Ungkapan ”Singapura” dan ”Banglades” Siratkan Ketimpangan Jakarta
Oleh
M Paschalia Judith J/Nina Susilo
·2 menit baca
Adalah kenyataan bahwa kondisi perekonomian warga Jakarta tidak sama. Indikasi paling mencolok terlihat pada permukiman dan lingkungan kerja warga. Maka, dapat dipahami jika Wakil Presiden Jusuf Kalla menggambarkan sebagian kondisi Jakarta dengan ungkapan Singapura dan Bangalades.
Saat meninjau DKI Jakarta dari helikopter pada awal pekan ini, Jusuf Kalla menyatakan, kawasan Jalan MH Thamrin dan Jalan Sudirman di Jakarta Pusat menyerupai Singapura. Akan tetapi, jika melihat kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara, tidak ada bedanya dengan wajah Banglades.
Menanggapi pernyataan Kalla, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tidak menyangkalnya. Menurut Anies, ungkapan Banglades dan Singapura itu merupakan fakta ketimpangan yang ada di Jakarta. Kekumuhan Jakarta tak hanya ada di pinggiran kota, tetapi juga di pusat kota. ”Oleh sebab itu, penyusunan rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang baru dapat memberikan peluang untuk peremajaan kota,” kata Anies saat ditemui di Jakarta, Rabu (30/1/2019).
Peremajaan kota dan penyusunan RTRW dibuat dengan basis pada pengembangan kawasan. Pendekatan berbasis kawasan, menurut Anies, akan melihat keterkaitan antarfungsi ruang secara komprehensif. Jika pendekatannya persil (per petak lahan di area tertentu), seperti yang selama ini terjadi, dampaknya ialah ketimpangan kota. Penyebab lain dari ketimpangan ialah pembangunan berbasis kedekatan dengan jalan raya.
Akibatnya, sektor swasta cenderung memilih berinvestasi di area yang dekat dengan jalan raya. Semakin jauh dari jalan raya, investasi semakin sedikit dan daerah kumuh yang padat makin ditemui.
Dengan perencanaan RTRW dan pembangunan berbasis kawasan, Anies mengharapkan investasi dari pihak swasta yang merangsang transaksi dan aktivitas ekonomi terjadi di mana saja di Jakarta, tak hanya terpusat di satu daerah.”Tenggatnya tahun ini,” ucapnya.
Data Badan Pusat Statistik Jakarta pertengahan Januari 2019, rasio gini DKI pada September 2018 sebesar 0,394 poin atau turun 0,019 poin dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Rasio gini merupakan salah satu ukuran ketimpangan yang berada pada rentang 0-1 poin. Semakin mendekati angka nol, ketimpangannya semakin rendah.
Di sisi lain, pengamat tata kota Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna, mengatakan, fungsi ruang sebagai pusat aktivitas ekonomi mesti dieksplorasi di setiap wilayah Jakarta.”Aktivitas ekonomi jangan hanya terpusat di Jakarta Pusat saja,” ucapnya.
Selain itu, sebagai langkah taktis, Yayat menyarankan Pemprov DKI Jakarta untuk menekan ongkos transportasi. Berdasarkan data yang dihimpunnya, beban ongkos transportasi di DKI Jakarta sebesar 43 persen dari pengeluaran sehari-hari. Idealnya, beban ongkos transportasi menurut Bank Dunia sebesar 10 persen.