JAKARTA, KOMPAS — Di tengah situasi perang dagang antara Amerika Serikat dan China, upaya menarik investasi asing bisa ditempuh dengan mengoptimalkan manfaat berbagai perjanjian internasional. Pasar Indonesia yang cukup besar menjadi daya tarik tersendiri bagi investor dibandingkan dengan negara berkembang lain.
Lead Advisor Kementerian Perdagangan Lili Yan In mengatakan, pertumbuhan investasi langsung Indonesia yang sebesar 4 persen tahun 2018 dinilai cukup baik. Sebab, kontraksi terhadap investasi global mencapai 20 persen. Momentum untuk memanfaatkan relokasi investasi dari China akibat perang dagang masih terbuka.
Di tengah keterbatasan stimulus fiskal dan moneter, momentum menarik investasi asing dan menaikkan ekspor bisa ditempuh dengan mengoptimalkan manfaat berbagai perjanjian internasional. Pada 2016, Indonesia merilis 45 persen sektor bisnis yang dibuka untuk investasi asing. Saat ini, pemerintah sedang mengkaji kembali kebijakan itu dan dipastikan akan lebih terbuka bagi investor asing.
”Pemerintah memiliki kebijakan yang jelas bahwa motor penggerak pertumbuhan ekonomi bersumber dari investasi dan ekspor,” kata Lili dalam diskusi bertema ”Indonesia Era Perang Dagang: Dampaknya terhadap Bisnis, Perdagangan Global, dan Investasi”, di Jakarta, Kamis (31/1/2019).
Pemerintah memiliki kebijakan yang jelas bahwa motor penggerak pertumbuhan ekonomi bersumber dari investasi dan ekspor.
Menurut Lili, dalam sepuluh terakhir, Indonesia tertinggal dari Thailand, Malaysia, dan Singapura yang sangat aktif membangun perjanjian internasional. Oleh karena itu, sejak tahun lalu Indonesia mulai mereaktivasi sejumlah perjanjian internasional. Selain dengan negara mitra dagang, perjanjian juga dijalin dengan negara-negara pasar non-tradisional.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan (Kemendag), dalam empat tahun terakhir, ada sembilan perjanjian internasional yang telah diratifikasi. Selain itu, ada dua perjanjian internasional dalam proses ratifikasi, lima akan ditandatangani, dan satu mendekati penyelesaian (Kompas, Jumat 7/12/2018).
Perjanjian-perjanjian itu berupa perjanjian perdagangan bebas (FTA), perjanjian tarif preferensial (PTA), perdagangan jasa dan investasi, serta kemitraan ekonomi komprehensif (CEPA). Perjanjian-perjanjian itu diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia, terutama di sektor perdagangan barang, perdagangan jasa, dan investasi.
Ekonom yang juga mantan Menteri Keuangan M Chatib Basri berpendapat, salah satu faktor yang menyebabkan investasi di Vietnam lebih menarik karena keterlibatannya dalam Kerja Sama Trans-Pasifik (TPP). Investor menilai dengan memindahkan asetnya ke Vietnam akan lebih mudah masuk ke pasar AS karena standar prosedur sama kendati AS akhirnya menarik diri dari TPP.
”Hal itu yang menjelaskan kenapa investasi asing langsung dari Korea banyak masuk ke Vietnam,” kata Chatib.
Selain kebijakan pemerintah, lanjut Chatib, faktor lain yang dinilai menghambat investasi ke Indonesia akibat tensi politik. Rekomendasi kebijakan kerap kali terkendala keputusan politik dari anggota legislatif. Tekanan sentimen ekonomi nasional cukup kuat, apalagi pada tahun politik. Salah satu kebijakan yang kerap dipersoalkan terkait keputusan membuka investasi bagi asing.
Menurut Guru Besar Ekonomi di Lee Kuan Yew School of Public Policy Danny Quah, globalisasi perdagangan ibarat ilusi yang diciptakan negara-negara Barat. Sebab, negara berkembang dibuat tergantung dengan sistem perdagangan tersebut. Akan tetapi, ketika Barat menilai tidak lagi butuh, mereka mulai meninggalkan sistem itu.
”Kondisi ini secara nyata tecermin dari berbagai kebijakan proteksionisme AS. Beberapa negara Barat kini cenderung mengutamakan kepentingan nasionalnya,” kata Danny.