Stunting Melanggengkan Kemiskinan
Gizi buruk masih menghantui anak-anak Indonesia Timur. Tak hanya masa depan mereka yang terancam, kemajuan pembangunan wilayah itu pun dibayangi ketidakpastian. Tanpa penanganan cepat, dampak buruk pembangunan gizi itu akan berkepanjangan hingga melanggengkan kemiskinan di sana.
Jumlah anak balita bertubuh pendek akibat kurang gizi kronis atau stunting secara nasional selama hampir dua dekade terakhir relatif stagnan. Penanganan terintegrasi lintas kementerian selama beberapa tahun terakhir mampu menurunkan jumlah mereka.
Prevalensi anak pendek di Indonesia pada 2018 sudah mencapai 30,8 persen, turun sekitar 20 persen dibanding pada 2013 yang mencapai 37,2 persen. Meski signifikan, prevalensi stunting Indonesia di ASEAN hanya lebih baik dibandingkan Laos.
Rasio anak Indonesia yang bertubuh pendek dan sangat pendek, juga lebih tinggi dibandingkan rata-rata global pada 2018 yang menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 22,2 persen. Situasi itu menjadikan Indonesia sebagai negara dengan prevalensi stunting tinggi bersama sejumlah negara Asia Selatan dan Afrika.
Meski prevalensi anak pendek di Indonesia membaik, jumlahnya di beberapa kabupaten dan provinsi di Indonesia Timur tetap tinggi. Situasi itu bisa dimaklumi mengingat prevalensi anak pendek di wilayah itu sejak awal memang sudah sangat tinggi.
Stunting adalah persoalan pembangunan yang serius. Anak pendek dan sangat pendek, yang memiliki tinggi lebih rendah dibanding tinggi badan seharusnya sesuai umurnya, adalah manifestasi dari buruknya asupan gizi mereka sejak awal kehidupan yang terakumulasi dan berlangsung terus menerus.
Anak pendek akibat stunting tidak hanya menunjukkan kegagalan anak mencapai potensi genetik tinggi badannya, namun juga prediktor sejumlah hal, seperti kemampuan kognitif karena tidak berkembangnya otak dan kondisi kesehatannya saat dewasa akibat proses perkembangan fisik yang terganggu.
Tidak bisa diperbaiki
Persoalannya, kegagalan tumbuh kembang baik otak dan fisik anak stunting bersifat irreversibel alias tidak bisa diperbaiki. Konsekuensinya, jumlah anak pendek juga bisa dijadikan prediktor pembangunan ekonomi dan pemberantasan kemiskinan di masa depan.
Kemampuan kognitif, motorik dan intelektual anak stunting yang rendah akan menurunkan produktivitas mereka. Rendahnya produktivitas itu berpeluang menurunkan pertumbuhan ekonomi, menghambat pemberantasan kemiskinan hingga melanggengkan ketimpangan ekonomi.
Kemampuan kognitif, motorik dan intelektual anak stunting yang rendah akan menurunkan produktivitas mereka.
Laporan Bank Dunia 2016 menunjukkan stunting berpeluang menghilangkan produk domestik bruto (PDB) suatu negara atau provinsi hingga 11 persen. Buku Saku Desa dalam Penanganan Stunting, 2017, menyebut, dengan acuan PDB Indonesia pada 2017 sekitar Rp 13.000 triliun, maka kerugian akibat stunting bisa mencapai Rp 1.430 triliun per tahun.
Pendapatan anak stunting saat menjadi pekerja dewasa juga lebih rendah 20 persen dibanding mereka yang tidak mengalami gangguan tumbuh kembang. Selain itu, pendapatan anak kerdil sepanjang hidupnya juga lebih rendah 10 persen dari total pendapatan mereka yang tumbuh normal.
Situasi itu membuat stunting bisa jadi pemicu kemiskinan lintasgenerasi. Terlebih, kondisi pembangunan manusia dan ekonomi di sejumlah provinsi Indonesia Timur yang memiliki prevalensi stunting tinggi sudah lebih tertinggal di banding provinsi lain di Indonesia.
Kabupaten dengan Prevalensi Balita Pendek dan Sangat Pendek Tertinggi 2013
Kabupaten | Provinsi | Prevalensi |
Timor Tengah Selatan | Nusa Tenggara Timur | 70,4 |
Intan Jaya | Papua | 68,9 |
Dogiyai | Papua | 66,1 |
Lombok Utara | Nusa Tenggara Barat | 65,8 |
Sumba Tengah | Nusa Tenggara Timur | 63,6 |
Sumber : Gerakan Nasional Pencegahan Stunting dan Kerjasama Kemitraan Multi Sektor, 2018/MZW
Kompleks
Meski stunting menimbulkan kemiskinan, namun pemicu anak tubuh pendek tidak selalu terkait dengan kemiskinan. Stunting bisa juga terjadi pada keluarga berkecukupan atau di daerah dengan kapasitas keuangan besar dan wilayah yang kaya akan aneka sumber pangan.
Stunting bisa juga terjadi pada keluarga berkecukupan atau di daerah dengan kapasitas keuangan besar dan wilayah yang kaya akan aneka sumber pangan.
Pengetahuan dan kesadaran orangtua jadi faktor menentukan apakah ibu hamil dan anaknya mendapat asupan gizi seimbang dan memadai. Banyak ibu hamil kekurangan zat gizi mikro, terutama zat besi, yang berdampak pada terhambatnya tumbuh kembang janin dan bayi lahir dengan berat badan rendah kurang dari 2,5 kilogram.
Kurangnya kesadaran memberikan air susu ibu (ASI) eksklusif selama enam bulan dan melanjutkannya hingga anak berumur 2 tahun juga bisa memicu stunting. Demikian pula pemberian makanan pendamping ASI saat bayi berumur kurang dari enam bulan serta kurangnya keragaman jenis makanan.
Rendahnya kesadaran ibu dipicu banyak hal, mulai dari kurangnya pengetahuan ibu, tingkat pendidikan rendah, tidak siap jadi ibu, kehamilan tidak diinginkan, tak mendapat dukungan suami atau keluarga, hingga pernikahan dini.
Belum lagi persoalan budaya yang ada di sejumlah daerah. Hingga kini, praktik larangan bagi ibu hamil untuk mengonsumsi makanan tertentu yang sejatinya justru baik bagi kesehatan dan kandungannya masih terus berlangsung. Ada pula budaya keluarga yang mengutamakan makanan bagi ayah sebagai kepala keluarga dan memberikan sisanya bagi anak dan ibu.
Anak yang punya riwayat gizi kurang dan terus dibiarkan berlanjut hingga menjadi ibu, berisiko besar untuk melahirkan anak stunting. Jika lingkaran buruk pola pengasuhan anak itu tidak diputus, maka stunting dan kemiskinan akan terus diwariskan dari generasi ke generasi.
Namun, persoalan gizi tak bisa dilepaskan dari kualitas air bersih dan sanitasi lingkungan. Nyatanya, satu dari lima rumah tangga Indonesia masih buang air besar di ruang terbuka dan satu dari tiga rumah tangga belum memiliki akses air bersih. Belum lagi budaya mencuci tangan sebelum makan belum jadi kebiasaan banyak orang.
Situasi Pemicu Anak Stunting (dalam persen)
Provinsi | Ibu Hamil Tanpa Pemeriksaan Kehamilan 2013 | Tidak Pernah Lakukan Pemeriksaan Neonatal Pascapersalinan 2013 | Pemberian ASI Eksklusif 0-6 Bulan 2013 | Rumah Tangga dengan Akses Air Minum Layak 2014 | Rumah Tangga dengan Sanitasi Layak 2014 |
Nusa Tenggara Barat | 1,1 | 14,9 | 79,7 | 63,94 | 59,35 |
Nusa Tenggara Timur | 11,9 | 41,1 | 74,4 | 52,65 | 12,77 |
Maluku | 16,8 | 51,8 | 25,2 | 63,01 | 61,70 |
Maluku Utara | 11,9 | 44,9 | 62,7 | 61,98 | 58,97 |
Papua Barat | 16,1 | 55,5 | 53,5 | 68,80 | 65,80 |
Papua | 28,3 | 48,8 | 31,5 | 49,42 | 24,78 |
Indonesia | 4,6 | 21,5 | 54,3 | 68,11 | 61,06 |
Sumber: Riset Kesehatan Dasar 2013, Situasi dan Analisis ASI Eksklusif 2014, Situasi Balita Pendek 2016
Di luar persoalan kualitas asupan makanan bagi anak dan ibu, persoalan anak kerdil juga tidak bisa dipisahkan dari layanan kesehatan bagi ibu hamil dan pemeriksaan tumbuh kembang anak ke puskesmas atau posyandu.
Persoalannya, di Indonesia Timur, akses puskesmas dan keberadaan tenaga kesehatannya masih jadi masalah serius. Data yang ada mungkin tidak menunjukkan masalah, tapi kondisi di lapangan dari penelusuran Kompas di berbagai daerah, itu jadi masalah serius. Kondisi geografis, akses transportasi, hingga isu keamanan jadi kendala.
Prioritas
Turunnya prevalensi anak kerdil di Indonesia pada 2018 adalah buah dari dijalankannya Rencana Aksi Nasional Penanganan Stunting sejak Agustus 2017. Jika sebelumnya masalah anak pendek dan sangat pendek seolah hanya menjadi urusan sektor kesehatan, kini stunting menjadi perhatian berbagai kementerian dan lembaga.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang PS Brodjonegoro seusai peringatan Hari Gizi Nasional pada Jumat (25/1/2019) menegaskan penanganan stunting jadi prioritas pemerintah karena berisiko menciptakan kemiskinan di masa depan. “Penanganan stunting perlu pendekatan startegis karena berdampak pada pembangunan,” katanya. (Kompas, 26/1/2019)
Fokus itu perlu diambil mengingat Indonesia saat ini sedang menghadapi beban triplet persoalan gizi, yaitu anak kerdil, kurus dan obesitas. Dampak stunting yang tidak bisa dibenahi membuat persoalan ini harus segera dituntaskan jika Indonesia ingin mempercepat pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Namun fokus pemerintah pusat dalam penanganan stunting itu tidak akan memberi dampak besar tanpa ada kesadaran serupa dari politisi dan pemerintah daerah. Karena itu, Ketua Terpilih Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Ede Surya Darmawan mengingatkan perlunya membangun kesadaran politisi dan birokrat dari pusat hingga daerah atas pentingnya penuntasan berbagai persoalan gizi.
Dana desa bisa dimanfaatkan untuk mencegah stunting mulai dari tingkat desa. Namun, anggaran kesehatan pun perlu ditingkatkan, khususnya untuk promosi dan pencegahan penyakit. Terlebih, setiap investasi 1 dollar Amerika Serikat untuk program gizi akan menghasilkan keuntungan 30 kali lipat.
Indeks Pembangunan Manusia Indonesia Timur
Provinsi | Indeks Pembangun Manusia 2017 | Persentase Penduduk Miskin 2018 | Angka Harapan Hidup 2017 | Pendapatan Domestik Bruto per Kapita 2017 (Rp) |
Nusa Tenggara Barat | 66,58 | 14,75 | 67,42 | 19,10 juta |
Nusa Tenggara Timur | 63,73 | 21,35 | 67,96 | 11,88 juta |
Maluku | 68,19 | 18,12 | 67,39 | 15,94 juta |
Maluku Utara | 67,20 | 6,64 | 69,53 | 19,19 juta |
Papua Barat | 62,99 | 22,66 | 67,19 | 62,17 juta |
Papua | 59,09 | 27,43 | 67,00 | 45,58 juta |
Indonesia | 70.81 | 9,66 | 73,06 | 51,89 juta |
Sumber: Badan Pusat Statistik/MZW
Karena itu, jika ingin mempercepat pembangunan dan peningkatan kualitas manusia di Indonesia Timur agar sejajar dengan saudara-saudara mereka di kawasan barat, maka penanganan stunting di Indonesia Timur harus jadi prioritas. Kebijakan afirmasi diperlukan mengingat tingginya aneka indikator pemicu stunting dan kompleksnya persoalan yang dihadapi.
Tanpa perbaikan masalah gizi bagi anak-anak Indonesia Timur, mereka akan senantiasa berkutat dengan berbagai keterbelakangan. Inilah saatnya negara hadir, memberi perhatian dan keadilan yang sama anak-anak Indonesia Timur.