JAKARTA, KOMPAS — Sistem rujukan berjenjang dalam program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat dinilai menghambat penanganan pasien kanker. Padahal, penyebaran sel kanker dalam tubuh terjadi dengan cepat. Jika terlambat ditangani, angka kesembuhan pasien semakin kecil dan hasil terapi tidak bisa optimal.
Ketua Komite Penanggulangan Kanker Nasional (KPKN) Soehartati A Gondhowiardjo menyampaikan hal tersebut seusai acara jumpa pers menjelang Hari Kanker Nasional 2019 di Gedung Kementerian Kesehatan, Jakarta, Kamis (31/1/2019). Hari Kanker Nasional diperingati setiap 4 Februari.
Menurut Soehartati, saat pertama kali pasien terdiagnosis kanker seharusnya tidak perlu melewati rujukan berjenjang lagi. Pasien sebaiknya bisa langsung dirujuk ke rumah sakit yang memiliki layanan kanker.
”Kenyataannya saat ini, pasien yang sudah terdiagnosis kanker masih harus melalui tingkatkan fasilitas kesehatan, dari fasilitas primer ke rumah sakit kelas d, kelas c, baru ke rumah sakit yang punya layanan kanker. Akibatnya, pasien sudah datang di stadium lanjut,” katanya.
Soehartati menuturkan, sekitar 70 persen pasien datang sudah dalam stadium lanjut, yakni stadium 3 dan 4. Pada stadium ini, persentase kesembuhan kanker hanya 20-70 persen. Sementara, jika pasien ditangani pada stadium 1 dan 2, angka kesembuhannya bisa mencapai 100 persen.
Untuk itulah, KPKN bersama asosiasi dokter onkologi lain mendorong pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, bersama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan untuk bisa memperpendek sistem rujukan berjenjang untuk pasien kanker.
”Sementara ini, kami upayakan dengan berkomunikasi antardokter. Jadi kalau ada dokter yang masih memiliki pasien yang belum tertangani, pasien tersebut bisa langsung dirujuk ke dokter ahli lainnya. Tujuannya agar tidak ada antrean pasien,” ucapnya.
Saat pertama kali pasien terdiagnosis kanker tidak perlu melewati rujukan berjenjang, tapi langsung ke rumah sakit yang memiliki layanan kanker.
Berdasarkan data Globocan 2018, ada sekitar 340.000 kasus kanker baru di Indonesia dengan angka kematian sebanyak 9,8 juta orang. Data itu menyatakan pula 1 dari 8 laki-laki dan 1 dari 11 perempuan meninggal karena kanker.
Sementara, berdasarkan angka kejadian kanker, Indonesia berada pada urutan ke-8 di Asia Tenggara. Angka kejadian tertinggi untuk laki-laki adalah kanker paru, yakni 19,4 per 100.000 penduduk.
Sementara angka kejadian tertinggi untuk perempuan adalah kanker payudara dengan 42,1 per 100.000 penduduk.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Anung Sugihantono mengatakan, tingginya kejadian kanker di Indonesia bisa disebabkan karena gaya hidup yang tidak sehat serta kesadaran deteksi dini yang minim.
Anung mengatakan, pola makan yang tidak seimbang, jarang olahraga, merokok atau pun terpapar asap rokok, tidak bisa mengelola stres, dan tidak mengecek kesehatan secara berkala bisa menjadi penyebabnya.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, 43 persen kanker bisa dicegah dan 30 persen bisa dikontrol apabila ditangani sejak dini. Usia harapan hidup pun bisa semakin panjang.
Anung menyampaikan, berbagai upaya telah dilakukan Kemenkes untuk mencegah dan menanggulangi kanker di masyarakat. Layanan deteksi dini, khususnya untuk kanker payudara dan serviks sudah bisa didapatkan di puskesmas. Caranya dengan metode pemeriksaan payudara klinis (sadanis) untuk deteksi kanker payudara dan inspeksi visual dengan asam asetat (iva) untuk deteksi kanker leher rahim.
”Kami pun berkeinginan agar ada pendidikan karakter dalam upaya pencegahan dini kanker di tingkat sekolah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pun diharapkan bisa memasukkan pendidikan tentang bahaya rokok dalam indikator pelajaran yang diterima murid,” ujarnya.