Mantan Dirut Pertamina Didakwa Rugikan Negara Rp 568 Miliar
Mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawan didakwa merugikan uang negara hingga sekitar Rp 568 miliar. Dia disebut menyalahgunakan kewenangannya dalam investasi Pertamina di blok Basker Manta Gummy atau BMG Australia, Tahun 2009.
Oleh
Antonius Ponco Anggoro
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawan didakwa merugikan uang negara sekitar Rp 568 miliar. Dia disebut menyalahgunakan kewenangannya dalam investasi Pertamina di Blok Basker Manta Gummy Australia tahun 2009. Namun, Karen membantah dakwaan tersebut.
Dugaan penyalahgunaan kewenangan oleh Karen dan kerugian negara yang mencapai ratusan miliar rupiah itu terungkap saat sidang pembacaan dakwaan Karen oleh jaksa penuntut umum di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (31/1/2019) siang. Sidang diketuai oleh hakim Emilia Djaja Subagdja.
Dalam sidang itu, jaksa Tumpal M Pakpahan menjelaskan, Karen didakwa telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan mengabaikan prosedur investasi yang berlaku di PT Pertamina.
Dalam participating interest (PI) atas Blok Basker Manta Gummy (BMG) Australia tahun 2009, Karen telah memutuskan investasi PI itu tanpa melakukan pembahasan atau kajian terlebih dahulu.
Lalu Karen memberikan persetujuan atas PI Blok BMG tanpa adanya uji kelaikan (due diligence) dan tanpa adanya analisis risiko.
Karen pun menindaklanjutinya dengan penandatanganan sale purchase agreement (SPA) tanpa adanya persetujuan dari bagian legal dan Dewan Komisaris PT Pertamina.
Dia disebut melakukan hal itu bersama tiga pejabat PT Pertamina lainnya. Ketiganya adalah Direktur Keuangan Ferederick S T Siahaan, Manager Merger dan Akuisisi Bayu Kristanto, dan Legal Consul and Compliance Genades Panjaitan.
”Terdakwa memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, yaitu Roc Oil Company Limited Australia, dan telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 568,066 miliar. Hal itu tercantum dalam Laporan Perhitungan Kerugian Negara dari Kantor Akuntan Publik Drs Soewarno, akuntan independen,” kata Tumpal.
Kasus Karen ini disebut bermula pada 2009 saat PT Pertamina menganggarkan kebutuhan dana untuk akuisisi blok migas tahun 2009 senilai Rp 1,4 miliar dan 161 juta dollar AS atau setara Rp 1,77 triliun di Rencana Kerja dan Anggaran Tahun 2009.
Selanjutnya, PT Pertamina membentuk Tim Pengembangan dan Pengelolaan Portofolio Usaha Hulu (TP3UH) Migas yang diketuai oleh R Gunung Sardjono Hadi selaku Senior Vice President Upstream Business Development PT Pertamina. Saat itu Karen masih menjabat sebagai direktur hulu yang berwenang untuk menangani kegiatan investasi tersebut.
Kemudian melalui anak perusahaan Pertamina, PT Pertamina Hulu Energi (PHE), akuisisi saham sebanyak 10 persen terhadap Roc Oil Company Limited dilakukan untuk mendapatkan hak menggarap Blok BMG Australia.
Langkah ini ditempuh sebelum ada persetujuan dari dewan komisaris.
Semula, Pertamina melakukan perjanjian dengan nilai transaksi lebih dari 31 juta dollar AS.
Pada 20 Agustus 2010, Roc Oil Company Limited selaku operator di Blok BMG Australia menghentikan produksi blok itu dengan alasan lapangan tersebut tidak ekonomis lagi. Selanjutnya, Pertamina harus menanggung beban biaya kerugian (cash call) dari Blok BMG Australia periode 2009-2012 mencapai 35 juta dollar Australia.
Padahal, semula, dari blok itu diharapkan mampu memproduksi minyak hingga 812 barel per hari. Realitasnya, blok hanya mampu menghasilkan minyak mentah 252 barel per hari.
Karen didakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 Ayat 1 Huruf b dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
Pemerintah diharapkan
Ditemui seusai persidangan, Karen menyayangkan dakwaan jaksa tersebut. Dia sebenarnya berharap dalam persidangan itu kuasa hukumnya bisa sekaligus membacakan nota pembelaan atau eksepsi.
”Tadinya saya berharap eksepsi dari dakwaan tersebut bisa dibacakan hari ini. Di situ akan disebutkan alasan aksi korporasi ini mengapa harus dibela. Namun, kalau memang harus menunggu minggu depan, tidak apa-apa. Ikuti saja prosesnya,” katanya.
Majelis hakim menetapkan pembacaan eksepsi akan dilakukan pada 7 Februari 2019.
Karen pun berharap pemerintah melindungi dan mendukung aksi korporasi tersebut karena aksi korporasi adalah perkembangan yang berkelanjutan. ”Tidak ada Pertamina hari ini kalau tidak ada Pertamina lima tahun lalu, sepuluh tahun lalu, atau 61 tahun lalu ketika Pertamina baru lahir,” katanya.
”Jadi, saya minta doanya saja supaya kebenaran ini akan terbuka. Biar keadilan itu muncul walaupun langit akan runtuh,” katanya.
Karen menegaskan, sampai hari ini dirinya tidak tahu kesalahan apa yang telah dia perbuat. ”Saya memimpin perusahaan ini hingga Pertamina bisa dikenal di kancah internasional,” katanya. (MELATI MEWANGI)