Upaya Pemberantasan Korupsi Sudah Berada di Trek yang Benar
Oleh
Rini Kustiasih
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Upaya pemberantasan korupsi Indonesia telah berada pada trek yang benar. Selama 10 tahun terakhir, tren indeksi persepsi korupsi Indonesia terus naik. Kendati ada tahun-tahun di mana angka indeks Indonesia stagnan, bahkan turun, upaya untuk perbaikan itu kentara meskipun rata-rata kenaikan indeks berkisar satu poin per tahun.
Pada tahun 2018, skor IPK Indonesia naik satu poin dibandingkan dengan tahun 2017, yakni dari 37 menjadi 38. Skor IPK ini membawa Indonesia pada ranking ke 89 dari 180 negara yang diteliti. Posisi itu naik tujuh peringkat dibandingkan dengan tahun lalu.
Dalam indeks yang dirilis oleh Transparancy International Indonesia (TII), Selasa (29/1/2019) di kantor Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, kenaikan skor IPK itu diperoleh Indonesia dari penghitungan indeks dari sembilan studi yang dilakukan oleh sejumlah survei dunia. Sembilan survei itu antara lain melihat mengenai respons pengusaha dan publik terhadap risiko berusaha di negara, tingkat daya saing, serta penegakan hukum dan lingkungan demokrasi.
Dari sembilan survei itu, Indonesia lemah pada kualitas peradilan dan penegakan hukum yang termaktub dalam World Justice Project (WJP) yang mengukur tentang indeks negara hukum. Indonesia juga lemah dalam indeksi demokrasi, dan indeks mengenai tingkat daya saing (IMD World Competitiveness Yearbook). Namun, untuk pendapat global terkait dengan risiko berusaha (Global Insight Country Risk Ratings), indeks Indonesia naik 12 poin.
“Melihat tren ini, Indonesia sebenarnya sudah berada pada trek yang benar. Hanya saja, sepertinya kita kehilangan kecepatan dan tenaga, sehingga kenaikan skor relatif lambat, atau rata-rata naiknya satu poin setiap tahun. Political environnment (lingkungan politik) kita tidak mendukung terjadinya kenaikan skor indeks yang relatif signifikan,” kata Sekretaris Jenderal TII Dadang Trisasongko.
Hadir dalam peluncuran indeks itu Menteri/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang PS Brodjonegoro, dan Ketua KPK Agus Rahardjo, serta dua Wakil Ketua KPK, yakni Laode M Syarif dan Basaria Panjaitan.
Untuk bisa menaikkan skor IPK Indonesia dalam besaran yang signifikan, menurut Dadang, harus ada upaya dan metode baru. Metode yang selama ini digunakan untuk mengatasi dan mencegah korupsi, seperti penerapan e-procurement (lelang elektronik), e-budgetting (penganggaran elektronik), diakui masih relevan dan mampu meningkatkan IPK Indonesia, namun upaya-upaya itu saja tidak cukup.
“Kita seperti truk dengan beban berat yang berusaha menanjak, sehingga truk berjalan lambat. Bila dilihat dari perjalanan 10 tahun skor IPK Indonesia, hal itu antara lain terlihat dari beberapa kali capaian skor yang stagnan, bahkan sempat turun satu poin di era Presiden SBY, dan dua tahun stagnan di era Pak Jokowi. Untuk itu, diperlukan metode baru, atau tools baru, guna merespons kelemahan-kelemahan itu,” kata Dadang.
Faktor yang selama ini selalu direkomendasikan TII ialah mengenai perbaikan tata kelola penegakan hukum, yang antara lain kualitasnya tergambar dari rendahnya indeks negara hukum Indonesia dalam WJP. Mulai dari kepolisian, kejaksaan, dan lembaga peradilan, sampai ke lembaga pemasyarakatan, memerlukan pembenahan. Korupsi di tubuh aparat penegak hukum juga menjadi catatan tersendiri dalam indeks tersebut.
Indeks global stagnan
Kendati kenaikan satu poin itu tidak terlalu menggembirakan, namun tren IPK yang tidak terlalu bagus itu rupanya juga dialami oleh negara-negara lainnya di dunia dalam skala global. TII mencatat lebih dari dua per tiga negara yang disurvei mengalami kemerosotan dalam upaya pemberantasan korupsi. Angka IPK 60 persen negara yang disurvei berada di bawah skor 50. Sejak tahun 2015, rerata IPK secara global pun stagnan di angka 43.
Indonesia sendiri di Asia Tenggara berada di posisi keempat, yakni di bawah Singapura (85), Brunesi Darussalam (63), dan Malaysia (47). Di bawah Indonesia, ada Filipina (36), Thailand (36), dan Timor Timur (35).
“Singapura naik satu poin daripada tahun lalu, begitu juga Brunei. Indonesia naik satu poin dari tahun lalu, Filipina naik dua poin, sedangkan Malaysia stagnan pada skor 47, dan Thailand turun dua poin. Timor Timur turun tiga poin dari tahun lalu,” kata Wawan Suyatmiko, manajer riset TII.
Agus mengatakan, KPK berupaya mengakselerasi percepatan perbaikan skor IPK Indonesia. Namun, komitmen pemerintah terhadap road map dan agenda pemberantasan korupsi haruslah kuat dan jelas.
“Presiden harus mempunyai agenda yang kuat soal korupsi ini. Kapan road map itu jalan, dan apa yang akan dilakukan. Semestinya Beliau punya komitmen soal ini. Saya berharap pemerintah yang punya komitmen terhadap ini. Untuk upaya akselerasi, salah satunya dilakukan oleh KPK,” katanya.
Untuk mendorong kenaikan IPK, menurut Agus, bisa dilakukan dengan mencermati empat indeks di mana Indonesia meraih skor yang kurang baik. Di sisi lain, problem korupsi politik juga masih menjadi faktor yang menyumbang rendahnya IPK. KPK telah bekerjasama dengan sejumlah partai politik (parpol) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam program panduan sistem integritas parpol.
“Dalam waktu dekat panduan itu akan kami keluarkan,” katanya.
Sementara itu, Bambang mengatakan, pemerintah memiliki komitmen kuat memberantas korupsi. Pemerintah di dalam Strategi Nasional Pencegahan Korupsi, misalnya telah menjalankan Online Single Submission (OSS/pengajuan izin terpadu secara elektronik).
“Upaya kita untuk beralih lebih banyak kepada pelayanan yang berbasis elektronik atau online ini adalah tahapan awal dari upaya kita membenahi sistem yang bisa meminimalkan perilaku koruptif,” katanya.