Maret 2019, Batas Pemecatan ASN Koruptor
JAKARTA, KOMPAS — Menteri, kepala lembaga, dan kepala daerah yang tidak memberhentikan aparatur sipil negara terpidana korupsi di instansi mereka, hingga akhir Maret 2019, terancam akan dijatuhi sanksi.
Sanksi kepada pejabat pembina kepegawaian di kementerian/lembaga dan pemerintah daerah itu bisa berupa teguran dari Presiden Joko Widodo bagi menteri atau pemberhentian sementara bagi kepala daerah.
Bentuk sanksi lain, mereka diharuskan mengganti rugi uang negara yang telah dikeluarkan untuk menggaji aparatur sipil negara (ASN) terpidana korupsi. Sebab, para ASN itu seharusnya sudah diberhentikan sejak putusan terhadap mereka berkekuatan hukum tetap.
Hingga 29 Januari 2019, tercatat masih ada 1.879 ASN terpidana korupsi yang belum diberhentikan. Padahal, pertengahan September 2018, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo bersama Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Syafruddin serta Kepala Badan Kepegawaian Negara Bima Haria Wibisana telah meneken surat keputusan bersama terkait pemecatan 2.357 ASN terpidana korupsi dengan batas waktu akhir 2018 (Kompas, 14/9/2018).
”Akhir Maret harus selesai semua,” ujar Asisten Deputi Pembinaan Integritas dan Penegakan Disiplin Sumber Daya Manusia Aparatur Kementerian PANRB Bambang Dayanto Sumarsono seusai acara bertajuk Refleksi 2018 dan Resolusi 2019 yang digelar Kementerian PANRB, di Jakarta, Kamis (31/1/2019).
Tenggat terbaru itu diambil dalam rapat bersama kementerian dan lembaga terkait pada 29 Januari 2019.
Kementerian dan lembaga dimaksud adalah Mahkamah Agung, Badan Kepegawaian Negara, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian PANRB, Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Pemeriksa Keuangan, serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
Dari jumlah 1.879 ASN terpidana korupsi yang belum diberhentikan, mayoritas merupakan ASN di pemerintah daerah.
Bambang menjelaskan, ada sejumlah hambatan yang menyebabkan proses pemecatan tidak berjalan optimal. Yang terutama, menteri, kepala lembaga ataupun kepala daerah khawatir digugat oleh ASN tersebut. Pasalnya, mereka dibiarkan tetap menjadi ASN ketika mereka sudah diputus bersalah oleh pengadilan berdasarkan putusan berkekuatan hukum tetap. Apalagi mereka tetap menerima gaji.
”Yang menjadi persoalan itu, kan, berlaku surut atau tidak pada saat inkrah? Tidak seperti itu, pokoknya mereka (ASN terpidana korupsi) sekarang berhentikan dulu. Kerugian negara juga tak usah dipikirkan dulu. Yang penting, dipecat dulu. Jangan sampai dibiarkan,” tutur Bambang.
Akhir Maret harus selesai semua.
Aturan yang akan menjadi pegangan para pejabat pembina kepegawaian dalam memecat ASN terpidana korupsi akan dimasukkan ke sebuah panduan teknis. Menurut rencana, panduan teknis keluar pekan depan.
Deputi Bidang Sumber Daya Manusia Aparatur Kementerian PANRB Setiawan Wangsaatmaja menambahkan, saat ini panduan masih dalam proses pembahasan oleh tim teknis dari Kemendagri, Kementerian PANRB, dan BKN.
”Tim itu sedang merumuskan, gabungan yang dikoordinasikan oleh BKN. Rumusan yang dikeluarkan itu harus dipatuhi,” lanjutnya.
Sanksi tegas
Bambang menegaskan, apabila masih ditemukan ASN terpidana korupsi yang masih bekerja hingga melampaui tenggat Maret 2019, menteri, kepala lembaga, dan kepala daerah yang juga pejabat pembina kepegawaian terancam dijatuhi sanksi.
Bagi menteri, bentuk sanksi bisa berupa teguran dari Presiden Joko Widodo. Sementara bagi kepala daerah, bentuk sanksi bisa berupa pemberhentian sementara. Bentuk lainnya, harus mengganti rugi uang negara yang telah dikeluarkan untuk menggaji ASN terpidana korupsi.
”Itu, kan, kami sudah ingatkan, eh, masih juga lalai. Nanti Kemendagri akan berikan sanksi. Sanksi bisa pemberhentian sementara kepada kepala daerah. Kemudian, dia juga akan menanggung tuntutan ganti rugi dari ASN yang tidak dipecat,” ujar Bambang.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng mengatakan, komitmen pemerintah pusat akan dipertanyakan jika target pemecatan tak kembali tercapai.
Bahkan, jika masalah itu terus berlarut-larut, akan muncul persepsi bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah sengaja mengabaikan hukum.
”Itu bisa jadi bentuk permainan penghinaan terhadap hukum. Bagaimanapun, orang yang sudah berstatus narapidana dan masih pegawai bahkan masih dapat hak dari negara, ini bukan unsur kelalaian, tetapi kesengajaan yang luput dari tindakan tegas dari pemerintah pusat dan daerah,” tutur Robert.