Kisah Wartawan ”Kompas” Diterjang Ombak di Laut Karimata
Pengalaman liputan ke Kepulauan Karimata, Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat, pada Desember 2015 menjadi salah satu pengalaman tidak terlupakan. Nyasar di laut hingga diterjang ombak laut Karimata!
Suatu pagi di pertengahan Desember 2015, dua kapal kayu bertonase masing-masing 30 GT bersandar di dermaga Sukadana, ibu kota Kabupaten Kayong Utara. Kapal itu akan mengangkut ratusan peserta yang mengikuti Festival Selat Karimata, yakni jurnalis, peserta lomba, dan panitia.
Festival ini sengaja digelar setahun sebelum pelaksanaan Sail Selat Karimata. Tujuannya, mempromosikan Karimata melalui foto dan pemberitaan di media massa sebelum pelaksanaan Sail Selat Karimata. Dengan demikian, masyarakat yang terpapar informasi ini diharapkan akan tertarik menghadiri Sail Selat Karimata.
Sebelum berangkat, saya sebenarnya telah mendengar informasi bahwa gelombang laut saat itu sedang tinggi. Situasi ini diperparah dengan munculnya kabut asap akibat kebakaran lahan. Kondisi yang sebenarnya riskan untuk pelayaran laut. Namun, apa boleh buat. The show must go on.
”Ed, inikah kapal yang akan kita tumpangi ke Karimata?” ujar salah satu rekan jurnalis kepada saya.
”Sepertinya ya,” jawab saya.
Saya juga tidak menyangka kapal yang disediakan Pemerintah Kabupaten Kayong Utara adalah kapal kayu yang tidak terlalu memadai untuk berlayar. Awalnya saya mengira, kami akan menggunakan speedboat milik Pemkab Kayong Utara yang lebih cepat dan lebih layak untuk pelayaran laut.
Penasaran, saya pun memastikan ke salah satu anggota panitia. Ternyata, memang kapal kayu itulah yang akan kami pergunakan ke Karimata.
Pukul 09.00 kami bersiap di dermaga. Satu per satu lalu meloncat ke kapal kayu itu. Para jurnalis dan peserta lomba memancing ditempatkan di dalam satu kapal. Setelah masuk kapal, segera saja orang-orang berebut jaket pelampung.
Jumlah pelampung pun terbatas. Banyak penumpang tidak mendapatkan pelampung. Saya termasuk salah satu di antaranya. Meskipun saya bisa berenang, pelampung tetap penting untuk mengantisipasi kejadian yang tidak diinginkan. Saya langsung merasa tidak nyaman.
”Bang, bisakah carikan saya satu pelampung? Saya tidak bisa berenang, Bang,” ujar salah satu jurnalis perempuan dengan ekspresi cemas.
”Waduh, saya juga tidak dapat, Mbak. Tapi saya coba carikan, ya. Siapa tahu ada yang mau memberikan pelampungnya,” ujar saya.
Akhirnya saya mendapatkan satu pelampung dari seorang bapak yang bersedia menyerahkan pelampungnya untuk jurnalis perempuan tersebut. Sesaat setelah itu, saya mengambil plastik dari tas yang sudah saya persiapkan sebelumnya, untuk membungkus kamera dan laptop. Sebab, tidak menutup kemungkinan sesuatu yang buruk akan terjadi di pelayaran nanti jika penanganan perjalanannya seperti itu.
Laut terlihat berkabut. Jarak pandang hanya sekitar 700 meter. Kapal perlahan bertolak ke tengah. Suara mesin yang terdengar bising pun menggema. Dermaga perlahan tidak terlihat lagi seiring dengan kapal yang mulai mengarungi lautan.
Kapal kayu kemudian menerobos kabut asap pekat ditemani gelombang setinggi 1,5 meter. Dua jam kemudian, banyak jurnalis yang memilih tidur karena kepala terasa pusing, termasuk saya yang tidur di dekat mesin kapal nan bising.
Nyasar
Tidak lama mesin kapal tiba-tiba berhenti. Saya terbangun. Awalnya saya mengira bahan bakar kapal habis atau ada kerusakan. Saya pun berjalan ke dekat ruang nakhoda. Ternyata, kapal yang kami tumpangi arahnya nyasar! Bukan ke Karimata, malah ke arah Bangka Belitung.
Ternyata kapal itu tidak dilengkapi sistem navigasi yang memadai. Nakhoda hanya menggunakan kompas dan keterampilan membaca arah angin. Kami berhenti sekitar 10 menit di titik itu. Nakhoda kemudian mencari arah yang tepat menuju daerah yang kami tuju, yakni Desa Betok Jaya, Kepulauan Karimata. Saya berjalan ke kapal menemui jurnalis lain.
”Apakah kita nyasar?” tanya seorang jurnalis kepada saya.
”Ya,” jawab saya.
”Astagfirullahalazim. Kenapa bisa begitu?” kata jurnalis itu, cemas.
”Saya juga tidak tahu. Mungkin sistem navigasinya tidak memadai,” ujar saya.
Kapal akhirnya melanjutkan perjalanan di tengah kabut tebal dan gelombang tinggi. Dua jam kemudian, kapal kembali berhenti. Ternyata kembali mencari arah yang pasti. Nakhoda kembali bingung menentukan arah kapal.
Sembari menunggu nakhoda mencari arah pelayaran, kami pun makan siang. Ada yang memilih makan di atas atap kapal, ada pula yang di tepi kapal demi mengusir kejenuhan. Sekitar 10 menit kemudian, kapal kembali berlayar. Selama perjalanan, kapal sering kali berhenti untuk mencari arah jalur pelayaran yang tepat.
Waktu sudah menunjukkan pukul 17.00. Namun, belum ada tanda-tanda daratan terlihat. Bahkan, saya sempat berpikir kapal tidak mampu sampai ke tujuan karena kerap nyasar.
Normalnya, pelayaran dari Sukadana menuju Desa Betok Jaya hanya membutuhkan waktu tiga jam dengan menggunakan speedboat. Sementara jika menggunakan kapal kayu bermesin genset, tujuan bisa dicapai dalam tujuh jam. Namun, ini sudah masuk 10 jam, kapal belum juga tiba di tujuan.
Para penumpang akhirnya memilih tidur karena sangat lelah terombang-ambing di tengah lautan. Kami sampai tidak terpikir untuk mengambil gambar di dalam kapal karena lelahnya tubuh dan pusingnya kepala.
Sekitar pukul 20.00 saya terbangun lalu melihat ke luar. Cahaya kecil mulai tampak dari kejauhan. Saya segera membangunkan teman-teman dan mengabarkan bahwa daratan mulai terlihat. Kami pun merasa lega karena akhirnya sampai di tujuan meski harus menempuh pelayaran lebih dari 11 jam.
Sesampai di dermaga Desa Betok Jaya, Kepulauan Karimata, kami disambut dengan tarian-tarian, lantas dibawa ke penginapan yang tersebar di rumah-rumah warga. Akhirnya, kami bisa beristirahat dengan layak malam itu.
Eksotika dan nestapa
Keesokan paginya, kelelahan di perjalanan terbayar dengan keindahan alam laut Karimata. Kami berkeliling ke pulau-pulau kecil terdekat untuk memotret keindahan bawah laut.
Jernihnya air laut membuat ikan dan biota laut terlihat jelas ketika dipotret dari atas kapal. Laut yang bersih dengan airnya yang biru tampak kontras ketika bertemu dengan pasir pantai yang putih. Setiap orang kemudian sibuk dengan pilihannya masing-masing. Ada yang menyelam sambil tidak lupa memotret di kedalaman. Ada pula yang mengikuti lomba memancing.
Sementara saya mengumpulkan bahan liputan dengan cara mendatangi para nelayan di situ. Setiap tahun, Kayong Utara mampu memproduksi ikan tangkap hingga 20.000 ton. Karimata merupakan salah satu daerah yang diunggulkan untuk memenuhi produksi ikan tangkap di wilayah ini.
Sepulang mengunjungi beberapa pulau kecil, saya tertarik untuk berbincang dengan warga di Desa Betok Jaya. Hidup di Karimata tentu tidak mudah. Ini mengingat pelayaran saya ke Karimata saja terasa sulit.
Di luar alam lautnya yang indah serta potensi perikanan yang melimpah, sejumlah warga mengungkapkan tantangan hidup di Karimata. Mereka yang bekerja sebagai pedagang ketika ingin berbelanja harus ke Sukadana ataupun Bangka Belitung.
Saat gelombang tinggi, tidak jarang, pedagang yang nekat berbelanja ke Sukadana atau Bangka Belitung mengalami kecelakaan dan tenggelam di tengah laut bersama barang-barang belanjaan mereka. Nakhoda yang selamat hanya bisa bertahan dengan pelampung dan berharap pertolongan dari nelayan yang melintas.
Jika gelombang semakin tinggi, nelayan tidak berani melaut. Demikian pula dengan pedagang. Mereka tidak bisa berbelanja bahan kebutuhan pokok ke Sukadana atau ke Kabupaten Ketapang. Akibatnya, terjadi paceklik, baik ikan maupun persediaan bahan kebutuhan pokok, seperti beras. Pada akhir tahun, tinggi gelombang bisa 3-4 meter.
Di tengah kondisi paceklik ini, warga mampu bertahan karena rasa kekerabatan yang tinggi, yakni saling berbagi simpanan persediaan beras. Saat beras habis, mereka akan mencari ubi kayu dan pisang untuk mencukupi kebutuhan makan sehari-hari.
Pengalaman ini saya resapi di dalam hati. Setelah empat hari di Karimata, kami pun kembali. Pelayaran pulang ke Sukadana juga memakan waktu 11 jam. Sejak awal perjalanan, sebagian besar penumpang memilih tidur karena merasa tidak nyaman akibat goyangan gelombang 1,5 meter. Untuk menyiasatinya, saya dan banyak rekan meminum obat antimabuk. Puji syukur, kami sampai dengan selamat di Sukadana.