Perubahan tata ruang DKI Jakarta tengah digagas dengan orientasi mengikis ketimpangan antara kawasan elite dan kumuh. Perencanaan moda transportasi nantinya akan mengikuti tata ruang tersebut. Hal ini menanggapi pertanyaan Wakil Presiden Jusuf Kalla antara kawasan pusat dan pinggiran Jakarta.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, kekumuhan itu tidak berada di pinggiran saja, tetapi justru banyak di pusat-pusat kota. Utamanya, di kanan dan kiri sungai. ”Anda lihat sungai ambil kanan kiri, hampir pasti di situ akan ketemu kupat miskin atau kumuh, padat, dan miskin,” katanya di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu (30/1/2019).
Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla membandingkan MH Thamrin yang seperti Singapura dan Tanjung Priok yang seperti Bangladesh.
Rencana tata ruang wilayah DKI yang baru diharap memungkinkan pembaruan kawasan urban (urban renewal) bukan saja oleh pemerintah, melainkan juga oleh sektor swasta. Selama ini, aturan-aturan di DKI Jakarta memungkinkan sektor swasta terlibat dalam pembangunan kawasan.
Anies mengatakan, untuk itu, rencana tata ruang dan wilayah DKI Jakarta akan berorientasi pada perencanaan kawasan. Salah satunya perizinan nantinya akan didasarkan pada pengembangan kawasan, bukan lagi persil yang saat ini terjadi.
”Jadi sering kita menemukan satu kawasan, di satu sisi ada gedung yang bisa tinggi sekali, gedung sebelahnya pendek. Padahal kawasannya sama. Mengapa? Karena kita merencanakan hanya per persil bukan sebagai sebuah kawasan dan itu sebabnya kenapa kemudian muncul ketimpangan-ketimpangan,” katanya menambahkan.
Ia mengatakan, orientasi pada jalan raya, misalnya, mengakibatkan pinggir jalan raya berkembang secara kontras dari kawasan di dalamnya. Selain itu, juga aturan pembangunan apartemen yang membuat pembangunan apartemen kelas menengah tak diminati karena dinilai kurang menguntungkan. Akibatnya, 30-40 persen unit apartemen di DKI Jakarta kosong. Sebab, dengan harga yang sangat tinggi, unit-unit apartemen dibeli hanya untuk investasi saja.
Salah satu instrumen yang akan digunakan adalah mengubah penentuan koefisien lantai bangunan (KLB). Dengan KLB yang tinggi, sektor swasta akan tertarik melakukan jual beli. Efeknya akan dirasakan masyarakat secara sosial dan ekonomi karena suatu kawasan kemudian akan berkembang.
Anies mengatakan, perencanaan tata ruang juga akan menentukan ketersambungan moda transportasi serta pengelolaan transportasi secara luas. ”Jadi rencana tata ruangnya dulu, baru kemudian transportasi akan mengikuti,” katanya.
Wakil Direktur Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Indonesia Faela Sufa mengatakan, konsep penataan perkotaan yang memungkinkan mengikis ketimpangan antarkawasan itu salah satunya dengan menerapkan tata guna lahan campuran (mixed use). Konsep ini harus dimulai dari tata ruang sebuah kota.
Dengan konsep campuran ini, satu kawasan tak menjadi ekslusif dengan satu kelas masyarakat yang spesifik. Tata guna lahan campuran ini juga berdampak luas, mulai dari pola transportasi, interaksi warga yang lebih hidup karena beragamnya kalangan yang tinggal hingga berdampak secara pengembangan ekonomi.
Dalam tata guna lahan campuran, permukiman murah hingga mahal tersedia di satu kawasan termasuk juga kawasan perkantoran, usaha hingga layanan publik seperti sekolah dan rumah sakit dalam jangkauan jarak tempuh.
Dalam konsep transit oriented development (TOD), tata guna lahan campuran juga dirancang mengurangi perjalanan orang sehingga tak menimbulkan kemacetan. ”Untuk itu harus ada aksesibilitas yang baik dan ketersediaan transportasi umum massal,” katanya.
Manajer Riset dan Kebijakan ITDP Indonesia Udaya Laksmanakartiyasa mengatakan, selain KLB, banyak instrumen bisa digunakan seperti pajak dan koefisien dasar bangunan (KDB) yang mendorong sektor swasta ikut mengembangkan tata guna lahan campuran tersebut.