MALANG, KOMPAS — Perum Jasa Tirta I meresmikan command center PJT I, yaitu ruang kendali sistem pemantauan bendungan secara digital. Kendali digital, selain memantau kondisi bendungan di lima wilayah, juga menghimpun data curah hujan secara waktu nyata. Sistem itu sekaligus diharapkan menjadi pusat kendali banjir dan kekeringan.
Peresmian command center PJT I itu dilakukan hari Kamis (31/01/2019) di kantor pusat Perum PJT I Jalan Surabaya, Kota Malang, Jawa Timur. Hadir dalam peresmian Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Hari Suprayogi serta Direktur Utama Perum Jasa Tirta I, Raymond Valiant Ruritan.
Ruang kontrol kendali banjir PJT I tersebut diharapkan menjadi pengendali banjir dan kekeringan di lima wilayah aliran sungai strategis nasional, yakni Sungai Brantas, Bengawan Solo, Jeratun Seluna, Serayu Bogowonto, dan Toba Asahan.
Seiring pengoperasian ruang kontrol di kantor pusat PJT I di Jalan Surabaya, Kota Malang, ruangan itu saat ini menjadi pusat data dan informasi terkait dengan kondisi lima sungai. Data yang bisa dipantau melalui ruangan itu antara lain titik elevasi permukaan sungai dan debit air, curah hujan, air yang mengalir di sungai, jumlah tampungan air di waduk, dan kualitas air (kandungan oksigen turun atau stabil), serta pantauan aktivitas di semua infrastruktur dimaksud.
”Dulu pemantauan kondisi bendungan dilakukan secara analog. Dengan sistem ini, semua mulai terdigitalisasi. Pantauannya secara realtime sehingga diharapkan bisa bermanfaat meminimalkan risiko banjir dan kekeringan yang mungkin terjadi,” kata Dirjen Sumber Daya Air Kementerian PUPR Hari Suprayogi.
Direktur Utama Perum Jasa Tirta I Raymond Valiant Ruritan mengatakan, ada dua perubahan mendasar dengan peresmian ruang kendali itu. Semula, PJT I menggunakan teknologi analog dalam pengambilan data, kini bergeser ke arah digital. Perubahan kedua, semula PJT I hanya bisa memantau wilayah Sungai Brantas. Namun, saat ini pemantauan bisa dilakukan di lima wilayah sungai.
”Ini bagian upaya kecil PJT I untuk menyesuaikan diri dengan revolusi industri 4.0, di mana semua terdigitalisasi dan bisa dipantau secara realtime. Saya rasa sistem pemantauan bendungan ini pertama di Indonesia,” katanya.
Menurut Raymond, hal yang bisa dipantau dengan sistem digital sekarang ini adalah curah hujan, air yang mengalir di sungai, jumlah tampungan air di waduk, dan kualitas air (kandungan oksigen turun atau stabil), serta pantauan aktivitas di semua infrastruktur kewenangan PJT I.
Retak
Kondisi Waduk Sutami, kata Raymond, sudah sejak lima tahun lalu terdeteksi mengalami retakan di 4-5 titik di bagian permukaan. Retakan tersebut sejajar dengan arah bendungan dan berada di permukaan air.
”Saat ini keretakan terjadi di permukaan dan belum menyentuh inti jembatan. Tetapi, kami risau karena bendungan usianya sudah mendekati 60 tahun. Saat ini kondisi bendungan aman, tetapi keretakan perlu ditangani walau di permukaan. Apalagi, kami berada di daerah dengan kegempaan tinggi,” kata Raymond.
Keretakan bendungan disebut masih aman karena belum menyentuh struktur inti. ”Namanya keretakan pada infrastruktur sumber daya air itu tidak bisa ditolak. Rumah dan atap saja bisa bocor. Bendungan pun diusahakan tidak sampai bahaya. Caranya, kami pantau dulu keretakannya. Rupanya terpantau keretakan hanya di permukaan. Namun, sebelum retakan menjadi dalam, kami harus merehabilitasinya,” kata Raymond.
Saat ini PJT I sudah berkoordinasi dengan Dirjen Sumber Daya Air Kementerian PUPR untuk melakukan studi desain rehabilitasi bendungan. ”Harapannya studi desain itu dibiayai pemerintah dan bisa dimulai tahun ini. Dengan perkiraan studi 1,5 tahun, maka tahun 2020 proses rehabilitasi bendungan bisa dilakukan. Semoga tahun 2020 memiliki bendungan dengan kondisi sudah aman,” katanya.