Kampanye digital belum mampu menandingi efektivitas pertemuan langsung dengan calon pemilih. Namun, kampanye digital mengurangi biaya caleg membeli alat peraga kampanye
JAKARTA, KOMPAS – Meski para calon anggota legislatif dan partai politik mulai melirik model kampanye digital dengan memanfaatkan data raksasa yang tersebar di internet, bentuk kampanye tatap muka tidak ditinggalkan. Ini karena pertemuan langsung dengan calon pemilih dinilai tetap menjadi cara paling efektif untuk memengaruhi pilihan politik.
Namun, kampanye digital ini bisa mengurangi biaya para caleg untuk membeli alat peraga kampanye, seperti baliho dan spanduk.
Sekretaris Tim Pemenangan Pemilu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Laode Muhammad, Rabu (30/1/2019), saat dihubungi dari Jakarta mengatakan, semua partai peserta Pemilu 2019 diyakini memakai jasa penambangan data raksasa agar lebih efektif berkampanye di media sosial (medsos). Apalagi, untuk partai yang basis suaranya di perkotaan yang warganya merupakan pengguna media sosial yang aktif.
Namun, lanjut Laode, kampanye digital tidak dijadikan strategi utama pemenangan pemilu legislatif karena efek persuasinya terhadap pemilih tidak sekuat pertemuan tatap muka. Kampanye digital melalui media sosial lebih untuk pengenalan awal caleg ke warga karena hanya efektif memengaruhi 5-10 persen pemilih. Ini sama dengan daya persuasi alat peraga kampanye, seperti spanduk dan baliho.
Kampanye digital tidak dijadikan strategi utama pemenangan pemilu legislatif karena efek persuasinya terhadap pemilih tidak sekuat pertemuan tatap muka
Terkait hal itu, ujar Laode, PKS tetap mengimbau para calegnya untuk mendatangi warga. ”Kami minta, sebisa mungkin jangan diwakili sukarelawan. Bukan tidak boleh, tetapi sebisa mungkin turun sendiri, khususnya di kantong-kantong suara,” katanya.
Koordinator Nasional Relawan Golkar Jokowi, Rizal Mallarangeng, yang mengoordinasikan kampanye digital caleg Partai Golkar, menambahkan, kampanye digital lebih untuk menajamkan kampanye konvensional, seperti tatap muka, yang harus tetap dilakukan.
”Pertemuan manusia dengan manusia tetap yang terpenting. Namun, teknologi membantu, setidaknya untuk meningkatkan pengenalan warga terhadap caleg,” ujarnya.
Lebih murah
Kampanye digital, menurut Rizal, butuh biaya lebih sedikit daripada bentuk kampanye lain, seperti pemasangan baliho, spanduk, dan kalender.
Ia mencontohkan biaya kampanye satu caleg Golkar di satu daerah pemilihan sekitar Rp 10 juta. Uang itu antara lain untuk pembuatan konten, upah tim kampanye, dan biaya distribusi iklan kampanye di medsos.
Sementara itu, jika harus membuat 10.000 kalender atau poster yang akan dibagikan ke pemilih, setidaknya dibutuhkan Rp 100 juta dengan perhitungan harga satu kalender atau poster umumnya Rp 10.000.
Selain itu, caleg juga membayar ongkos pemasangan dan distribusi alat peraga itu ke berbagai titik. Upah distribusi biasanya Rp 100.000 per orang. Satu orang menyebar atribut kampanye ke 100 rumah. Jika atribut kampanye hendak disebar ke 1.000 rumah, seorang caleg butuh Rp 1 juta.
Biaya itu belum mencakup pemasangan atribut kampanye lain seperti spanduk dan baliho. ”Urusan alat peraga kampanye bisa habis Rp 200 juta-Rp 300 juta. Perbedaan biayanya sangat signifikan jika dibandingkan biaya kampanye di medsos yang Rp 10 juta,” kata Rizal.
Rizal menambahkan, Partai Golkar dapat menekan biaya kampanye digital karena punya kader yang dapat membantu mengakses dan menganalisis data raksasa.
”Jika harus membayar orang, pasti mahal biayanya. Kebetulan Golkar punya sumber daya manusia yang pendidikannya cukup tinggi di bidang seperti itu,” kata Rizal.
Sementara Ketua DPR Bambang Soesatyo mengaku mengeluarkan biaya sekitar Rp 20 juta untuk membayar jasa penambang dan konsultan pengolah data raksasa.