JAKARTA, KOMPAS — Sinyal dovish Bank Sentral Amerika Serikat, Federal Reserve, untuk menahan kenaikan suku bunga acuan akan membawa rupiah ke tren penguatan tahun ini. Penguatan rupiah juga dipengaruhi sentimen positif dari dalam negeri, yaitu perbaikan defisit transaksi berjalan dan penambahan cadangan devisa.
Kepala Bank Sentral AS Jerome Powell kembali memberi sinyal dovish, menunda kenaikan suku bunga atau melakukan kebijakan moneter longgar, terkait kenaikan suku bunga acuan, Rabu (30/1/2019) waktu setempat. The Fed memutuskan menahan tingkat suku bunga acuan dan menegaskan penyesuaian suku bunga tidak terlalu agresif pada 2019.
Selain itu, peningkatan bunga acuan akan mempertimbangkan kondisi perekonomian global. Suku bunga acuan Bank Sentral AS tahun ini akan ditahan pada kisaran 2,25-2,5 persen. Sebelumnya, Bank Sentral AS diperkirakan akan menaikkan suku bunga 2-3 kali lagi pada 2019.
Menanggapi hal itu, Kepala Ekonom dan Riset PT Bank UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja mengatakan, tim UOB di Singapura telah merevisi rata-rata kurs rupiah tahun 2019 pascasinyal dovish dari Bank Sentral AS menjadi Rp 14.400 per dollar AS. Sebelumnya, rata-rata kurs rupiah tahun ini diperkirakan Rp 14.800 per dollar AS.
”Sinyal dovish dari The Fed paling dominan, tetapi ada sentimen positif lain dari dalam negeri,” kata Enrico yang dihubungi dari Jakarta, Kamis (31/1/2019).
Sinyal dovish dari The Fed paling dominan, tetapi ada sentimen positif lain dari dalam negeri.
Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) pada Kamis (31/1/2019) sampai pukul 13.30, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS Rp 14.072. Sejak awal tahun rupiah menguat sekitar 0,71 persen tergolong paling kuat dibandingkan beberapa negara-negara Asia.
Enrico berpendapat, setidaknya ada tiga faktor lain yang mendorong penguatan rupiah, di luar keputusan Bank Sentral AS. Pertama, target Bank Indonesia untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan tahun 2019 pada kisaran 2,5 persen produk domestik bruto (PDB). Semakin kecil defisit transaksi berjalan, maka peluang rupiah terapresiasi semakin besar.
Kedua, likuiditas global akan melonggar seiring keputusan Bank Sentral AS menahan kenaikan suku bunga acuan. Pelonggaran likuiditas global ini akan berimplikasi masuknya arus modal asing ke pasar negara berkembang yang tingkat imbal hasilnya menarik, termasuk Indonesia. Modal asing yang kembali masuk ke dalam negeri akan mendorong surplus neraca pembayaran.
Faktor ketiga, kata Enrico, penguatan rupiah tahun ini juga akan didorong peningkatan cadangan devisa. Cadangan devisa pada Desember 2018 sebesar 120,7 miliar dollar AS atau meningkat dari November 2018 yang 117,2 miliar dollar AS.
Bank Indonesia (BI) sebenarnya telah menangkap sinyal The Fed. Pada Selasa (29/1/2019), Gubernur BI Perry Warjiyo, dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan, mengatakan, pergerakan nilai tukar rupiah tahun ini akan stabil dan cenderung menguat. Kondisi tersebut dipengaruhi keputusan The Fed dan kepercayaan global terhadap perekonomian Indonesia.
Dari sisi fundamental, pergerakan rupiah tahun ini akan lebih stabil karena pertumbuhan ekonomi akan dijaga pada level 5 persen, serta inflasi, defisit APBN, dan defisit transaksi berjalan yang diupayakan lebih rendah dari 2018. Situasi tersebut akan lebih menarik seiring mekanisme pasar valuta asing yang semakin baik.