Kesadaran Masyarakat terhadap Penanganan Kekerasan Meningkat
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
TANGERANG SELATAN, KOMPAS — Jumlah pelapor Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak atau P2TP2A Tangerang Selatan, Banten, terus meningkat. Hal itu dapat dinilai sebagai peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dalam menangani masalah kekerasan, termasuk kekerasan seksual, terhadap anak dan perempuan.
Kepala P2TP2A Tangerang Selatan Herlina Mustikasari, Kamis (31/1/2019), mengatakan, tren jumlah pelapor terus meningkat sejak P2TP2A dibentuk pada Desember 2010. Pada 2017, P2TP2A melayani 167 pelapor yang terdiri dari 120 anak dan 47 perempuan dewasa.
Jumlah pelapor meningkat pada 2018 menjadi 192 orang, yaitu 147 anak dan 45 perempuan dewasa. ”Pada 2018, ada 75 kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak dan perempuan, meningkat dari 33 kasus tahun 2017. Separuh dari jumlah korban kekerasan seksual adalah anak-anak,” kata Herlina.
Kepolisian Resor Tangerang Selatan mencatat, selama 2018 ada 13 kasus persetubuhan terhadap anak. Total 13 pelaku diringkus. Sementara itu, dari 33 kasus pencabulan anak, sebanyak 28 pelaku ditetapkan tersangka.
Kasus terakhir yang menjadi perhatian adalah pemerkosaan tiga anak perempuan, PDA (6), HEA (12), dan RMS (14), oleh ayah tirinya masing-masing selama Agustus-Desember 2018. Salah satu ibu korban menghubungi Herlina melalui Whatsapp untuk meminta bantuan karena takut melapor kepada polisi. Herlina mendampinginya untuk melapor ke Polres Tangerang Selatan.
Kini, ketiga korban kekerasan seksual berserta ibunya masing-masing mendapatkan pendampingan pemulihan psikis dan konseling dengan bantuan psikolog secara gratis.
Menurut Herlina, fenomena kekerasan seksual, terutama terhadap anak, adalah fenomena gunung es. Hanya sedikit yang terdata, sedangkan yang dirahasiakan dan tidak dilaporkan jauh lebih banyak. Korban dan keluarganya cenderung menutupi karena malu, takut, atau bergantung pada korban secara ekonomi.
Fenomena kekerasan seksual, terutama terhadap anak, adalah fenomena gunung es. Hanya sedikit yang terdata, sedangkan yang dirahasiakan dan tidak dilaporkan jauh lebih banyak.
Komisioner Bidang Sosial dan Anak dalam Kondisi Darurat Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Susianah Affandy, mengatakan, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak kerap tak berdaya dalam melindungi anak.
”Pelaku mengancam dan mengintimidasi keluarga yang melapor. Mereka dituduh menyebarkan aib keluarga sehingga laporan sering dibatalkan,” kata Susianah.
Oleh karena itu, kata Susianah, masyarakat perlu menyikapi kekerasan seksual sebagai tindak pidana secara tegas. Pelaku perlu dilaporkan kepada kepolisian dan dihukum. Di lain pihak, korban perlu mendapatkan pendampingan dari P2TP2A untuk merehabilitasi dan meredakan trauma korban sehingga korban segera pulih.
Tren jumlah laporan dan pelapor yang meningkat di P2TP2A Tangerang Selatan pun, dinilai Herlina, sebagai perkembangan positif. Ia mengartikan tren ini sebagai peningkatan kesadaran dan kepedulian warga Tangerang Selatan terhadap perlindungan anak.
Berdasarkan laporan lembaga riset Manilka Research and Consulting pada 2018, tingkat penindakan laporan klien ke P2TP2A Tangerang Selatan mencapai 100 persen. Menurut Herlina, ini dapat menjadi pendongkrak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah sebagai pelindung dari kekerasan seksual.
P2TP2A Tangerang Selatan terus menggelar sosialisasi di berbagai pusat pendidikan anak usia dini (PAUD), majelis taklim, dan pusat kegiatan warga lainnya di tujuh kecamatan. Para personel juga bertukar nomor telepon dengan warga. Warga yang ragu-ragu melaporkan kekerasan seksual bisa berkonsultasi terlebih dahulu.
Herlina memprediksi, jumlah pelapor pada 2019 akan naik melebihi 200 kasus. Peningkatan kesadaran akan mendorong masyarakat melaporkan juga kekerasan-kekerasan yang terjadi pada masa lampau.
”Memang menyedihkan. Beberapa pihak juga akan menilai Tangerang Selatan tidak aman untuk anak. Namun, ini bukti bahwa masyarakat semakin peka dan peduli,” katanya.
Pencegahan
Menurut Susianah, kekerasan seksual yang dialami PDA, HEA, dan RMS dapat dicegah. Anak harus diberi pengertian sejak dini oleh keluarga, terutama ibu. Seorang ibu lebih dapat dipercaya karena kemungkinannya menjadi pelaku kekerasan seksual lebih rendah.
Berdasarkan statistik Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) tahun 2019, sebanyak 88,4 persen semua jenis kekerasan terhadap anak dan perempuan adalah laki-laki.
Anak dari keluarga yang mengalami disfungsi akibat perceraian lebih rentan menghadapi kekerasan seksual. Pemerintah perlu membidik keluarga-keluarga yang tidak lagi memiliki peran ayah atau ibu dalam program bina keluarga.
Susianah menambahkan, anak dari keluarga yang mengalami disfungsi akibat perceraian lebih rentan menghadapi kekerasan seksual. Pemerintah perlu membidik keluarga-keluarga yang tidak lagi memiliki peran ayah atau ibu dalam program bina keluarga.
Selain itu, pembinaan untuk calon pengantin perlu digalakkan. ”Jangan hanya formalitas saja di dokumen calon pengantin,” katanya. (KRISTIAN OKA PRASETYADI)