandari, mengatakan, orang dewasa perlu melatih diri, atau bahkan dilatih, untuk mengendalikan diri agar tidak menghancurkan hidup orang lain.
”Sebenarnya, orang yang tertarik secara seksual pada anak sama saja dengan orang yang tertarik pada sesama dewasa. Kan, mereka tidak boleh seenaknya menjadikan pihak lain obyek pemuasan hasrat seksual? Jika ada gangguan pengendalian diri, perlu intervensi psikologis. Di beberapa kasus lain bahkan mungkin perlu intervensi medis biologis,” kata Kristi.
Untuk memastikan seseorang menderita paedofilia, diperlukan observasi mendalam. Kekerasan yang dilakukan trio ayah tiri di Tangsel itu mungkin pula didorong obsesi pada seks, atau bahkan melihat anak sebagai obyek pengalihan hasrat seksual.
Dari sudut pandang sosiologis, kekerasan seksual yang dilakukan AW, Er, dan HT mungkin diakibatkan oleh waktu luang yang dihabiskan dengan cara yang salah. Menurut sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Derajad Widhyharto, buruh harian lepas adalah pekerjaan tradisional dengan banyak waktu luang di era modern perkotaan yang memberikan akses informasi tak terbatas.
”Nah, waktu luang mereka ini digunakan untuk kegiatan produktif atau konsumsi informasi yang memberikan rangsangan seksual? Berita tentang prostitusi hingga gambar-gambar di Instagram bisa berpengaruh kuat. Apalagi, jika kualitas pertemuan keluarga ataupun hubungan suami-istri buruk,” kata Derajad.
Komisioner Bidang Sosial dan Anak dalam Kondisi Darurat Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Susianah Affandy, mengatakan, kekerasan seksual oleh orang tua, baik kandung maupun tiri, terhadap anak diakibatkan adanya akses yang lebar terhadap anak sebagai korban. Padahal, anak membutuhkan perlindungan dan asuhan orang tua tiri sekalipun. Apalagi, ini terjadi di ranah domestik yang tertutup dari pengawasan publik.
Terbuka
Di satu sisi, kata Susianah, hukum yang dibuat untuk melindungi warga negara kerap tak dapat menembus pintu rumah yang disebut ranah domestik. Akibatnya, seseorang seakan kebal hukum dan dapat berbuat seenaknya di dalam rumah selama ‘aib’ tak menyebar.
Di sisi lain, sangat sulit untuk mengetahui masalah kejiwaan yang diderita seseorang, termasuk ketertarikan seksual terhadap anak. Saat nasi sudah menjadi bubur, hubungan keluarga pun rusak, sedangkan orang dengan masalah seksualitas semakin termarjinalisasi.
Menurut Derajad, permasalahan ketertarikan seksual terhadap anak dapat dikonsultasikan. Hanya, sistem norma dan sosial di Indonesia lebih banyak melihatnya sebagai bentuk kekejian yang tak bisa dihilangkan. Masyarakat perlu bertansformasi menjadi lebih terbuka terhadap masalah sosial dan kejiwaan di sekitar.
”Kita harus mendorong sistem sosial dan norma kita menjadi lebih terbuka. Masalah-masalah kejiwaan ini dapat difasilitasi sehingga penderita dapat ditolong. Setiap puskesmas perlu punya psikolog sehingga warga bisa berkonsultasi,” kata Derajad.
Susianah pun sependapat. Masalah kejiwaan beragam jenisnya, dari depresi, gangguan kecemasan, hingga masalah seksualitas. Ketertarikan seksual pada anak perlu dikonsultasikan, bukan disembunyikan. Karena itu, layanan kesehatan jiwa perlu dibuat terjangkau bagi masyarakat segala kalangan, baik dari segi harga maupun jarak.
Ia menambahkan, pemerintah mulai memfasilitasi kebutuhan ini. ”Contohnya di RSUD (Rumah Sakit Umum Daerah) Cengkareng, Jakarta Barat. Sudah ada poli psikiatri yang bisa diakses masyarakat dengan bantuan BPJS. Rame banget, sampai-sampai harus mendaftar dua minggu sebelumnya kalau mau konsultasi,” kata Susianah.
Kekerasan seksual bisa menimpa anak di mana pun dengan latar belakang apa pun. Kita tak ingin anak-anak menjadi korban tragedi lainnya. (KRISTIAN OKA PRASETYADI)