JAKARTA, KOMPAS — Layanan kesehatan untuk penyakit kanker masih terbatas. Padahal, jumlah penderita kanker di Indonesia semakin bertambah. Peningkatan layanan kanker diperlukan agar pasien bisa cepat ditangani dan mendapatkan hasil terapi yang baik.
Ketua Komite Penanggulangan Kanker Nasional (KPKN) Soehartati A Gondhowiardjo, Kamis (31/1/2019) di Jakarta, mengatakan, penanggulangan kanker di Indonesia masih perlu banyak peningkatan.
”Mulai dari kesadaran masyarakat untuk deteksi dini, pemerataan fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan, serta ketersediaan obat belum optimal. Belum lagi proses rujukan yang panjang menyebabkan pasien tidak bisa cepat ditangani,” katanya.
Dari aspek layanan, misalnya, jumlah tenaga spesialis radiologi sangat minim. Jumlahnya tidak sebanding dengan jumlah pasien. Kasus baru kanker di Indonesia kini sekitar 340.000 per tahun. Dari jumlah itu, 70 persennya perlu radioterapi.
Menurut Soehartati, idealnya satu dokter spesialis radiologi menangani 500 pasien baru per tahun. Namun, saat ini dokter bisa menangani dua kali lipat dari ketentuan tersebut. Keterbatasan ini perlu segera diatasi dengan mendorong lulusan baru yang berkompeten. Selain itu, fasilitas baru juga perlu ditambah.
”Layanan yang terbatas ini bisa menyebabkan keterlambatan terapi pada pasien, sementara sifat kanker itu cepat menyebar. Semakin lama ditangani, angka kemungkinan sembuhnya semakin kecil. Biaya pengobatan pun semakin besar, artinya beban negara akan semakin besar pula,” tuturnya.
Apabila seseorang terdeteksi kanker pada stadium 1, angka kemungkinan sembuh pasien bisa mencapai 100 persen. Angka tersebut terus menurun pada stadium berikutnya. Pada stadium 4, angka kesembuhannya hanya 22 persen. Biaya yang dibutuhkan pada stadium lanjut juga semakin besar. ”Sekitar 70 persen pasien datang pada stadium lanjut (stadium 3 dan 4),” kata Soehartati.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) mencatat, prevalensi kanker di Indonesia mengalami peningkatan. Pada 2013, prevalensi kanker ialah 1,4 per 1.000 penduduk. Jumlah ini meningkat menjadi 1,79 per 1.000 penduduk pada 2018. Prevalensi kanker tertinggi pada 2018 di Yogyakarta (4,86 per 1.000 penduduk), Sumatera Barat (2,47 ), dan Gorontalo (2,44).
Penyakit kanker merupakan penyakit dengan total biaya terbesar kedua setelah jantung dalam program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Pada 2018, BPJS Kesehatan membiayai 1,7 juta kasus penyakit kanker dengan nilai Rp 2,7 triliun.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Anung Sugihantono menambahkan, perbaikan layanan kesehatan untuk pasien kanker terus ditingkatkan. Setidaknya, sudah ada 23 provinsi yang memiliki fasilitas radioterapi. Dari jumlah itu, terdapat 64 pusat radioterapi yang beroperasi.
”Peningkatan layanan kanker tentu terus ditingkatkan. Namun, deteksi dini kanker seharusnya bisa diutamakan agar bisa mencegah faktor risiko yang ditimbulkan,” ucapnya.
Untuk pencegahan dan pengendalian kanker di Indonesia, pemerintah telah menyediakan berbagai fasilitas terutama untuk dua jenis kanker terbanyak, yaitu kanker payudara dan leher rahim. Untuk deteksi dini kanker payudara, puskesmas sudah menyediakan metode pemeriksaan payudara klinis (sadanis). Selain itu, fasilitas inspeksi visual dengan asam asetat (IVA) juga tersedia untuk deteksi dini leher rahim.
Sementara Soehartati menyampaikan, ada enam layanan deteksi dini yang diharapkan bisa diterapkan di fasilitas kesehatan tingkat primer, yakni deteksi dini kanker payudara, kanker kulit, kanker mulut rahim, kanker usus besar, kanker mata, dan kanker prostat.
”Enam kemampuan ini seharusnya bisa dilakukan di puskesmas. Caranya sederhana, seperti kanker usus bisa dilakukan dengan pemeriksaan darah samar. Untuk itu, tenaga kesehatan perlu mendapatkan pengetahuan dan pelatihan,” ujarnya.