Indonesia Butuh Lebih Banyak Penyalur Dana Perubahan Iklim
Oleh
Brigitta Isworo Laksmi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia membutuhkan badan penyalur dana perubahan iklim yang bersumber dari Green Climate Fund karena saat ini hanya ada satu khusus untuk proyek infrastruktur. Sementara dalam konteks perubahan iklim, pengurangan emisi terbanyak adalah dari sektor hutan dan lahan. Proses akreditasi badan penyalur dana tersebut dinilai lama dan prosesnya cukup rumit.
Dalam diskusi antara para pemangku kepentingan dan GCF (Dana Perubahan Iklim) pada acara GCF-NDA Multi-Stakeholder Forum, Kamis (30/1/2019), di Jakarta, banyak dibahas tentang bentuk-bentuk pembiayaan dan proses mendapatkan dana melalui GCF. Hingga kini, Indonesia hanya memiliki satu entitas terakreditasi sebagai penyalur dana iklim dari GCF, yaitu PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI). Mekanisme GCF merupakan penyedia pendanaan terbesar untuk pencapaian target komitmen penurunan emisi (NDC) di dunia.
Diskusi dilakukan di lima kelompok diskusi, yaitu perbankan, NGO, kementerian/lembaga, masyarakat sipil (CSO), pemanfaat sumber daya alam, dan National/International NGO.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, ”Sebagai negara yang akan sangat signifikan kontribusinya dalam perubahan iklim dunia, kita berharap lebih banyak lagi lembaga entitas nasional yang terakreditasi.” Sementara bidang kerja PT SMI hanya infrastruktur sehingga tidak bisa menyalurkan bantuan untuk sektor lain.
Menurut dia, akan lebih baik kalau banyak lembaga entitas nasional yang terakreditasi yang bisa mengurus pendanaan untuk sektor kehutanan, maritim, dan perikanan. ”Sehingga bisa lebih banyak proposal pengajuan permintaan bantuan dana yang diajukan,” katanya.
Akan lebih baik kalau banyak lembaga entitas nasional yang terakreditasi yang bisa mengurus pendanaan untuk sektor kehutanan, maritim, dan perikanan.
Saat ini ada dua lembaga dalam proses untuk menjadi entitas terakreditasi. Pengajuan permintaan sudah lebih dari setahun. ”Persyaratan yang perlu dipenuhi banyak. Lembaga yang mau diakreditasi itu harus menunjukkan peraturannya sejalan dengan kebutuhan GCF. Lembaga yang minta diakreditasi perlu mengubah peraturan guna memastikan tata kelola yang sesuai permintaan GCF,” kata Suahasil.
Kontribusi kehutanan
Dalam komitmen penurunan emisi nasional (NDC) Indonesia yang diajukan ke Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC), sektor kehutanan ditargetkan 17,2 persen dari 29 persen-dengan kekuatan sendiri. Kontribusi kehutanan menjadi 23 persen untuk penurunan total 41 persen jika mendapat bantuan asing. Saat ini, menurut Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) Kementerian Kehutanan Ruandha Agung Sugardiman, penurunan emisi dari aktivitas pada lahan dan hutan telah tercapai sekitar 10 persen melalui pengendalian kebakaran hutan dan lahan.
Untuk mendapatkan pendanaan dari GCF, semua proposal harus mendapatkan Surat Pernyataan Tidak Berkeberatan dari Badan Kebijakan Fiskal. Badan tersebut telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagai Otoritas Nasional yang Ditunjuk (NDA) sebagai pintu tunggal kepada GCF.
”Tentang proposal dan dananya, semua langsung melalui entitas terakreditasi. NDA hanya memberikan surat pernyataan,” ujar Suahasil.
Sejauh ini, proyek terkait perubahan iklim yang disetujui GCF baru empat proyek. ”Itu bukan karena ada masalah pada proposalnya. (Karena) Penting untuk mengikuti tahapan-tahapan tersebut. Mereka hanya belum sampai pada tahap pengkajian proposal. Ada 198 negara yang membutuhkan bantuan dana tersebut. Kami sudah selesaikan 96 negara,” ujar Margaret Kim, Head of Green Climate Fund Liaison Officer of the Director-General.
Sejauh ini, proyek terkait perubahan iklim yang disetujui GCF baru empat proyek.
Rata-rata butuh waktu sekitar 1,5 tahun hingga dua tahun sebuah proposal mendapatkan persetujuan GCF. Kim menambahkan, kini GCF berusaha mempermudah pengajuan proyek dan akreditasi entitas.
Skala kecil kesulitan
Dalam diskusi yang berlangsung antara pemangku kepentingan dan GCF antara lain dibahas tentang proses mendapatkan bantuan dana untuk proyek skala kecil dan mikro. Suahasil dalam paparannya mendorong agar organisasi non-pemerintah (NGO) dan sektor swasta serta kelompok masyarakat segera mengambil inisiatif mengajukan proposal proyek.
Untuk proposal proyek berskala mikro dan kecil memang dikatakan prosesnya berbeda. ”NGO kecil kalau mendapat pinjaman sebesar 1 juta dollar AS sudah kesulitan untuk menghabiskan. Bantuan Rp 1 juta saja bisa memakan waktu 3 tahun untuk menghabiskan,” ujar Climate and Resilience Adviser International Federation of Red Cross and Red Crescent Raja P Siregar.
Menurut Raja, yang dibutuhkan NGO adalah hibah skala kecil. ”Kalau bentuknya pinjaman, meskipun dengan bunga rendah, akan berat. Untuk dana yang kecil juga rasanya tidak sebanding kalau prosesnya lama,” ujarnya.
Yang dibutuhkan NGO adalah hibah skala kecil. Kalau bentuknya pinjaman, meskipun dengan bunga rendah, akan berat.
Dalam diskusi kelompok NGO nasional-internasional dengan GCF muncul usulan agar entitas terakreditasi nasional untuk pendanaan skala kecil di luar proyek infrastruktur diperbanyak jumlahnya. ”Selama ini, NGO biasa mendapatkan hibah dan kebanyakan untuk proyek di luar infrastruktur. Entitas terakreditas untuk pendanaan seperti ini mungkin bisa dari Program Pembangunan PBB (UNDP) atau NGO International. Indonesia juga sudah punya beberapa trust fund (wali amanah) yang sudah baik tata kelolanya, mungkin bisa didorong menjadi entitas terakreditasi,” kata Raja.
Kesulitan seperti itu dialami oleh HIVOS, sebuah NGO international yang bergerak di proyek energi. Menurut Program Manager Green Energy Laily Himayati, Proyek Sumba Icon antara lain pembangunan beberapa sumber energi terbarukan di lima daerah.
Menurut Maya, panggilan Laily, pihaknya mengalami pengajuan terlalu sulit, padahal hanya membutuhkan pendanaan dalam jumlah kecil. Namun, apabila pengajuan disatukan untuk mempermudah proses, hal itu tidak bisa sebab penerima manfaat hanya bisa satu yang dimasukkan dalam proposal.