JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo menginstruksikan kepada Kementerian Perhubungan serta Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk mempercepat pengurusan surat izin usaha perikanan dan surat izin penangkapan ikan. Pada saat yang sama, pelaku usaha juga dituntut jujur melaporkan hasil tangkapan.
”Marilah kita tertib. Kalau minta izin, jangan ukurannya diperkecil. Saya juga minta agar ada pembenahan dalam perizinan. Sama-sama gitu lho,” kata Presiden dalam silaturahmi dengan sekitar 400 pelaku usaha perikanan tangkap di Istana Negara, Jakarta, Rabu (30/01/2019).
Instruksi kepada kementerian sekaligus imbauan kepada para pelaku usaha tersebut disampaikan Presiden karena penertiban pencurian ikan yang digalakkan pemerintah beberapa tahun belakangan kurang sejalan dengan peningkatan produksi perikanan tangkap.
”Kalau ilegal fishing sudah tidak ada, mestinya ikannya melimpah. Mestinya produksi ikan tangkap melimpah. Produksi naik, tetapi sedikit,” kata Presiden.
Menurut Presiden, pemerintah telah menghentikan 7.000-13.000 kapal yang selama ini mencuri ikan di perairan Indonesia. Namun, peningkatan produksi perikanan tangkap kurang signifikan.
Produksi ikan tangkap Indonesia selama 2011-2014 berkisar dari 5,7 juta ton sampai 6,48 juta ton. Sejak 2015, Kementerian Kelautan dan Perikanan melakukan penertiban kapal-kapal ilegal. Sejalan dengan hal itu, produksi ikan tangkap yang terdata juga meningkat. Tahun 2015-2017, produksinya masing-masing 6,52 juta ton, 6,83 juta ton, dan 6,99 juta ton.
Ikut mendampingi Presiden dalam acara itu adalah Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung.
Dalam sesi tanya jawab dengan Presiden, para pelaku usaha perikanan tangkap mengungkapkan, pengurusan perizinan sudah lebih cepat dibandingkan periode-periode sebelumnya. Rata-rata pengurusannya makan waktu sekitar sebulan.
Pemerintah telah menghentikan 7.000-13.000 kapal yang selama ini mencuri ikan. Namun, peningkatan produksi kurang signifikan.
Namun, Presiden tidak puas. Lama perizinan yang kisarannya mingguan sampai bulanan masih tergolong lama. Untuk itu, ia menginstruksikan Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Perhubungan untuk mempercepatnya.
”Perintah saya; bangunlah sebuah sistem untuk perizinan yang cepat, yang urusannya jam. Zaman teknologi informasi kayak gini masih hari, masih minggu. Ndaklah. Apalagi bulan. Ndaklah. Jam!” kata Presiden.
Presiden juga meminta para pelaku usaha jujur melaporkan data kapal dan hasil tangkapannya. Akurasi data penting untuk mengetahui hasil tangkapan ikan sebetulnya di perairan Indonesia.
Pada kesempatan yang sama, Susi menyatakan, Indonesia berpotensi menjadi poros maritim dunia dalam hal suplai ikan. Ini mengingat sumber daya perikanan Indoensia melimpah. Namun, kebijakan kelautan perikanan Indonesia tetap akan selalu didasarkan atas prinsip keberlanjutan.
Kini dengan berkurangnya pencurian ikan, Susi melanjutkan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tengah menata agar perikanan di Indonesia sah, terdata, dan teregulasi. Hasilnya sudah mulai tampak. Di antaranya dalam empat tahun terakhir, produksi perikanan Indonesia yang dulunya hanya diterima 111 negara kini sudah diterima di 147 negara. ”Ini bukti bahwa perikanan Indonesia jauh lebih baik,” kata Susi.
Pemerintah, menurut Susi, terus mendorong agar pelaku perikanan nasional menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Langkahnya antara lain dengan menutup investasi asing untuk usaha perikanan tangkap dan meningkatkan kapasitas pengawasan agar kapal asing tidak bisa mencuri di wilayah Indonesia.
Pemerintah pada 2015 juga memutihkan atas pelanggaran mark down produksi. Insentif untuk pelaku usaha perikanan tangkap di bawah 10 gross ton juga diberikan.
Namun, Susi melanjutkan, evaluasi KKP terhadap kapal perikanan Indonesia selama 2017-2018 masih menunjukkan maraknya pelanggaran. Pelanggaran yang dimaksud adalah laporan hasil tangkapan yang dibuat pelaku usaha di bawah kondisi riil.
Dari evaluasi terhadap 3.558 kapal, 1.203 kapal tidak melaporkan data riil. Setelah diminta memperbaiki data, terjadi kenaikan produksi sebanyak 600.183 ton. Artinya, masih banyak produksi yang tidak dilaporkan. Susi memperkirakan produksi yang tidak dilaporkan di atas 60 persen.
”Ada hasil 2.000 ton cuma ngaku 20 ton. Suruh perbaiki, cuma ngaku 200 ton. Saya mengerti beberapa pengusaha takut konsekuensi pajak. Namun, pajak kan harus masuk juga. Jadi laporan harus benar. Jadi bukan cuma harus legal, melainkan laporannya juga harus benar,” kata Susi menjawab pertanyaan seusai acara.
Akurasi data, Susi menekankan, sangat penting guna menyusun rencana pembangunan ekonomi perikanan Indonesia. Oleh sebab itu, ia bersikukuh tidak akan mengeluarkan izin bagi pelaku usaha yang tidak jujur menyampaikan laporannya.