Komisi Nasional Disabilitas Dinantikan untuk Pemenuhan Kesetaraan Hak
Penyandang disabilitas masih mengalami diskriminasi dalam mengakses layanan publik dan hak-hak lainnya. Oleh sebab itu, pembentukan Komisi Nasional Disabilitas sangat dinantikan untuk memperjuangkan hak-hak itu.
Oleh
Tatang Mulyana Sinaga
·2 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Penyandang disabilitas masih mengalami diskriminasi dalam mengakses layanan publik dan hak-hak lain. Oleh sebab itu, pembentukan Komisi Nasional Disabilitas sangat dinantikan untuk memperjuangkan hak-hak itu.
”Komisi Nasional Disabilitas sangat dibutuhkan untuk mengadvokasi terkait perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. Namun, hingga saat ini, wacana pembentukannya pun belum terdengar,” ujar Kharisma Nurhakim, Koordinator Lapangan Jalan Mundur Kaum Disabilitas Jawa Barat, Kamis (31/1/2019).
Puluhan penyandang disabilitas berjalan kaki mundur sejauh sekitar 2,5 kilometer. Mereka bertolak dari Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna dan berakhir di Gedung Sate, Kota Bandung, Jabar. Hal itu dilakukan sebagai kritik atas kemunduran pemerintah memperhatikan penyandang disabilitas.
Pembentukan Komisi Nasional Disabilitas (KND) disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Undang-undang tersebut disahkan pada 15 April 2016.
Pada Pasal 149 UU No 8/2016 disebutkan, KND harus sudah dibentuk paling lama tiga tahun sejak undang-undang ini diundangkan. Oleh sebab itu, massa aksi menilai pembentukan KND mendesak diwujudkan karena sudah diperintahkan oleh undang-undang.
Menurut Kharisma, tanpa KND, penyandang disabilitas sulit dalam memperjuangkan hak-haknya. Sebab, tidak ada lembaga khusus untuk menjamin perlindungan dan pemenuhan hak-hak mereka.
Dalam pendidikan, misalnya, masih banyak penyandang disabilitas yang tidak dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Padahal, mendapatkan pendidikan layak merupakan hak seluruh warga negara.
”Dengan dibentuknya KND, kami berharap hak pendidikan penyandang disabilitas lebih terjamin. Untuk saat ini, jumlah penyandang disabilitas yang duduk di perguruan tinggi masih terbatas,” ucapnya.
Selain mendesak pembentukan KND, massa aksi juga menolak Peraturan Menteri Sosial Nomor 18 Tahun 2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas. Peraturan itu dianggap mengubah fungsi panti sosial menjadi balai yang hanya melakukan pendidikan vokasi.
Seharusnya pemerintah memajukan penyandang disabilitas dengan meningkatkan pelayanannya.
Peserta aksi lainnya, Elda Fahmi (19), mengatakan, perubahan itu dikhawatirkan mengurangi layanan pendidikan penyandang disabilitas. Padahal, mereka juga membutuhkan pelatihan keterampilan lainnya sebagai modal masuk ke dunia kerja.
Selain itu, Elda juga menyebutkan, jumlah warga di beberapa panti terus berkurang. Dia mencontohkan, Wyata Guna yang semula dihuni 250 orang saat ini berkurang menjadi 175 orang.
”Seharusnya pemerintah memajukan penyandang disabilitas dengan meningkatkan pelayanannya, bukan justru mundur karena jumlah orang yang dilayani terus berkurang,” ujarnya.
Mereka juga menuntut jaminan agar hak-hak penyandang disabilitas tidak dikebiri. Sebab, masih ditemukan sejumlah atlet disabilitas yang harus menyerahkan sebagian bonus prestasi kepada pihak-pihak tertentu.