Digitalisasi Bisa Pangkas Biaya Logistik hingga 30 Persen
Oleh
M Fajar Marta
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sektor jasa transportasi dan logistik Indonesia masih menjadi penyumbang defisit transaksi berjalan terbesar dibandingkan dengan sektor lainnya. Maka, pengembangan harus terus diupayakan, termasuk pengimplementasian logistik elektronik atau e-logistik untuk mengurangi biaya logistik.
Bank Dunia mencatat, sektor jasa transportasi dan logistik merupakan penyumbang defisit terbesar transaksi berjalan dibandingkan dengan sektor jasa lainnya. Pada 2015, sektor transportasi dan logistik mengalami defisit lebih dari 4 miliar dollar AS. Dua tahun berikutnya, defisit di sektor ini bahkan mencapai lebih dari 6 miliar dollar AS.
Melalui laporan Logistic Performance Index (LPI) 2018 dari Bank Dunia, peringkat logistik Indonesia tahun 2018 berada di posisi ke-46 dari 160 negara di dunia. Posisi ini naik 17 tingkat dari posisi ke-63 pada 2016. Meski demikian, jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, peringkat logistik Indonesia menurun dari peringkat keempat pada 2016 menjadi peringkat kelima pada 2018.
”Kegiatan logistik seyogianya menjadi faktor yang mendorong kegiatan perdagangan dan meningkatkan daya saing ekonomi. Namun, biaya logistik di Indonesia masih cukup tinggi,” kata Ketua Dewan Pakar Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Nofrisel saat dihubungi Kompas, Kamis (31/1/2019).
Hingga kini biaya logistik di Indonesia masih tergolong tinggi. Berdasarkan data Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI), biaya logistik Indonesia pada 2018 mencapai 25 persen dari produk domestik bruto. Biaya ini juga lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain di ASEAN, yaitu Thailand (13,2 persen), Malaysia (13 persen), dan Singapura (8,1 persen).
Nofrisel menyampaikan, melalui sistem e-logistik, supply chain atau rantai pasok akan menjadi lebih efisien. ”Sistem ini tidak hanya untuk mempercepat penanganan dokumen perpajakan dan perizinan ekspor-impor ataupun kegiatan perdagangan global lainnya. Namun, sistem ini berguna untuk keperluan perdagangan domestik yang bertujuan agar pergerakan barang atau kargo menjadi terdeteksi, tepat waktu, murah, dan aman,” ujarnya.
Melalui sistem e-logistik, supply chain atau rantai pasok akan menjadi lebih efisien.
E-logistik
Sistem ini salah satunya mulai diterapkan oleh Astra melalui salah satu anak usahanya, yaitu PT Serasi Autoraya (SERA). Perusahaan ini meluncurkan sebuah produk fleet management solution berbasis teknologi bernama AstraFMS.
”Inovasi teknologi ini dapat membantu perusahaan melakukan efisien biaya sekaligus meningkatkan produktivitas dalam menjalankan bisnis. Salah satu yang dapat dilakukan AstraFMS adalah mengelola operasional kendaraan sedemikian rupa sehingga biaya-biaya yang tidak diperlukan dapat dipangkas dengan optimal,” kata Presiden Direktur SERA Firman Yosafat Siregar.
Selain itu, Direktur SERA Hadi Winarto menjelaskan, AstraFMS dapat menjadi solusi dalam pengelolaan kendaraan dan transportasi berbasis teknologi informasi. Dengan sistem ini, perusahaan dapat memantau pengelolaan operasional pada sistem transportasi, terutama menyangkut armada kendaraan, kondisi pengemudi, biaya operasional, pengelolaan waktu, rute perjalanan, dan kondisi fisik kendaraan.
”AstraFMS menyediakan data dan konektivitas yang memampukan perusahaan memonitor, menjaga, dan memberikan laporan serta analisis yang berguna dalam memberikan solusi manajemen armada secara tepat sesuai kebutuhan pelanggan,” tutur Hadi.
Lebih lanjut Hadi mengatakan, skala bisnis setiap perusahaan pelanggan pastinya berbeda. Namun, kebutuhan manajemen untuk mengoptimalkan dan mengefisienkan biaya operasional di setiap perusahaan itu sama. Menurut dia, sistem ini dapat memangkas biaya logistik lebih dari 30 persen.
Beberapa kasus yang ditemukan, yaitu pengaturan jadwal dan pemesanan pengemudi kurang tertata, kurangnya efisiensi pemakaian bahan bakar, rute perjalanan yang tidak sesuai penugasan, serta kondisi fisik pengendara yang kurang optimal, sering kali dialami perusahaan. ”Akibatnya, biaya yang harus dikeluarkan menjadi lebih besar daripada seharusnya,” ucap Hadi.
Regulasi
Nofrisel menyampaikan, dalam perjalanannya, logistik sangat membutuhkan kepastian dan salah satu sumber kepastian itu adalah regulasi. Saat ini, regulasi yang ada di dunia logistik Indonesia belum cukup mengatur, baik untuk bisnis yang sudah berjalan maupun bisnis yang sedang atau akan tumbuh.
”Misalnya, kita bisa melihat dari aturan-aturan tentang perdagangan elektronik, termasuk e-logistik yang lebih banyak masih dalam tataran perencanaan aksi peta jalan. Tentu saja belum cukup mengatur secara komprehensif. Setiap kementerian dan lembaga terkait mencoba mendesain produk pengaturan sesuai dengan perspektif mereka masing-masing,” ujar Nofrisel.
Akibatnya, para penyedia jasa logistik sering kebingungan sehingga para pengusaha lebih banyak berusaha adaptif atau menyikapi sesuai dengan kemampuan mereka. Nofrisel menambahkan, penegakan hukum juga menjadi masalah, tidak hanya penegakan aturan itu yang tidak jalan, tetapi juga interpretasi yang berbeda di lapangan kerap terjadi. (SHARON PATRICIA)