Tantangan Mewujudkan Bus BRT Ideal (II)
Penggunaan bus sebagai angkutan massal membutuhkan perjuangan panjang. Bukan perkara mudah untuk mewujudkan impian angkutan umum yang aman, nyaman, cepat, dan murah di kawasan perkotaan. Bus Rapid Transit (BRT) dihadirkan pemerintah di Jakarta dan 29 kota lainnya untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Namun, berbagai keunggulan tersebut tak langsung menghasilkan produktivitas transportasi. Sebagian daerah malah menjadi buah simalakama bagi pemerintah daerah yang mengoperasikannya. Berbagai kendala dihadapi pemerintah daerah dari rendahnya minat penggunakan angkutan umum, kehadiran angkutan daring, APBD tak sanggup membiayai, hingga rendahnya kualitas layanan angkutan.
Meningkatkan minat penggunaan angkutan umum menjadi tantangan awal bagi pemda yang menggunakan sistem BRT. Angkutan umum seperti angkot, bus kota, becak atau bentor rata-rata sudah tersedia di beberapa kota yang mengoperasikan system BRT. Kualitas angkutan umum yang tidak memadai membuat rendahnya minat warga kota menggunakan moda umum. Ditambah lagi saat ada kemudahan membeli sepeda motor melalui kredit dan rendahnya nilai uang muka pembelian.
Kehadiran sistem BRT sebenarnya merupakan salah satu upaya untuk memperbaiki kondisi angkutan umum. BRT menjanjikan sebuah layanan angkutan umum massal yang terorganisir dengan jadwal tetap, waktu tempuh yang bisa dipastikan, serta kondisi bus yang nyaman dan aman. Akhirnya bermuara pada semakin meningkatnya minat masyarakat menggunakan angkutan umum.
Namun tak mudah mengubah persepsi masyarakat tersebut jika BRT tidak meningkatkan layanannya. Selain itu juga dibutuhkan kebijakan pembatasan kendaraan bermotor supaya masyarakat beralih menggunakan angkutan umum.
Tantangan Mewujudkan Bus BRT Ideal (I)
Teori transportasi push and pull juga harus diterapkan di kota-kota dimana BRT beroperasi. Di Jakarta saja, pengguna Bus Transjakarta melonjak drastis saat kebijakan Ganjil Genap diterapkan sejak Juli 2018 lalu. Upaya perbaikan kualitas layanan bus Transjakarta dengan perluasan rute, penambahan armada hingga perbaikan kualitas fisik bus yang telah dilakukan selama ini belumlah cukup untuk menarik minat pengguna kendaraan pribadi untuk beralih naik Transjakarta.
Bagi kota-kota yang menggunakan sistem BRT, harus ada sistem semacam push and pull supaya BRT merasa dibutuhkan oleh masyarakat. Namun tentu saja, terlebih dahulu BRT telah meningkatkan kualitas dan kuantitasnya.
Kehadiran Trans Yogya 2008 lalu sebenarnya bisa menjawab kebutuhan masyarakat Yogya akan angkutan umum yang cepat, murah, aman dan nyaman. Pasalnya sebelum Trans Yogya beroperasi, masyarakat Yogya hanya mengandalkan bus sedang yang dikelola oleh beberapa operator seperti Kopata, Aspada, Kobutri, Damri dan Puskopkar. Sebagian besar bus yang sudah beroperasi sejak 1970-an tersebut sudah berusia tua, sering mogok, dan tidak nyaman karena tanpa mesin pendingin. Sopir bus terkadang juga ugal-ugalan dan sembarangan menurunkan penumpang.
Namun, Trans Yogya selama ini tidak berhasil membuktikan kinerja baiknya. Penelitian “Analisis Tingkat Layanan Jasa Trans Jogja dengan menggunakan Analisis Kinerja-Harapan dan Performas Important Matrix (Susanta, 2009) menyebutkan, konsumen tidak puas pada pelayanan Trans Jogja. Pelayanan tersebit seperti perlengkapan dan peralatan halte, jumlah halte bus, fasilitas untuk kaum difabel, halte bus sesuai kebutuhan penumpang, akurasi prosedur pembayaran, kenyamanan dalam melakukan perjalanan dan informasi kedatangan bus.
Bahkan dikutip dari beberapa laman media lokal 2018 lalu, kondisi fisik bus perlu perbaikan seperti pintu yang tak bisa ditutup ataupun tak bisa dibuka-tutup secara otomatis. Kemudian mesin pendingan yang rusak hingga bus yang sering mengeluarkan asap hitam tebal. Perilaku pengemudi pun beberapa kali mendapat keluhan karena sering ugal-ugalan.
Trans Jogja yang tidak mempunyai jalur sendiri seperti Transjakarta membuat waktu tempuh perjalanannya semakin panjang. Frekuensi perjalanan bus rata-rata lebih dari satu jam karena kondisi lalu lintas kota yang macet ditambah lebar jalan Yogya yang sempit.
Semua kekurangan Trans Yogya tersebut akhirnya membuat persepsi masyarakat Yogya pada angkutan umum belumlah berubah. Upaya menarik minat naik Trans Yogya belum sepenuhnya berhasil. Tercatat dalam paparan “Pengelolaan Layanan Transportasi Publik :Trans Jogja (Kusuma, 2016)”, pengguna kendaraan pribadi justru cenderung meningkat 6 persen setiap tahunnya.
Sebaliknya, jumlah penumpang BRT Yogya terus menurun. Rata-rata hanya ada sekitar tiga hingga 7 orang, atau maksimal 10 orang yang menumpang Trans Yogya. Penurunan tersebut dikutip dalam laman TribunJogja Desember 2017 lalu, dapat dilihat dari pendapatan Trans Yogya yang menurun 14 persen (Rp 3 miliar ) selama 2016-2017.
Jika Pemkot Yogya menerapkan kebijakan pembatasan kendaraan seperti Jakarta, layanan Trans Yogya harus diperbaiki lebih dulu. Jika tidak, kebijakan pembatasan tersebut menjadi buah simalakama bagi pemda sendiri.
Rendahnya minat naik BRT ini juga mengancam berhentinya operasi bus di Makassar.Trans Mamminasata yang mulai beroperasi 2014 lalu tersebut terus merugi. Biaya operasional setiap bus per harinya Rp 500.000 dikalikan dengan 15 unit bus yang beroperasi pada 2018. Namun pendapatan tiap harinya tak bisa menutup pengeluaran yang ada karena minimnya jumlah penumpang.
Jika BRT yang menghubungkan Maros-Makassar-Gowa-Takalar terancam berhenti beroperasi, Trans Pakuan Bogor yang beroperasi pertama kali 2006, malah sempat stop beroperasi di awal 2017. Perusahaan Daerah Jasa Transportasi (PDJT) selaku operator bus Pakuan dibekukan oleh Pemda Bogor karena terus merugi.
Ojek Daring
Namun, Teori push and pull akan goyah dengan kehadiran angkutan online khususnya ojek. Kebijakan pembatasan kendaraan bermotor bisa jadi tidak akan membuat masyarakat perkotaan beralih naik angkutan BRT. Pasalnya iming-iming keunggulan ojek online jauh lebih menggoda ketimbang BRT.
Ojek online yang dengan mudah diakses dengan aplikasi android/IOS dalam sebuah smartphone bisa langsung hadir di depan rumah/tempat aktivitas untuk mengantarkan ke tempat tujuan. Bandingkan dengan jika harus naik BRT. Masyarakat masih harus mencari halte terdekat kemudian menunggu bus. Jika rute BRT tidak sesuai dengan tujuan, ojek daring pasti menjadi pilihan. Meski sebenarnya tarif ojek daring bisa saja lebih mahal dibandingkan BRT, tapi masih ada faktor kecepatan yang dicari oleh masyarakat.
Di Jakarta, kehadiran ojek daring bisa bersaing dengan bus Transjakarta karena daya jangkau ojek daring yang dibatasi oleh system. Ojek daring hanya bisa menempuh perjalanan maksimal 25 kilometer. Oleh karena itu jika masyarakat Jabodetabek ingin menempuh perjalanan di luar jangkauan tersebut,bus Transjakata ataupun kereta komuter bisa menjadi pilihan.
Namun bagaimana dengan kota-kota yang rute BRTnya tidak sebanyak Jakarta? BRT di kota setempat harus tetap meningkatkan kualitasnya. Apalagi perusahaan ojek daring semakin massif meluaskan usahanya. Tercatat dalam laman Gojek, sudah ada ada di 50 kota. Juga dengan Perusahaan Grab yang meluaskan hingga di 100 kota di Indonesia.
Keluhan penurunan jumlah penumpang BRT karena angkutan online sudah terjadi di Bandar Lampung. Pemberitaan TribunLampung September 2018 lalu menyebutkan, operasional BRT menurun drastis. Dari total 7 rute, tinggal 2 rute yang dioperasikan. Salah satunya ke rute Rajabasa-Panjang yang hanya dioperasikan saat hari kerja. Penyebabnya karena menjamurnya angkutan online di Bandar Lampung yang sudah mencapai 12 ribu unit untuk ojek dan 8 ribu unit untuk roda empat.
Tidak Sesuai
Pengadaan BRT merupakan proyek dari Kementerian Hubungan yang tujuannya untuk mendorong penggunaan angkutan umum dan mengurangi kemacetan. Proyek pengadaan 3000 BRT tersebut diluncurkan pada 2015 dan berakhir 2019.
Proyek tersebut dibiayai dari APBN, yang bersumber dari alokasi anggaran hasil penghematan subsidi BBM. Pada 2015, direncanakan mengalokasikan BRT ke 20 provinsi antara lain : Surabaya, Bandung, Medan, Semarang, Bekasi, Jabodetabek. Tahun berikutnya bertambah menjadi 26 provinsi, diantaranya : Palembang, Makassar, Batam, Pekanbaru, Bandar Lampung, Padang, dan Denpasar. Hingga akhirnya tahun 2019 melingkupi 34 provinsi, antara lain : Jayapura, Banda Aceh, Palangkaraya, Gorontalo, Pangkal Pinang, Ternate, Sorong, dan Mamuju.
Bisa jadi proyek pengadaan bus tersebut tidak memperhitungkan kebutuhan kondisi daerah yang sebetulnya belum memerlukan angkutan massal bus. Perkotaan di Indonesia mengalami evolusi kemajuan sistem angkutan umum berdasarkan sejarah perkembangan kota. Menurut penelitian “Evaluasi Kinerja Angkutan Massal Bus Rapid Transit pada Koridor Rajabasa-Sukaraja (Nuradili, 2015)”, jenis angkutan yang digunakan disesuaikan dengan skala kota.
Kota kecil masih menggunakan angkutan umum seperti angkot dan bus sedang, serta angkutan individu: becak dan ojek. Kota menengah, menggunakan jenis angkutan yang sama,hanya saja mulai menggunakan bus besar. Angkutan massal dengan sistem transit seperti bus mulai digunakan di kota besar. Selain itu, kota besar juga tetap menggunakan angkutan umum dan individu. Adapun kota metropolitan, bisa menambah dengan penggunaan angkutan massal kereta seperti Mass Rapid Transit (MRT) dan Light Rail Transit (LRT).
Dari sekitar 29 kota yang menerima hibah BRT, ada 12 kota yang sebenarnya masih berskala kota sedang. Seperti kota Yogyakarta, Manado, Ambon, Palu, Mataram, Sorong, Jambi, Bengkulu, Tarakan, Palu, Kendari, Pangkalpinang, Jayapura, dan Manokwari. Mengacu pada teori tersebut kota sedang belum memerlukan angkutan massal sistem transit seperti BRT, cukup dengan angkutan umum seperti bus ataupun angkot. Hal inilah yang menjadi evaluasi Kementerian Perhubungan mengapa proyek BRT di sejumlah kota tersebut belum berhasil.
Kota dengan jumlah penduduk yang berkisar 100.000 -500.000 jiwa tersebut masih cukup dengan layanan angkutan umum. Selain itu, agaknya kondisi jalan di kota sedang yang tidak begitu lebar akan kesulitan untuk mengoperasikan bus hibah yang panjangnya kisaran 12 meter dan lebar 2,5 meter. Akibatnya jika dipaksakan, bus hanya bisa beroperasi di jalan-jalan utama yang tidak maksimal menghubungkan seluruh wilayah kota. Bahkan ada sejumlah kota yang menolak kehadiran BRT seperti kota Mataram, Tangerang , Sidoarjo, dan Balikpapan.
Tidak Siap
Selain persoalan belum membutuhkan seperti Kota Sedang, sejumlah pemerintah daerah juga tidak siap dengan hibah BRT. Kementerian Perhubungan tidak melakukan persiapan ataupun pemberdayaan terlebih dulu pada Dinas Perhubungan setempat. Bus hibah langsung begitu saja dikirim ke daerah yang dituju.
Merujuk pada pengalaman kota Bogota, Colombia yang membutuhkan waktu sekitar dua tahun untuk mempelajari sistem BRT sebelum mengoperasikannya pada akhir Desember 2000. Didahului dengan kajian yang matang. Diantaranya tentang kemungkinan adanya kebutuhan lalu lintas jika membangun jalur bus khusus tanpa feeder.
Tahapan implementasi pembangunan BRT sesuai dalam paparan “Reformasi Angkutan Umum (ITDP, 2018)”, membutuhkan waktu sekitar empat tahun sebelum akhirnya tahun kelima BRT beroperasi. Tahun pertama dan kedua merupakan tahap persiapan. Tahun ketiga dan keempat menjadi tahap konstruksi seperti pembangunan halte, terminal baru, serta jalur jika menggunakan jalur terpisah. Baru tahun kelima beroperasi, itupun masih harus beberapa kali dilakukan sosialisasi dan uji coba sampai akhirnya tahun ke-8 mengalami kestabilan.
Nyatanya, sejumlah kota membutuhkan waktu lebih cepat dari ketentuan yang diharapkan. Seperti kota Tanjung Pinang yang membutuhkan waktu kurang dari setahun dari proses hibah. Tercatat dalam Kementerian Perhubungan, Provinsi Kepulauan Riau mendapat bus hibah tahun 2016 dan mulai beroperasi 5 Desember 2017. Itupun pengoperasiannya terhambat sejak April 2017 karena masalah dana. Anggaran operasional BRT terlambat diselipkan dalam APBD 2017 Provinsi Kepulauan Riau.
Setelah beroperasi pun, menurut paper “Evaluasi Penerapan BRT di Kota Tanjung Pinang (Safitri dkk, 2018) pun menemui berbagai kendala. Sebut saja pengoperasian tersebut tidak berhasil balik modal setelah tujuh bulan, padahal telah menganggarkan sebanyak Rp 60 juta. Selain itu kurangnya sosialisasi membuat Trans Kepri ini sempat dikira bus wisata bertarif mahal sehingga tidak ada warga yang menaikinya. Rata-rata penumpang merupakan mahasiswa dari Kampus Universitas Maritim Raja Ali Haji yang memang dilewati rute bus tersebut.
Belum Sesuai Standar
Tantangan terakhir adalah mewujudkan sarana dan prasarana BRT sesuai dengan konsep yang telah ditetapkan oleh Kementerian Perhubungan. Standar mengatur prasarana, diantaranya soal shelter (halte) dan jarak antar shelter, tiket, jembatan penyeberangan, aksesibilitas, sistem informasi, marka khusus BRT dan jalan, serta standar lajur khusus BRT. Juga standar sarana bus seperti identitas kendaraan, tanda pengenal pengemudi, peralatan keselamatan, fasilitas pengatur suhu, tempat duduk prioritas, fasilitas pegangan untuk penumpang berdiri , serta fasilitas kaum disabilitas.
Dari berbagai standar tersebut soal jalur khusus BRT tidak bisa dipenuhi di kota-kota lain selain Jakarta. BRT di Yogyakarta, Semarang, Solo, ataupun Denpasar menggunakan jalur jalan biasa dan bergabung dengan angkutan umum dan pribadi lainnya. Tidak mudah membangun jalur khusus BRT seperti di Jakarta di kota-kota lain karena keterbatasan lebar jalan serta biaya operasional.
Menurut pakar transportasi Djoko Setijawarno, penyelenggaraan BRT belum bisa sepenuhnya disebut Bus Rapid Transit karena belum memiliki jalur sendiri, kecuali Transjakarta . BRT di kota lain lebih tepat disebut sebagai Bus Transit.
Tak hanya itu, di beberapa kota belum semuanya menggunakan halte yang ideal yang dilengkapi dengan tempat duduk, lampu penerangan, pengatur suhu ruangan, serta aksesibilitas berupa ramp atau tangga ramp. BRT di Banjarmasin misalnya, sejumlah haltenya malah belum permanen dan beberapa diantaranya rusak atau malah digunakan untuk gelandangan.
Selain indikator sarana prasarana, sejumlah BRT belum memenuhi indikator kinerja operasi dan pelayanan seperti jarak perjalanan bus, jumlah penumpang, waktu tunggu, headway, transfer antar rute, waktu perjalanan, serta jalak berjalan kaki ke pemberhentian bus.
Batik Solo Trans misalnya, dalam penelitian “Evaluasi Kinerja Batik Solo Trans: Studi Kasus : Koridor I Kartasura-Palur (Puspita, 2016) menyebutkan, load factor kurang dari 70 persen. Rasio penumpang terangkut dengan kapasitas kendaraan pada hari kerja ataupun weekend sekitar 40 persen. Selain itu, waktu tunggunya masih sekitar 15 menit dan waktu tempuh perjalan sekitar tiga jam. Meski masih masuk dalam standar maksimal yang ditetapkan, tapi membuat masyarakat tidak lagi berminat menggunakan BRT.
Upaya mewujudkan BRT ideal tidak bisa instan. Setidaknya butuh waktu lebih dari lima tahun supaya kinerja BRT efektif dan efisien. Juga diikuti dengan penerapan kebijakan pembatasan kendaraan pribadi dan perbaikan kondisi BRT secara serentak. Ke depan, penerapan sistem BRT bukan sekadar proyek tapi juga diikuti dengan panduan bagi pemerintah daerah setempat bagaimana melaksanakan BRT sehingga terwujud angkutan umum yang cepat, murah, aman dan nyaman di perkotaan. (M. PUTERI ROSALINA/LITBANG KOMPAS).